The INCREDIBLE OF
ZAIN
_Egg
Tales_
(
Kisah-kisah dari telur )
M.Z. Billal
|
1.
Keajaiban 15 Menit
Pagi
ini cuaca sangat tidak bersahabat. Hujan disertai angin yang cukup kencang
sejak sebelum subuh. Ibu bergegas membereskan meja makan usai aku menyantap
nasi goreng dengan telur dadar kecap di atasnya. Ia mondar-mandir dari dapur ke
ruang makan yang jaraknya hanya tiga meter. Sesekali matanya melirik ke arah
jendela, dia mungkin sedang memikirkan sesuatu sambil melihat pot gantung bunga
seruni ungu di luar yang terombang-ambing dihempas angin.
Sementara aku,
hanya duduk memerhatikannya sambil melihat jam dinding berbentuk dua angsa
putih berhadapan yang sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Mulai
gelisah, aku berkata pada ibuku,
“Bu, aku harus
pergi sekolah sekarang.”
Ibuku tersentak.
Sejurus menatapku dengan lekat. Keriput di wajahnya menyiratkan kecemasan.
“Tidak perlu,
cuaca sedang tidak bagus. Lebih baik kamu di rumah, Sayang.” Ia berlalu begitu
saja sambil tersenyum hambar.
“Tidak bisa, Bu,”
jawabku seraya berdiri dari kursi. “Aku harus pergi sekolah sekarang. Ada ujian
praktek yang tidak boleh aku lewatkan.”
Lagi-lagi ibuku
hanya tersenyum. Dia melarangku untuk berangkat ke sekolah sementara dia
sendiri berkemas untuk berangkat kerja. Ya mungkin karena ibuku adalah seorang kasir
mini market, itu mengharuskannya bekerja tanpa mengenal cuaca. Aku hanya bisa menghela
napas kecewa.
“Bu, aku harus
pergi,” aku merengek.
“Tidak, Zain!”
Tiba-tiba saja Ibu membentak. “Apa kamu pikir Ibu akan membiarkanmu ke luar
dengan hujan, angin, dan jalanan yang bisa mengancam keselamatanmu. Tidak,
sayang. Ibu akan menghubungi guru kelasmu untuk mengizinkanmu libur. Ibu rasa
ada banyak siswa yang tidak hadir hari ini.”
Aku merengut dan
menunduk lalu berjalan melewatinya tanpa berkata sedikitpun dan duduk di ruang
tamu. Aku paling tidak bisa membantah perintah ibu. Aku harus menuruti
kemauannya selagi itu untuk kebaikanku. Aku tahu ibu sangat menyayangiku.
Apalagi sejak kepergian ayah yang tak pernah kembali. Ia samasekali tidak ingin
aku sakit apalagi terluka atau hal-hal mengerikan yang bisa saja terjadi
padaku. Ibu sangat trauma atas kejadian itu, dan lagi-lagi aku merindukan sosok
ayah dalam hidupku.
Dimanakah engkau
Ayah?
Ayahku adalah seorang penebang kayu. Dulu ia pamit untuk pergi ke
hutan saat pagi usai membaca prakiraan cuaca di surat kabar yang mengatakan
hari itu hujan akan turun dengan sangat deras. Sebelum pergi ia berjanji pada
kami akan pulang cepat bahkan sebelum aku meniup lilin di atas kue ulang
tahunku yang ke tiga. Tetapi
kenyataannya, hingga kini saat usiaku akan menginjak lima belas tahun ia tak
pernah kembali. Bahkan untuk kabar terburuknya pun tidak. Kami tak pernah tahu
apa yang terjadi pada ayah pada hari itu. Semuanya seperti kenangan di dalam
gelas, yang berdenting memilukan tiap kali kami mengetuknya dengan sendok
kesedihan.
Aku tidak berani memandang wajah ibuku. Perempuan empat puluh tahun
dengan kerut kenangan di wajahnya. Matanya sendu, tubuhnya kecil dan kurus. Aku
lebih tinggi lima sentimeter darinya. Namun, ibuku adalah wanita hebat yang
mampu bertahan dengan banyak cobaan yang
menerpanya. Walau kenyataan yang tersembunyi ia adalah perempuan yang rapuh. Ibu
berjalan mendekatiku sambil menarik ritsleting jaketnya lalu duduk di sebelahku
sambil berdeham.
“Apa kamu tetap ingin
berangkat ke sekolah? Hmm?” tanya ibuku.
Aku menoleh sesaat dengan murung lalu mengangguk menunjukkan
keinginanku. Aku tidak tahu apakah ibu akan marah atau tidak. Yang jelas aku
sudah memberitahunya.
“Ya sudahlah,” Ibu mendesah. “Ibu juga tak ingin melihatmu sedih.
Pergilah ke sekolah, kenakan jas hujan dan sepatu bootmu. Semoga kamu mendapat nilai ujian praktek yang memuaskan.”
Aku terkejut. Gembira. Mataku terbelalak dan spontan merangkul
lengan ibu. Ada kehangatan luar biasa di sana yang tak bisa kutemukan di tempat
lain dimanapun di dunia ini.
“Benarkah, Bu?” tanyaku penuh semangat mencoba meyakinkan diriku
untuk jawabannya. Ibuku hanya mengangguk senang. “Kalau begitu aku harus
bergegas mengambil sepeda!”
“Tidak Zain.” Ibu menarik tanganku.
“Ke-kenapa tidak lagi, Bu? Ada apa?”
“Kamu hanya boleh ke sekolah dengan berjalan kaki dan membawa
payung,” jawab Ibu.
Aku terkejut lagi. Bukan senang, melainkan ingin pingsan dengan
jawaban ibu. Bagaimana tidak, ia menyuruhku ke sekolah dengan berjalan kaki.
Itu akan menghabiskan banyak waktu dan mustahil rasanya bisa sampai di sekolah
dengan tepat waktu. Apalagi dengan kondisi cuaca yang buruk. Apakah ibu sedang
membuat pilihan tegas untukku? Berdiam di rumah yang hangat atau berjalan
menembus hujan dan angin yang dingin.
“Perdebatan kita cuma menghabiskan waktuku, Bu. Bagaimana mungkin
aku bisa sampai di sana dalam waktu lima belas menit?”
“Sayang, Ibu sangat mendoakan kebaikanmu saat berjalan kaki.”
“Lalu, apa Ibu tidak mendoakanku saat bersepeda?” protesku cepat.
“Zain, percayalah kamu bisa sampai di sana dalam lima belas menit.
Asalkan kamu tetap tenang dan menaati peraturan. Tetap di kiri.”
Ibu seperti polwan lalu lintas yang sedang memberi himbauan, dan
aku seperti pengendara yang terjaring karena melanggar ketertiban lalu lintas.
Tatapan matanya mempunyai kekuatan tersendiri dalam meyakinkan keraguanku.
Dengan sigap ia menarik keluar payung berwarna biru muda dari dalam keranjang
tabung plastik di depan kami. Sembari tersenyum ia mengulurkan payung itu
padaku dan mengecup keningku.
“Hati-hati, Zain. Ibu sangat menyayangimu.”
“Ya, Bu. Aku juga sangat menyayangimu,” balasku lesu dan kecewa sambil memutar gagang pintu dan menutupnya
saat aku sudah berada di luar.
Rumit rasanya berjalan dengan hujan yang terus mengguyur dan angin
menerpa. Dingin segera saja masuk di antara rapatnya seragam, baju hangat, dan
jas hujan anti air. Payung yang kupegang sama menggigilnya dengan tubuhku.
Melewati jalan desa yang sepi, lurus dan panjang sebelum aku menuju jalan raya
sudah membuatku kehilangan rasa percaya diri bahwa keakuratan ibu dalam
menghitung ketepatan waktuku sampai di sekolah hanyalah omong kosong belaka.
Aku bukan penyihir yang bisa terbang dengan sapu lidi bergagang kayu agar aku
bisa cepat sampai di sana. Aku cuma
remaja kecil yang tidak mau mendengarkan saran ibu. Tapi ibu sendiri tidak mau
menuruti keinginanku bersepeda. Agak kesal rasanya. Dan kekesalanku semakin
bertambah saat cipratan mobil mewah milik keluarga Harris yang sombong melintas
tepat mengenai wajahku dan dia meneriakiku dari kaca jendela yang dibuka sesaat,
“Hey, Bodoh! Kau telat!”
Aku jadi mengumpat sambil mengelap wajahku yang kuyup. Perjalanan pagi ini seperti setahun lamanya.
Aku hanya bisa pasrah jika kenyataan tak berpihak padaku. Dan aku jadi tak
memikirkan apakah aku bisa sampai di sekolah dengan tepat waktu atau tidak demi
ujian praktek bernyanyi lagu kebangsaan, ketika aku melihat seseorang berjubah
tebal berjalan di seberang padang rumput
hijau tempat anak-anak desa biasa
menggembalakan ternaknya. Di antara derasnya hujan yang mengganggu pandangan,
aku dapat melihat orang itu masuk ke dalam hutan. Membuatku teringat pada ayah.
Apa yang dipikirkan orang itu hingga nekat masuk ke dalam hutan dalam cuaca
yang buruk seperti ini? Apa dia mau menghilang selama-lamanya seperti ayahku?
Dasar orang bodoh!
Aku telah banyak mengumpat sepagi ini. Dan kakiku tiba-tiba saja
terasa berat. Seakan membeku bersama aspal jalanan. Aku berharap ada orang baik
yang melintas dan memberiku tumpangan gratis. Alih-alih demikian, memang ada
dua cahaya menyorot di kejauhan ketika aku menoleh ke belakang. Aku tidak tahu
apakah itu bus atau mobil jenis lainnya, yang jelas dengan kecepatan yang luar
biasa ia malah menabrakku hingga terpental jauh dan membuatku tak sadarkan diri sejenak sampai aku terbangun
lagi dalam kondisi berdiri dan mendengar bunyi teriakan seseorang.
“Hey! Apa kau mau terus berdiri sia-sia dan mendapat hukuman di
sana?”
Perlahan mataku terbelalak saat tahu siapa yang meneriakiku. Barun.
Seorang penjaga pintu gerbang dan keamanan sekolah bertubuh gempal yang selalu
memuja kedisiplinan. Tapi yang jauh lebih mengherankanku adalah bagaimana aku
bisa benar-benar sampai di depan sekolah? Dalam waktu lima belas menit pula?
Siapa yang mengantarkanku? Aku masih terus bertanya-tanya sendiri sambil
berjalan memasuki gerbang sekolah dan mendengar Barun menggerutuiku.
Sekarang aku benar-benar percaya pada keyakinan ibu. Aku tahu ini
terjadi karena doa ibu yang hebat. Entahlah apa yang terjadi setelah tabrakan
itu dan siapa yang menyelamatkanku. Aku hanya bisa bersyukur dengan keajaiban
lima belas menit pagi ini. Wajah ibu yang cerah membayang di antara tumpukan
awan mendung membuatku lega.
***
No comments:
Post a Comment