Bolehkah
aku terus berandai?
Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi
latar belakang yang sangat indah, dan semilir angin petang memelukku bersama
kenangan yang selalu berbisik di telingaku.
Jika suatu saat nanti datang padaku
sebuah kesempatan untuk kembali ke masa lampau, maka aku ingin selalu berada di
sana, lalu menguncinya pada waktu yang sudah kucocokkan sesuai ingatan yang
telah berkarat di kepalaku. Membiarkan diriku dengan penuh keikhlasan terjebak
di sana. Menjalani hari yang sama, dengan perasaan yang sama. Tidak masalah
meski berulang kali dan aku menyadari itu. Aku akan berjanji, bahkan bersumpah,
tidak akan pernah merasa bosan.
Tetapi itu tak akan pernah terjadi, maka
berhentilah untuk menyalahkan dirimu sendiri. Bukankah dalam hidup seringkali
terjadi sesuatu yang membuat banyak orang cemas menjalani hidup?Bukankah
semestinya semua orang bergerak terus ke depan?
Kudengar sebuah suara yang berasal dari langit senja untuk
pertama kalinya dan aku langsung mendongak ke atas. Terkejut karena suara itu.
Tapi yang kulihat hanya kawanan burung
kecil terbang melintas pulang menuju bukit yang jauh. Tidak ada siapa-siapa
lagi di atas sana.
Lantas suara siapakah itu? Aku masih
mendongak ke atas, bertanya-tanya sendiri sembari meneliti ke bias oranyenya yang
mulai memudar menjadi lebih gelap. Siapa sosok yang telah memberi argumen pada
isi hatiku itu? Apakah angin, atau langit senja itu sendiri, yang barangkali
sudah bosan mendengar suara hatiku yang kian serak? Aku menghirup udara petang
dalam-dalam, merasakannya terjun bebas memompa gelembung paru-paruku. Hingga
seseorang meraih tanganku dan berkata, “Yuk kita pulang, Bang!” Aku terkejut, langsung
menurunkan pandangan dan membelokkannya, menangkap mata bening yang menyorot
lembut di sisiku itu. Sorot mata yang mengalahkan lembutnya senja yang selalu
ingin kukemas dan kumasukkan dalam saku kemeja penuh kenangan ini.
***
Ketika
hendak mengutarakan niatku, jagoan kecilku menabrakkan tubuhnya padaku seakan
ia adalah seorang pebalap motor yang handal dalam mengendalikan tunggangannya.
Membuat tawa girangnya meledak seketika, saat aku ambruk ke kasur santai di
depan televisi. Termasuk istriku yang tengah menyiapkan makan siangku, kudengar
tawanya memantul di panci dan kuali yang digantung di dinding dapur.
“Jangan
ganggu ayah, Agung. Ayah lagi capek itu.” Istriku mencoba menasihati putra
kecil kami yang masih berusia empat tahun. Namun segera kubantah dan berkata
padanya bahwa aku baik-baik saja dengan candaan Agung. Tidak ada masalah meski
betapa lelahnya aku menggarap ladang padi darat di kaki bukit. Sebab bagiku
lelucon yang diperlihatkan Agung adalah hal hebat yang sangat perlu kusaksikan
perkembangannya.
Kemudian
istriku muncul dari dapur dan langsung duduk bersimpuh di hadapanku sambil
meletakkan nampan berisi sepiring nasi beserta sayur bayam merah dengan lauk
ikan sungai goreng dan segelas air putih. Ia mempersilakanku makan dengan
meraih tubuh Agung dan memindahkan ke pangkuannya. Kupikir, setelah melihat ia
tampak lebih rileks seperti ini adalah saat yang tepat untuk mengatakannya
secara langsung.
“Salma,
abang berencana mau pergi ke kota besok. Diajak Bang Ahmadi,” kataku ketika
mengakhiri suapan pertama yang langsung meluncur melewati kerongkonganku menuju
lambung. Kulihat mata istriku itu langsung meredup. Maka cepat-cepat kusambung
kalimatku. “Cuma satu hari saja. Itu juga kalau bisa lebih cepat, maka tidak
lama. Tapi kamu tahu kan, bila sampai di kota tapi tidak sekalian mencari
informasi seputar kerjaan bagus, maka seperti menyia-nyiakan kesempatan. Bang
Ahmadi punya kenalan di kota yang katanya butuh pegawai. Aku perlu bertanya
langsung soal itu pada kenalannya.”
Salma
istriku masih terdiam, malah lebih menunduk. Tapi untungnya itu tidak lama.
Wajahnya dipaksa tersenyum ketika mengatakan bahwa ia mengizinkanku untuk pergi
ke kota besok. Membuatku lega. Meski seorang suami tidak perlu izin istri untuk
bepergian, tapi bagiku, itu sangat penting. Karena dengan begitu kami bisa
saling memercayai dan mendoakan ketika saling berjauhan.
“Kalau
kamu takut di rumah berdua, nanti abang minta tolong sama Ridwan untuk
mengantarmu ke rumah bapak,” ujarku sambil mengunyah suapan yang entah
keberapa.
“Tidak
usah, Bang,” jawab istriku seraya menggeleng. “Aku sama Agung di rumah saja.
Lagipula apa yang ditakutkan. Toh, kalau ada apa-apa kan tinggal minta tolong
tetangga.”
“Ya
sudah kalau begitu. Yang penting kamu tetap jaga Agung terus dan awasi dia,
jangan sampai kenapa-kenapa. Jangan diizinkan dia main sama teman-temannya
sampai ke atas bukit. Bahaya.”
“Iyalah,
Bang. Nggak mungkin itu.” Istriku terkekeh ketika membalas pesan-pesanku
padanya. Mungkin ia merasa geli karena aku menganggapnya seakan kurang
memperhatikan anak pertama kami. “Setiap hari juga kan sama aku. Nggak kuizinin
kok dia main jauh-jauh, paling sekitaran sini saja. Lagipula mau apa coba anak
umur empat tahun begitu sampai naik puncak bukit. Bapak sama ibu bisa marah
besar sama aku. Tapi… eh, tunggu sebentar, Bang.”
Salma
langsung menurunkan Agung dari pangkuannya lalu berdiri dan berjalan cepat menuju
kamar sambil mengiyakan semua pesan-pesanku. Sepertinya ia teringat sesuatu
yang perlu disampaikan kepadaku. Karena tak sampai lima menit ia sudah kembali lagi
sambil membawa sebuah baju baru yang masih terbungkus plastik.
“Tadi
Kak Lisma bawa baju-baju bagus, Bang. Aku pilih kemeja ini buat abang,” kata
istriku tersenyum seraya mengulurkan kemeja berwarna biru langit, warna
favoritnya, yang masih terbungkus plastik itu kepadaku. “Pas juga waktunya buat
dipakai abang besok pergi ke kota. Jadi kan kelihatan lebih rapi dan ganteng,”
sambungnya menggodaku yang spontan membuatkku tersipu malu. Rasanya sudah lama
sekali istriku itu tidak memuji ketampananku secara langsung sejak ia menjadi
lebih sibuk dengan aktivitasnya menjadi ibu rumah tangga; mengurus suami, anak,
rumah dan segala perkakasnya.
“Terima
kasih ya istriku yang cantik dan baik hati,” balasku sengaja balik menggodanya,
yang langsung membuat wajah Salma memerah seperti bunga mawar yang baru mekar.
“Doakan ayah ya, Nak. Semoga besok lancar dan selamat. Biar bisa pulang lebih
cepat,” sambungku sambil mengusap-usap rambut Agung yang sedang minum air putih
dalam gelas yang disediakan untukku.
“Iya.
Amin.” Istriku menyahut mengajari Agung.
Aku
sangat senang mendapat restu dari istriku untuk keberangkatanku ke kota besok.
Dengan begitu aku bisa lebih semangat dalam berikhtiar, tak mudah putus asa. Ditambah
lagi istriku baru saja memberikanku kejutan berupa sebuah kemeja biru langit
yang bisa langsung kukenakan besok. Tentunya hal itu akan menambah kepercayaan
kami untuk saling menjaga kesetiaan.
Setelah
kukecup kedua pipi Agung dan istriku mencium punggung tangan kananku, aku
berjalan meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan lalu duduk dengan mantap
di belakang Bang Ahmadi yang mengenderai sepeda motor. Dan ketika aku menoleh
ke belakang, aku hanya bisa melihat atap rumah, karena rumahku sudah tertutup
oleh rumah Pak Harjan yang berada di bawah rumahku. Entah kenapa, semakin
perjalanan ini membuatku kian menjauh dari rumah, jantungku mendadak berdesir-desir.
Sebuah perasaan yang tidak biasa tiba-tiba mencuat begitu saja. Perasaan
khawatir pada dua jiwaku yang berada di sana datang menyergap batinku.
Ah, mungkin karena aku amat jarang
melakukan perjalanan jauh seperti ini, makanya begitu, kataku cepat-cepat dalam hati untuk menguatkan
keyakinan dan mengusir hal-hal buruk yang tadi tersirat dalam pikiranku. Aku
berharap semua harus tetap baik-baik saja. Lagipula, menurut Bang Ahmadi hanya butuh
empat jam saja untuk sampai ke kota. Jadi kemungkinan kami bisa pulang cepat
karena urusan Bang Ahmadi tidak butuh waktu lama ditambah dengan keperluanku ke
tempat kenalan Bang Ahmadi yang butuh pegawai baru. Hanya itu saja.
Namun sayangnya, rencana tersebut tak
bisa sesuai dengan kenyataannya. Benar kalau manusia memang perlu dan harus
memiliki banyak rencana, namun hasil akhir tetap Tuhan yang berhak menentukan.
Dalam separuh perjalanan kami, hujan deras disertai kilat dan petir mengguyur
selama satu jam. Membuat aku dan Bang Ahmadi terpaksa berteduh di warung
pinggir jalan dan memesan dua gelas kopi panas dan beberapa gorengan. Hawa
dingin yang menyusup ke dalam tubuhku tiba-tiba, lagi, menimbulkan kegetiran
dan kecemasan yang menggigit-gigit hatiku seperti nyamuk yang haus darah. Aku
ingin mengirimi istriku pesan, menanyai keadaannya dan Agung, namun sinyal
seluler terlalu lemah bahkan musnah. Hingga aku hanya mampu menahan kekesalan tanpa
diketahui Bang Ahmadi dan memasukkan kembali ponsel ke dalam kantong jaket. Aku
yakin istriku pasti juga sedang mencemaskanku.
Barulah
ketika langit menyisakan rintik halus dan guruh yang berdentum pelan, kami kembali
melanjutkan perjalanan dan bersyukur tak ada lagi hambatan yang membuat kami
harus menunda perjalanan, dan akhirnya bisa tiba di kota dengan selamat, tetap dalam
kondisi fit. Membuatku buru-buru meraih ponsel dalam kantong jaket dan langsung
mengetik pesan, mengabari bahwa aku sudah sampai pada istriku. Begitu pun yang
dilakukan Bang Ahmadi. Ia juga menelepon istrinya dan berkata bahwa ia telah sampai
di kota dengan selamat.
“Mal,
kita langsung ke tempat kenalan Abang itu ya,” kata Bang Ahmadi kepadaku ketika
ia selesai berkabar dengan istrinya melalui telepon, dan aku langsung
memasukkan kembali ponselku ke dalam kantong jaket.
“Lho
kenapa, Bang?” Aku mengernyitkan dahi. “Bukannya kita harus ke tempat Abang
dulu. Baru setelah itu kita ke sana. Nanti keburu turun hujan lagi.”
“Ah,
nggak apa-apa,” imbuh Bang Ahmadi sambil menyuruhku naik ke motornya lagi.
“Urusan Abang cepat kok. Mendingan kita langsung ke sana. Biar kamu tahu
bagaimana kerjaannya. Teman Abang itu baik. Abang sudah ceritakan tentang kamu,
Mal. Lagipula kamu kan lulusan SMK jurusan komputer. Dia lagi butuh betul
pegawai yang bisa komputer. Dan tentunya, orang yang bisa dipercaya. Makanya
Abang nggak mau nawari ke yang lain. Karena Abang yakin kamu orang yang cocok.”
“Oh,
begitu. Baiklah, Bang. Terima kasih banyak ya, Bang.” kataku sambil mengangguk.
Sungguh
aku sangat senang ketika mendengar ucapan Bang Ahmadi perihal kepeduliannya
padaku. Mungkin karena ia tahu betul kehidupanku seperti apa. Toh, meski kami
tidak satu kampung bahkan tidak sedarah, ia seperti kakak kandungku sendiri
sejak ia ceritakan bahwa ia kenal baik dengan almarhum ayahku yang kerap
menolongnya dulu ketika susah. Jadi kupikir tak perlu menyanggah perkataannya
lagi, lebih baik langsung duduk di belakangnya dan segera berangkat.
Sesampainya
di sebuah kantor tak bertingkat, mirip
rumah biasa tapi memiliki banyak jendela dan kotak-kotak pendingin ruangan di
bagian luarnya, yang kata Bang Ahmadi itu merupakan kantor cabang dari sebuah
perusahaan besar, kami segera menemui teman Bang Ahmadi yang ternyata keturunan
Tionghoa bernama Lim. Bang Ahmadi pun berbincang sebentar perihal kabar dengan
temannya itu lalu mengenalkan diriku padanya.
Tak
butuh waktu lama untuk meyakinkan teman Bang Ahmadi itu untuk menerimaku kerja
di kantornya. Ternyata memang benar kata Bang Ahmadi, temannya itu ramah dan
baik sekali. Aku langsung diterima usai wawancara dan menunjukkan ketangkasanku
mengoperasikan perangkat komputer di hadapannya, yang jujur sudah lama sekali tak
pernah lagi kusentuh sejak lulus sekolah, namun lekat dalam ingatan. Aku hanya
perlu menyiapkan berkas lamaran saja sebagai bentuk formalitas penerimaan dan
bisa langsung bekerja seminggu lagi agar aku bisa melakukan persiapan yang lain.
Tapi entahlah, aku jauh lebih yakin lagi bahwa kisah yang dituturkan Bang
Ahmadi tentangkulah yang membuat Pak Lim itu menerimaku bekerja di sini. Karena zaman sekarang mencari pekerjaan di kota
itu sangat sulit. Sementara aku bisa dengan mudah mendapatkannya. Tentu ada
hal-hal yang mengatasnamakan kebaikanlah yang membuat nasib baik ini terjadi.
Kemudian
aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Lim dan Bang Ahmadi sambil
menjabat erat tangan keduanya bergantian. Menunjukkan betapa bahagianya aku
dengan senantiasa tersenyum lebar di hadapan mereka. Membuatku tak sabar untuk
segera pulang, bertemu langsung dengan istriku dan memberitahunya tentang kabar
sangat baik ini. Pasti ia sangat senang mendengarnya. Bisa-bisa ia nanti memborong
banyak kemeja yang dijual Kak Lisma untukku. Aku memikirkan itu dengan perasaan
geli.
Setelah
semua urusan di kantor Pak Lim berakhir bahagia, aku diterima kerja, kami
segera meluncur ke tempat yang seharusnya menjadi tujuan pertama, yakni kantor
tempat adik Bang Ahmadi bekerja. Akan tetapi, belum sampai ke tujuan, hujan
turun lagi, bahkan lebih deras. Jadi kami terpaksa untuk kedua kalinya berteduh
di sebuah warung makan sekalian mengisi perut yang sudah mulai keroncongan. Sebenarnya aku jadi tak enak hati dengan
keadaan itu. Karena itu artinya urusan Bang Ahmadi menemui adiknya jadi tertunda
lagi.
Namun, lagi-lagi Bang Ahmadi tidak
mempermasalahkan hal itu. Ia malah senang ketika bisa membantuku mendapatkan
pekerjaan. Ia bahkan menyarankanku untuk pindah ke kota saja supaya urusan
kerjaku nanti jadi lebih mudah. Namun kukatakan padanya semua itu butuh
pertimbangan dan diskusi yang mufakat bersama istriku, dan ia mengangguk paham,
meski dalam hatiku itu sudah terbersit sebagai rencana.
Kami terus berbincang sambil sesekali
melihat keluar. Memandang hujan yang mengguyur jalanan hingga menciptakan
genangan, dan menyaksikan bagaimana orang-orang kota berusaha secepat mungkin
bergerak menghadapi hujan meski itu tak mungkin. Sebab kota ini tak seperti
kampungku yang berbukit-bukit. Di sini jumlah penduduk luar biasa ramai dan gedung-gedung
dibangun berdampingan di sepanjang jalan. Sehingga pergerakan, baik manusia
maupun kendaraan, harus diperlambat agar tak terjadi hal-hal buruk. Sampai
ketika ponsel Bang Ahmadi berdering keras diantara suara hujan yang berisik mengguyur
atap seng warung makan, kami baru memutus percakapan dan aku memilih untuk jadi
pendengar saja ketika Bang Ahmadi menekan tombol speaker di ponselnya.
“Iya, ada apa?” tanya Bang Ahmadi
kepada istrinya, sambil menutup sebelah telinganya untuk fokus mendengar.
“Bang, dimana sekarang?”
“Masih di kota, hujan deras, Abang pun
belum ke tempat Syarif.”
“Masih sama Kamal?” tanya istrinya lagi
yang langsung di-iyakan oleh Bang Ahmadi sambil mengangguk. “Sudahlah, Bang,
cepat pulang. Keadaannya gawat.”
Mendengar kata “gawat” yang diucapkan
lantang oleh istri Bang Ahmadi lewat telepon membuatku tersentak dan darahku
tersirap. Jantungku berdegup dengan tempo lebih cepat. Telinga kupasang
tinggi-tinggi untuk dapat mendengar dengan jelas.
“Iya,
ada apa, Nah?” Bang Ahmadi bertanya dengan nada mendesak dan wajahnya tampak
sangat cemas.
“Bang….
Kampungnya si Kamal tertimbun longsoran bukit.” Istri Bang Ahmadi menyampaikan
kabar mengejutkan tersebut dengan suara bergetar. “Cepatlah kau pulang.
Batalkan pertemuanmu dengan Syarif.”
Aku
tak tahu apa yang terjadi selanjutnya atau apa yang kemudian dibicarakan Bang
Ahmadi bersama istrinya kemudian di telepon. Yang kulihat mulut Bang Ahmadi
menganga lebar dan matanya terpasak kuat ke mataku. Sementara aku tak bisa
berkata-kata bahkan bergerak sedikitpun. Aku merasa tuli, mulutku terkunci
seketika dan jantungku menghisap seluruh darah di ribuan nadi, membuatnya
bengkak kemudian meledak. Dan rasanya aku melihat kota yang baru kusinggahi
hari ini menjadi terbalik. Gedung-gedung melempar semua penghuninya keluar dan
jalanan menjadi ombak sangat besar yang menggulung orang-orang beserta seluruh
kendaraan. Aku menjadi sangat kebas laksana patung besar di tengah kota, dan
tahu-tahu air mataku menderas seperti hujan yang mengguyur seluruh kota lalu
sebuah kilatan besar menyambarku dengan hebat, meleburkan tubuhku beserta
seluruh keinginan dan harapan yang beberapa saat lalu baru saja kuukir dalam
hati.
Bang
Ahmadi kemudian berusaha menenangkanku dan menasihatiku untuk terus mengingat Tuhan.
Ia menepuk-nepuk pelan bahuku meski kulihat juga di matanya penuh genangan air
kesedihan yang mendalam. Entah apa yang harus kami lakukan sekarang. Rasanya aku
ingin langsung berlari ke dalam hujan, secepat mungkin, bilaperlu sampai kakiku
patah, agar bisa segera sampai di kampung. Namun hujan deras, jarak tempuh, dan
kesedihan telah memerangkap kami seperti penjara besi. Menjadikanku seperti
daun yang dipaksa gugur oleh badai dahsyat namun hatiku terus meraung memanggil
nama istriku dan anak lelakiku yang tampan. Hingga kemudian, dengan tangan
gemetar, kutarik ponsel keluar dari jaket, untuk mengalihkan pikiran yang tak
terbantahkan itu. Akan tetapi, betapa semakin runtuhnya hidupku ketika kulihat
sebuah pesan balasan dari istriku beberapa waktu lalu ketika kukabari ia
tentang keberhasilanku mendapatkan pekerjaan baru, yang belum sempat kucek.
“Alhamdulillah, Bang. Segeralah pulang,
Agung kangen padamu.”
Ya
Tuhan, ampuni aku. Aku bahkan tak bisa lagi menahan tubuhku ketika ambruk dan
beberapa orang yang sejak tadi memperhatikan kami di dalam warung makan langsung
meraih dan memegangi tubuhku. Menjagaku untuk tetap sadar.
***
“Yuk
kita pulang, Bang!”
Aku
menurunkan pandangan. Ke bibir yang melengkungkan sebuah senyuman mendamaikan
kegundahan itu, dikala jingga senja semakin hilang dari pandangan dan
bukit-bukit mulai ditelan kegelapan. Lalu, yang terjadi kemudian adalah
tangannya meraih jari-jari tanganku dengan lembut disusul oleh kemunculan
seorang anak lelaki kecil berambut ikal yang tiba-tiba saja berlari dan
berhambur ke arahku dari balik tubuh ramping perempuan berwajah manis itu.
Aku
mengenali keduanya. Bahkan teramat sangat kenal. Hingga kemudian justru
tangankulah yang menggenggam erat tangannya dan merendahkan tubuhku untuk
meraih pelukan lelaki kecil berambut ikal itu.
Aku samasekali tidak terkejut, bahkan
mendadak menjadi bahagia yang tidak terkira. Aku hanya sedikit bertanya-tanya,
apakah Tuhan baru saja mengabulkan keinginanku. Apakah Tuhan baru saja
melepasku ke dalam lingkaran waktu dimana aku ingin hidup selamanya di sini.
Bersama istri dan anak lelaki yang amat kucintai. Apakah Tuhan mengizinkanku
mengemas senja untuk kulipat dan kumasukkan ke dalam saku kemeja biru muda yang
senantiasa sama setiap kali waktu berputar ke titik yang sama?
***
No comments:
Post a Comment