CERPEN

Sunday, February 11, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_AGITASI


AGITASI
Oleh: M.Z. Billal

Matanya ditutup sejak ia dibawa paksa ke tempat terbuka itu, sementara kaki dan tangannya diikat kuat. Ia bisa merasakan bebatuan dan angin dingin yang menderanya di tempatnya bersimpuh. Tahu-tahu saja sebuah peluru panas menembus dada kirinya. Tak lantas mati, ia masih bisa mendengar beberapa percakapan meski tak terlalu jelas dengan rasa sakit yang tak terlukiskan di sekujur tubuhnya. Peluru itu meleset beberapa senti dari jantungnya mengenai organ yang lain. Ia tak berteriak, hanya mengerang pelan dan merasakan betapa basahnya piyama yang ia kenakan oleh darahnya sendiri dan merasakan kepalanya berdenyut parah. Ia mulai menggigil. Dan lagi, tahu-tahu sebuah sepatu berbahan keras menendang kuat dada yang lain membuatnya terlempar dan  berguling ke belakang lalu terjun ke bawah. Ia merasakan tubuhnya melayang seperti dalam perut ibunya yang dulu menjadikannya, ia tak bisa melihat, hanya rasa sakit itu mengantarkannya pada ingatan yang perlahan mulai hilang dalam ketiadaan.
***
“Apa harus melulu tentang sensasi, fenomenal, dan keuntungan? Aku mulai bosan dengan keadaan seperti ini. Ini benar-benar sebuah provokasi, sebuah hasutan, menghancurkan negara!” serunya di sela-sela rapat redaksi yang riuh oleh topik-topik panas yang rencananya akan disiarkan di saluran berita televisi.

Semua yang ada di sana memandang Roy yang memberengut. Tampak sekali ia jengkel. Rapat menjadi tegang tak seceria saat mereka berkumpul dan bercanda ketika mengobrol soal program berita di saluran telvisi lain. Seorang di antaranya, sang produser, berdeham untuk mengalihkan emosi Roy dengan berkata, “Rapat hari ini selesai, silakan kembali ke ruangan masing-masing. Dan… Roy, bukankah sebentar lagi ada Breaking News yang harus kamu bawakan?”

Anggota rapat redaksi mulai ke luar ruangan dengan bisik-bisik yang jelas dapat ditangkap oleh telinga Roy. Sementara ia masih duduk dengan tangan mengepal, di sisinya masih ada produser yang membereskan beberapa lembaran materi rapat.

“Jadi sekarang kita perlu membahas tentang agitasi dan provokasi?” dengus lelaki berkacamata itu kepada Roy yang masih menunduk. “Ada apa denganmu, Roy?” Tanpa perlu mendapat jawaban, ia melangkah ke luar ruangan meninggalkan Roy sendirian.

Hamdan Royenza, adalah seorang presenter berita televisi dari saluran Kontra17, yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menyajikan sebuah berita. Tajam, akurat, berimbang, dan penuh ekspresi serta komentar-komentar pedas dan berani yang keluar dari bibirnya membuat ia semakin digemari khalayak ramai. Rating program berita yang ia bawakan meroket sampai ke puncak tingkatan. Bahkan setahun setelah ia menjadi penyiar berita di saluran televisi tersebut ia berhasil menyabet penghargaan sebagai Presenter Berita Terbaik. Sebuah prestasi yang membanggakan baginya. Selain itu ia juga menjadi pembicara di kampus-kampus sebagai bentuk memotivasi generasi penerus bangsa agar tak salah langkah seperti beberapa pejabat negara yang diberi kuasa malah menyelewengkannya. Ia mengatakan dengan penuh semangat berapi sebagai seorang ahli penyaji berita, “Tidak ada rakyat yang bodoh sejatinya, yang bodoh itu orang-orang yang mengaku bagian dari rakyat!”

Tapi belakangan ini entah kenapa ia merasa bahwa sesuatu mengusik ketenangan hidupnya.  Ia merasa ada yang salah. Ini seperti kecenderungan ketika seseorang berhasil melakukan pencapaian tertinggi dari keinginannya, mulai bosan ingin melakukan hal yang segar agar tak menjemukan. Terlebih ketika ia harus berbicara, memberi komentar pada tiap berita yang ia bawakan. Meski itu yang dinanti oleh pemirsanya, tapi kini ia merasa bahwa melebih-lebihkan sebuah berita juga tak baik untuk sebuah kelangsungan hidup. Baik dari korban pemberitaan juga bagi dirinya yang melakukan pemberitaan. Ini salah satu tantangan- mungkin juga apresiasi- baginya selama di Kontra17, ia menjadi ikon yang menjanjikan untuk masyarakat menonton tayangan berita mereka. Tapi perlu diingat, bahwa tak semua yang ia bicarakan disukai oleh berbagai kalangan. Ada kelompok tertentu yang pasti amat muak dan marah padanya. Dan itu telah terbukti dengan adanya surat ancaman dari seseorang yang dia sengaja  rahasiakan dari semua teman di redaksi. Surat itu ia terima melalui pos langsung ke rumahnya. Isinya membuat bulu kuduk berdiri, menakutkan.  Selain itu, padatnya jadwal, membuat ia sering melupakan seseorang yang menjadi teman hidupnya. Gayatri. Ini semakin membuat ia bosan.

Roy masih bergeming di ruangan itu. Menunduk dan memukul-mukul pelan meja kaca.
***
Ia memutuskan untuk mengambil libur sehari. Meminta rekan yang lain menggantikannya siaran  langsung. Di rumah ia hanya duduk seharian di sofa menonton siaran berita dari channel yang lain. Bahkan dari pagi ia belum mandi. Meski sudah sarapan, istrinya sudah pergi bersama teman-temanya untuk berkumpul dan bergosip, meniru suaminya yang terkenal. Ia tampak bosan dan butuh suasana yang menggembirakan.

Pukul 11 akhirnya istrinya pulang, Roy masih duduk di depan televisi. Wajahnya sama kusutnya sejak ia terbangun.

“Astaga, kamu masih seperti ini, Sayang?” seru istrinya mengerutkan kening sambil tersenyum dan mengempaskan tubuhnya yang sintal di sofa bersamanya. “Mandi sana, sebentar lagi kusiapkan makan siang.”

Tak banyak bicara Roy menuruti kata istrinya.  Tapi sesusai ia bebersih diri ia kembali duduk terkulai di depan televisi. Pandangannya masih kusut mengingat banyaknya tekanan dan surat ancaman yang dirahasiakannya rapat bahkan dari Gayatri, istrinya.

“Sayang, kamu sakit?” tanya istrinya sembari meletakkan punggung tangannya ke pipi Roy. “Tapi semuanya tampak baik-baik saja. Ada apa? Ada masalah, ceritalah padaku. Jangan diam begitu, aku jadi makin tidak ngerti keadaanmu.”

Roy masih diam, ia hanya sekali memandang Gayatri. Selebihnya ia habiskan pada siaran berita televisi yang terus diganti. Kali ini berita di televisi mengangkat berita tentang seorang ketua gangster yang dihakimi massa.

“Hmm…Sayang, bagaimana kalau kita liburan ke pantai saja?” ajak istrinya antusias. “Teman-temanku mengadakan liburan keluarga. Kita bisa kumpul-kumpul dan berpesta. Jadi kamu nggak sekusut ini, kan?”

Roy mendesah. “Sayang, kamu boleh ke mana saja yang kamu inginkan. Tapi aku cuma ingin tidur di rumah dan menikmati rehat yang berharga ini,” jawab Roy. Seketika ia tekan tombol off dan beranjak meninggalkan istrinya yang terbengong.

Gayatri menjadi sensitif dengan sikap suaminya yang jarang di rumah itu. Ia menjadi emosi dan matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunjukkan kepeduliannya sebagai istri kepada suami yang tak baik suasana hatinya. Malah diperlakukan demikian. Bicara sekali lalu tidak diacuhkan.

“Rooyyy!” pekiknya, “apa ini yang disebut komunikasi!” Ia lempar bantal sofa ketika Roy menutup pintu kamar.

“Semenjak bekerja di sana dan populer kamu mulai lupa semuanya. Bahkan ketika aku sengaja habiskan uang untuk belanja yang sesungguhnya barang tidak penting kamu pun tidak peduli. Kamu tahu, Roy, hidup itu tak boleh dihabiskan hanya dengan memberi komentar pada kehidupan orang lain!” sindir Gayatri dalam omelannya pada profesi Roy. Daripada ia semakin emosi, diambilnya tas yang berada di dekatnya dan bergegas membanting pintu dari luar. Terdengar ia menelepon seseorang untuk bertemu

***
Roy sudah berusaha menenangkan dirinya. Ia membiarkan istrinya pulang ke rumah orang tuanya. Entah seperti apa kelanjutan rumah tangganya ia akan bicara baik-baik pada mertuanya. Namun sayang, satu hal yang ingin ia ubah belum bisa terwujud. Ia sudah berpikir masak untuk berhenti jadi penyiar berita dan memilih jadi wartawan biasa. Tapi produsernya menolak hal itu. Keputusan Roy dapat berdampak buruk bagi kelangsungan program berita yang selalu mendapat rating nomor satu itu, juga untuk Kontra17. Saluran yang khusus menyiarkan pemberitaan saja.

Roy semakin tertekan. Selepas menyiarkan berita secara agresif tapi penuh kepalsuan, ia segera menemui produsenya. Meski mendapat pertentangan dan perdebatan ia tak peduli. Ia hanya ingin kedamaaian. Dengan marah ia layangkan surat pengunduran diri dan bergegas meninggalkan gedung kantor. Ia ingin segera meminta maaf pada Gayatri, istrinya yang tengah terluka karenanya.

Namun, tak pernah ia sangka dalam hidupnya akan terjadi demikian, belum sempat ia membuka pintu mobil tiba-tiba muncul empat pria bertubuh besar yang dengan kasar memukul tengkuk dan wajahnya, membuat ia terlempar. Ia ingin berteriak meminta tolong tapi yang lain segera membekap mulutnya dengan sebuah penutup kepala hitam sementara satunya mengambil paksa kunci mobilnya. Tak ada siapa-siapa di garasi besar itu kecuali dia dan empat pria bertubuh raksasa. Ini memang belum jam pulang. Melawan pun ia tak berdaya. Ia diseret, beberapa kali kepalanya dipukul hingga ia tak sadarkan diri lagi. Ia sempat bertanya-tanya sendiri dalam kesakitannya, mungkinkah ini ancaman yang dimaksud itu? Tapi siapa?

***
Beberapa hari setelah itu, siaran berita di Kontra17 menjadi yang paling banyak ditonton. Bagaimana tidak, berita menghilangnya presenter berita ternama Hamdan Royenza tentu sangat penting untuk dipublikasikan. Tak hanya dari Kontra17, stasiun berita lain pun secara berjamaah mengekspos berita ini dengan sangat detail. Para penyaji berita, pejabat, selebriti, bahkan rakyat jelata beramai-ramai membicarakan kabar mengejutkan ini. Mereka berdiskusi, menganalisis, dan berandai-andai dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Semua yang mengenal Roy menjadi narasumber dan mendadak populer wara-wiri di layar kaca. Begitu pun dengan Gayatri, ia justru menjadi orang yang paling tidak mau diwawancarai. Ia menangis terus menerus. Hatinya penuh kecemasan dan rasa sesal yang membuncah. Seharusnya ia tak pernah meninggalkan Roy.

Sepekan berlalu Roy tak juga kembali. Tentu saja, bahkan tak pernah ada yang tahu kecuali kita yang membaca kisah ini bahwa Roy telah tewas ditembak mati oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ia ada di suatu tempat, tubuhnya telah bersatu dengan alam. Tapi siapakah orang yang tega membunuh Roy? Apakah orang yang paling membencinya, ataukah rekan kerjanya sendiri di Kontra17?

***

Wednesday, February 7, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_PERI-PERI YANG TERBAKAR









Peri-Peri Yang Terbakar
Oleh : M.Z. Billal
Semua larangan keras tampaknya tak juga diindahkan oleh para pembakar hutan itu. Mereka tetap menyulut api dan menjadikannya ular raksasa yang memangsa hijaunya hutan yang dihuni oleh ratusan spesies tanaman dan hewan. Demi keuntungan mereka, secara sadar, mengorbankan banyak hal bahkan telah menyakiti rumah mereka sendiri. Mereka bukan manusia meski Tuhan juga yang menciptakan mereka.  Mereka adalah bangsa Pemuja Api. Yang mereka anggap sebagai penguasa alam semesta adalah Ivret dengan tunggangannya seekor ular api raksasa bernama Rhas yang gemar memakan keindahan dan kedamaian. Ivret memiliki kerajaan yang tersebar dimana-mana di negeri ini.  Hamba-hambanya juga tak sedikit. Jangan mudah tertipu, bahkan yang bermuka manis sekali pun bisa jadi adalah pemuja Ivret yang mereka sebut Sang Agung.
Begitu pun yang terjadi di Hutan Indragiri. Para pemuja Ivret juga melancarkan segala cara agar dapat memberikan kurban bukti ketaatan pada Yang Mulia mereka. Mereka merapal mantra memanggil Rhas untuk segera menelan keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri.  Pohon-pohon, satwa, dan udara di sana berteriak oleh napas kebengisan Rhas. Juga dengan Tujuh Peri Penjaga keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Mereka yang mencintai Hutan Indragiri dengan segala jiwa mereka merasa sangat tersakiti. Mereka terluka karena tak kuasa melawan Rhas yang liar dan membabibuta.
Sanuda si Peri Pengatur Tanaman, Sfanunna  si Peri Pengatur Hewan, dan Sahata si Peri  Pengatur Tanah adalah yang paling terluka. Sayap-sayap mereka terbakar. Sehingga mereka harus berlari sekuat tenaga untuk menghindari semburan api Rhas. Kekuatan Mengatur mereka jadi tak berguna tanpa sayap. Sementara itu Sanhutah si Peri Pengatur Cahaya dan Sahima si Peri Pengatur Suhu, meski sayap mereka masih baik-baik saja, tetapi tubuh mereka terempas retih-retih besar api. Membuat nasib keduanya tak berbeda dengan tiga peri penjaga lainnya. Kekuatan mereka pun tak seberapa untuk melawan Rhas. Yang cukup beruntung adalah Saura si Peri Pengatur Air dan Sangina si Peri Pengatur Angin. Saura dengan segala kemampuannya mengatur air segera menciptakan sebuah pusaran besar air yang ia panggil dari aliran kecil, kanal, telaga, dan sungai. Dibantu Sangina yang menciptakan angin besar yang mendorong pusaran air ciptaan Saura untuk melawan kobaran api Rhas yang merajalela tak kenal ampun. Sangina juga tak bisa berbuat banyak kecuali membantu Saura. Karena angin yang ia atur dapat dimanfaatkan oleh Rhas bila angin tersebut berbanding kecil dengan nyala api Rhas. Malam itu adalah perjuangan paling besar yang dilakukan Tujuh Peri Penjaga Hutan Indragiri untuk menyelamatkan rumah mereka agar tetap terjaga keseimbangan alam.
Seberapa pun rusak dan hancurnya Hutan Indragiri mereka harus tetap hidup. Berkumpul untuk menyatukan kekuatan dan memulai lagi membangun keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Tak ada jalan lain, melawan kerakusan Rhas yang terkutuk itu sama dengan mengorbankan diri untuk kehancuran abadi.  Ivret juga tak akan membiarkan peliharaannya itu kalah.
Pada akhirnya, Tujuh Peri yang malang itu memutuskan untuk  saling membantu dan menjauhi hutan sementara. Mereka akan menemui Tuk Jae, pria yang kenal seluk-beluk Hutan Indragiri sekaligus penghubung antara manusia yang mencintai alam dengan para Peri Penjaga Hutan tersebut. Tuk Jae dahulu tinggal di tepi hutan paling hening, tetapi karena kebaikannya ia diterima oleh manusia-manusia yang tinggal di pemukiman. Jaraknya cukup jauh bagi para peri yang terbakar
***
Tuk Jae segera menyiapkan tempat yang nyaman bagi ke tujuh peri yang terbakar di dalam rumahnya. Ia tampak sibuk dan gugup karena kehadiran para peri benar-benar tanpa diduga. Terlebih kondisi peri-peri tersebut mengenaskan. Mereka penuh luka bakar bahkan kehilangan sayap dan kekuatan. Jika saja para peri memberi kabar kunjungan mereka, barangkali Tuk Jae bisa mempersiapkan jauh lebih baik dari saat ini.
“Kau tak perlu repot-repot, Tuk,” ujar Sfanunna sambil membersihkan tubuh mungilnya yang hitam karena abu. “Kami kemari untuk membicarakan hal yang serius.”
“Kami benar-benar tak menyangka bahwa malam ini Ivret dan Rhas menyerang Hutan Indragiri,” tambah Sanhutah yang duduk di kayu kecil beraroma wangi. “Itu semua karena mereka, yang memujanya!”
Tuk Jae menundukkan kepala, tampak sedih dan menyesal. Ia seharusnya tahu apa yang terjadi. Tapi semenjak tinggal di pemukiman ia jadi jarang mengunjungi Para Peri. Itu semua ia lakukan agar ia tak disebut sebagai penyembah setan, sebab para peri penjaga ini bukanlah setan. Para peri pun menyetujui keinginan Tuk Jae waktu itu. Jadi ia tak menyalahkan Tuk Jae.
“Kau tak perlu merasa bersalah, Tuk.” Sanuda mendekati Tuk Jae dan mengelus punggung tangannya yang keriput. Sanuda adalah peri yang paling bermurah hati. “Kami datang ke sini tidak memintamu mempertanggungjawabkan keadaan. Kami membutuhkan bantuanmu. Percayalah. Walau kami adalah peri, kami sangat membutuhkan bantuan para manusia yang juga mencintai alam.”
Tuk Jae memandang wajah para peri satu persatu, mereka tetap cantik dan ajaib meski kondisi mereka memperihatinkan. Mengenal mereka adalah sebuah kekaguman luar biasa, apalagi dapat membantu mereka tentu itu akan sangat membahagiakan lagi. Tapi Tuk Jae tampak ragu.
“Tuan Putri, Ivret terlalu kuat untuk dapat dikalahkan. Rhas, peliharaannya adalah makhluk paling rakus memangsa keindahan dan kedamaian. Ia semakin lapar jika melihat bentangan keindahan dan kedamaian itu di negeri ini. Kudengar dan kulihat beritanya, Rhas membantuk sebuah negeri untuk memusnahkan negeri yang lain di luar sana atas perintah Ivret. Bahkan anak-anak tak berdosa pun lahap ia makan,” kata Tuk Jae. “Jadi kita yang tak terlalu kuat ini, apalagi para pemuja Ivret yang saat ini sulit dibedakan, apakah bisa mengalahkannya?”
“Kita tak boleh putus asa, Tuk!” seru Sangina yang sejak tadi menciptakan angin kecil untuk membantu yang lain membersihkan diri. “Kita semua sama, kita adalah ciptaan Tuhan Yang Agung. Mungkin manusia kerap salah paham tentang keberadaan kami sebagai Peri Penjaga Hutan Indragiri. Begitu pun dengan Ivret dan Rhas, mereka bukan penguasa alam semesta itu! Para pemujanya keliru memahami. Kita hanya perlu bersatu untuk mengalahkannya. Saura tahu kelemahan Ivret! Iya kan?” Sangina memandang Saura yang sejak kedatangan memilih untuk tak banyak bicara.
Saura berdiri dan sedikit melayang ketika menghampiri Tuk Jae. Wajahnya tampak murung. Mungkin seharusnya ia bisa melawan kobaran Api Rhas dengan kekuatannya sebagai Pengatur Air. Tapi kondisi pada waktu itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Dengan lirih ia mulai menjelaskan.
“Sangina benar, selama ini aku terlalu menutup rahasia,” katanya. “Sesungguhnya nenek moyangku dan Ivret adalah teman baik. Bangsa kami diciptakan Tuhan bersama-sama. Sebagai rekan yang saling melengkapi. Kami tumbuh menjadi pribadi yang damai. Tapi Ivret, semakin ia tumbuh menjadi Pengatur Api, semakin pula ia berambisi untuk menguasai semesta. Ia mempelajari rahasia api yang dianugerahkan Tuhan padanya.  Tentu, semakin ia mendapatkan jawaban ia semakin sombong. Rhas adalah ular yang terlahir dari amarahnya. Bersamanya ia menggoda dan membakar hati manusia untuk membangkang pada kedamaian Tuhan, hingga ia berhasil mendapatkan pemuja yang begitu banyak.  Itu sebabnya, aku dan seluruh Pengatur Air disebar untuk membantu manusia ketika Ivret menyerang,” jelasnya, berhenti sejenak menghela napas. “Tapi Ivret punya dua kelemahan. Pertama, Ivret takut pada kekuatan manusia yang melawannya. Kedua, Ivret takut pada pemujanya yang membangkang. Andai saja, para pemuja itu tahu bahwa ia bisa lebih kuat dari Ivret. Tapi sayang, Ivret selalu mengabulkan doa-doa mereka yang busuk, sehingga mereka lemah dan menurut!”
Saura meneteskan air mata saat menutup ceritanya. Dia kembali melayang ke tempat ia duduk. Semua hening dalam rasa sakit. Sanuda, Sfanunna, Sahata, Sanhutah, Sahima, Sangina, dan Saura, juga Tuk Jae. Mereka sedang berpikir untuk melawan. Menemukan sekutu ataupun membujuk para pemuja Ivret untuk membangkang. Api bukanlah sesuatu yang terkutuk. Ia hanya perlu dikendalikan.
“Baiklah,” kata Tuk Jae seraya berdiri dan berjalan ke arah jendela lalu membukanya. Tampak segaris jingga di Timur sebagai penanda pagi telah menyingsing. “Hutan tak semudah tumbuh dengan sekali lambaian tangan para peri. Ia harus dijaga dan dipertahankan. Tuan Putri Saura dan semuanya, kita akan merencanakan pembalasan ini. Kita akan membuat Ivret menyesalinya. Demi Tuhan dan kalian, Para Peri Penjaga Hutan Indragiri yang terbakar!”
***

Monday, January 29, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_APAJAKE.ID_RUANG DI ANTARA KISAH_28 JANUARI 2018


RUANG DIANTARA KISAH
Oleh : M.Z. BILLAL

Ia masih bersikeras mengatakan bahwa istrinyalah yang telah membunuh kedua buah hati mereka selagi ia berada di luar rumah mencari pekerjaan baru. Dua balita berusia empat dan dua tahun itu ditenggelamkan ke dalam bak penampung air  yang ada di belakang rumah mereka setelah sebelumnya dua balita itu memakan obat tidur dosis tinggi yang dicampur ke dalam menu makan siangnya. Kemudian ia menambahkan, kalau tetangganya sempat melihat istrinya menggendong kedua anak mereka dalam keadaan tidur di belakang rumah, sementara istrinya terus bersenandung menyanyikan lagu pengantar tidur.
Tanpa jeda, ia tetap berkuat menuding istrinya di hadapan para polisi yang menginterogasinya. Bahkan ia sampai menangis ketika menjelaskan perangai istrinya yang kasar terhadap kedua anak mereka, termasuk kepada dirinya yang pengangguran usai di PHK oleh sebuah perusahaan.  Ia meneruskan ceritanya, bahwa ia sangat tertekan oleh sikap istrinya yang semena-mena. Ia mencintai keluarganya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun ia tak menyangka, hidup susah telah membuat istrinya berbuat keji kepada kedua buah hati mereka yang teramat ia cintai. Ia lantas menjambak rambutnya sendiri sebagai luapan kesedihan dan kekecewaan yang dalam, tak peduli beberapa wartawan yang berada di sana memotretnya sebagai bahan berita di media massa nantinya.
Akan tetapi, meski ia begitu lepas menumpahkan isi hatinya di hadapan banyak orang, istrinya tak memberi tanggapan apa pun. Ia tetap diam di sana, berdiri di belakangnya, memegangi bahunya untuk menenangkan seolah tidak melakukan sebuah kesalahan. Bahkan tim interogasi sama sekali tidak mengajukan satu pertanyaan pun kepada istrinya. Padahal semua bukti sudah sangat jelas mengarah kepada istrinya. Mulai dari temuan obat tidur di masakan, kain batik panjang yang digunakan untuk menggendong  anak-anak mereka terserak di depan pintu belakang rumah, dan sumur yang mendadak ditutupi banyak daun kering untuk menyamarkan dua anak mereka yang telah tenggelam di dalamnya.
“Kenapa Anda terus-menerus menanyai saya,” katanya. “Seakan saya adalah pelaku pembunuhan itu. Padahal di sini ada istri saya yang kejam.  Kalian tanyakan saja kepadanya kenapa ia berbuat begitu nekat!”
Para polisi itu kemudian berbisik-bisik kecil saling memandang satu sama lain. Sesekali mereka mengerutkan dahi seperti terjadi perdebatan rahasia di antara mereka. Membuat ia berpikir curiga, bahwa istrinya yang sejak tadi diam saja itu telah bersekongkol dengan para polisi  untuk menjebloskannya ke penjara selama puluhan tahun. Bisa saja itu dilakukannya agar istrinya terbebas dari pria pengangguran yang menghadapi sejumlah hutang yang tidak sedikit nominalnya.
“Begini, Tuan,” ujar salah satu polisi kepadanya dengan suara pelan. “Kami telah setuju untuk melanjutkan pemeriksaan ini besok, sementara Anda boleh pulang. Emm.. Bersama istri Anda.”
“Apa?” Ia mengerutkan dahinya sembari memiringkan kepalanya ke depan, mendekat ke arah polisi yang tadi berkata kepadanya.
“Pemeriksaan terhadap saya masih berlanjut? Kenapa kalian tidak menanyai saksi-saksi yang lain?”
Polisi yang masih sibuk mengetik di depan layar komputer, mencatat semua yang ia ucapkan, berdeham kuat lalu merapikan kertas-kertas yang baru saja keluar dari mesin cetak dan berkata, “Tentu saja kami akan memeriksa saksi yang lain, Tuan. Namun kami tak ingin Anda semakin kacau berada di sini. Kami mengizinkan Anda pulang bersama istri Anda diantar oleh salah satu petugas kami.”
“Saya yang akan mengantar Anda dan istri Anda pulang, Tuan.” Tiba-tiba dari belakangnya muncul seorang pria bertubuh tegap. Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya. “Nama saya Bayu.”
Ia tak menerima uluran tangan dari pria bertubuh tegap itu, bahkan tak tertarik untuk mengenalnya. Ia masih sulit menerima keputusan bahwa besok ia akan kembali duduk ruangan itu selama berjam-jam dikelilingi polisi-polisi bertubuh tegap dan menceritakan kembali kisah miris yang menimpa kedua anaknya, yang membuatnya tak bisa menahan air mata. Namun ia tak mau berdebat dengan polisi. Dengan sekali hela napas berat ia mengangguk setuju.
“Baiklah,” katanya. “Saya berharap besok adalah pemeriksaan terakhir. Dan tentu saja, sangat berharap kalian segera meringkus istri saya yang pura-pura tidak bersalah ini!”
Kemudian ia segera berdiri dan memandang berkeliling, melihat semua tim interogasi menganggukkan kepala mereka, menyetujui apa yang ia katakan. Namun ia tampak marah ketika memandang wajah istrinya yang masih saja mematung di sana. Ia ingin mencekik leher perempuan kejam itu saat di matanya terlintas kenangan menyedihkan. Namun ia berusaha menahan emosi ketika pria bernama Bayu itu membimbingnya ke luar ruangan.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, ia terus memandang ke luar. Tanpa sekali pun menoleh kepada Bayu yang sedang menyetir. Ia juga mengabaikan keberadaan istrinya yang masih duduk diam sejuta bahasa di belakangnya. Barangkali, ia berpikir, istrinya sangat menyesali perbuatannya. Namun sungguh, ia benar-benar sudah muak. Ia tak mau berbicara kepada perempuan pembunuh anak kandungnya sendiri itu. Sampai Bayu mengatakan sesuatu yang membuat ia terkejut dan menjadi emosional.
“Tuan, bolehkan saya menginap di rumah Anda malam ini?”
“Hei, apa-apaan kau ini!” sungutnya. “Apa maksudmu ingin menginap di rumahku malam ini? Apa kau mulai naksir istriku yang sadis itu dan bernafsu ingin bercinta dengannya di rumahku? Menjijikkan sekali kau!”
Pria bertubuh tegap yang fokus menyetir itu mendengus, berusaha menahan tawa, hanya tersenyum lebar memandanganya yang memasang ekspresi jijik.
“Tidak, Tuan. Sungguh tidak mungkin itu terjadi. Saya hanya ingin membantu Anda menenangkan pikiran. Percayalah. Saya tidak mau hal buruk terjadi di antara kalian berdua.”
Ia memandang wajah Bayu lekat-lekat lalu mendengus. Tatapannya kini menaruh curiga perihal persengkokolan para polisi yang tadi tumbuh dalam benaknya.
“Saya berharap Anda tidak berpikir terlalu jauh. Saya bersumpah, Tuan.” Bayu cepat-cepat melanjutkan ucapannya. Mencoba meyakinkannya.
“Baiklah,” katanya sembari menyilangkan kakinya. “Hanya malam ini saja!”
Bayu mengangguk. Menyetuju kata-katanya sambil membelokkan mobil yang ia kemudikan ke arah kanan jalan bercabang.
Belum lama berada di dalam rumah, pertengkaran kembali terjadi antara ia dan istrinya. Ia tak henti-henti marah dan memaki istrinya yang terus-menerus diam sampai matanya berkaca-kaca dan akhirnya tumpah di pipinya.
“Apa kini kau menyesalinya, hah!” bentaknya sambil membanting piring di dapur yang sudah berdebu. “Kau sungguh ibu berhati iblis! Kini kau hanya diam, seolah semuanya selesai ketika para polisi itu terus-menerus menanyaiku atas perbuatan kejimu! Kau menjebakku!”
Ia menendang kursi dan menghantamkan punggungnya ke tembok yang sebagian besar sudah terkelupas catnya, lalu merosot ke lantai sambil meracau menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Kau hanya memikirkan dirimu sendiri! Kau tidak benar-benar setia padaku! Kau mencampakkanku ketika aku kehilangan semua hartaku, bahkan kau membunuh anak-anak yang aku sayangi! Kau brengsek! Kau brengsek, Sinar!”
Istrinya hanya terpaku di sofa. Menatapnya dengan pandangan hampa. Entah apa yang dipikirkan istrinya sehingga bisunya membuat ia ingin membunuh, melenyapkannya dari pandangan. Beruntung Bayu, yang tadi pamit sebentar membeli sesuatu, segera masuk ke dalam rumah. Segera mencegah tangannya yang memegang pisau dapur berada tepat di urat besar leher istrinya.
“Ini yang aku khawatirkan, Tuan,” kata Bayu. Tangannya tangkas meraih pisau dapur itu dan memegangiku dari belakang. “Anda terlalu emosional.”
Napasnya masih memburu. Ia sangat murka. Namun Bayu berusaha menenangkannya. Membantunya duduk di sofa yang lain. Sementara istrinya masih berada di sana sampai ia memaki keras menyuruh istrinya pergi ke dalam kamar.
Bayu mengusap-usap punggungnya. Memberinya sebotol air mineral dan mengelap keringat bercampur air mata yang menderas di wajahnya.
“Anda seharusnya mampu menahan emosi, Tuan.”
“Tapi aku semakin tertekan,” balasnya segera. “Semua sudut rumah ini mengingatkanku pada dua anakku yang malang.”
Bayu hanya mengangguk saja. Wajahnya senantiasa tersenyum seakan berusaha menenangkan amarahnya yang terlanjur meledak. Namun ia tak lantas begitu saja menjadi dingin dan penurut. Ia malah mendadak menjadi waspada terhadap Bayu.  Perlahan ia bergerak menjauhi Bayu dan berdiri di dekat jendela yang sudah pecah kacanya.
“Aku mulai berpikir aneh sekarang,” katanya. “Kau terlalu baik sampai memutuskan untuk ikut pulang bersamaku! Apa kalian, para polisi, telah merencanakan sesuatu untuk menjebakku? Kalau itu benar, kau dan mereka saja sama saja brengseknya!”
“Tidak, Tuan. Percayalah. Kau terlalu curiga.  Aku hanya ingin membantumu.”
“Membantuku?” ulangnya dengan nada curiga. “Membantu untuk apa? Kau pikir aku orang gila yang gampang meledak amarahnya?”
Bayu berdiri dan berjalan menghampirinya.  Mendudukannya lagi ke kursi kayu di dekat situ lalu memegang kedua bahunya seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Tuan, apa Anda masih ingat hal yang paling membahagiakan dalam hidup Anda? Setidaknya, yang terakhir kali Anda ingat.”
“Aku tak bisa mengingat apa pun kecuali peristiwa tragis hari itu. Ketika kutemukan anak-anakku di dalam bak penampung air bercampur ribuan daun-daun kering.”
“Apa Anda sama sekali tidak ingat ketika istri Anda mengatakan bahwa ia sangat mencintai Anda dan anak-anak di dalam rumah ini?”
“Itu sudah hilang bersama kemarahanku!” serunya. “Aku ingin ia menghabiskan hidupnya di balik jeruji besi!”
Bayu tak membalas ucapannya. Pemuda bertubuh tegap itu melemparkan pandangannya ke luar melalui jendela kaca yang pecah. Sampai tiba-tiba muncul beberapa pria berpakaian putih diiringi tiga polisi yang sebelumnya menginterogasinya habis-habisan. Pria-pria berpakaian putih memeganginya. Lalu Bayu berkata pelan kepadanya.
“Mari kita pulang, Tuan. Kita isi kembali ingatanmu dengan kenangan manis tentang keluargamu. Tentang istri dan anak-anak yang Anda cintai.”
“Hei, apa-apaan kau, Bayu! Kau pikir aku gila sampai petugas rumah sakit jiwa dan polisi-polisi ini memegangiku?” tanyanya sembari berusaha melepaskan diri dari pria-pria berbaju putih itu.
“Tuan, sungguh rumah ini sangat indah. Saya sangat terharu ketika Anda menceritakan tentang burung-burung gereja yang menemani kedua buah hati Anda saat pagi sampai menjelang siang. Istri Anda yang cantik dan pandai memasak. Bahkan itu membuat saya sangat cemburu,” ujar Bayu lembut. “Sampai keadaan berbalik arah, ketidakberuntungan menimpa kehidupan Anda. Anda menjadi sangat mudah untuk marah dan berkata kasar bahkan kepada kedua anak Anda yang lucu-lucu.”
“Sok tahu!” tukasnya menahan geram, merasa dikhianati oleh Bayu. Ia benar-benar berpikir, bahwa kecurigaanya adalah fakta. Polisi-polisi itu bekerja sama untuk menjebloskannya ke penjara dan menyelamatkan istrinya. “Kau terlalu pandai mengarang untuk orang yang baru kau kenal seperti aku, Bayu! Sekarang kau sama saja seperti istriku dan orang-orang ini! Benar-benar brengsek telah menjebakku! Padahal semua bukti sudah jelas. Lepaskan aku!” Ia menyikut perut pria yang memegangi tangan kanannya, berusaha  melepaskan diri dan kabur.
“Tidak ada yang menjebakmu, Tuan. Sekali lagi kami katakan, bahwa kami berusaha membantumu.”
“Tidaaaaaak!!” lolongnya. “Kalian semua brengsek! Menipuku.”
“Kami tidak menipu Anda, Tuan. Kami bahkan memercayai bahwa Anda telah berangsur menemukan diri Anda lagi. Namun kenyataannya, Anda masih tetap sama. Ingatan paling kuat di dalam otak Anda adalah peristiwa terakhir yang membuat Anda sangat depresi. Ketika Anda menginginkan sebuah tempat untuk Anda datangi, Anda malah memilih kantor polisi sama seperti hari itu. Membuat kami kemudian menyimpulkan bahwa Anda belum benar-benar pulih.” Bayu berusaha menjelaskan kepadanya. “Seharusnya Anda mengingat bahwa istri Anda kerap mengucapkan cinta di dalam rumah ini, sama seperti yang Anda bicarakan di kamar Anda setiap hari.”
Ia masih meronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan kuat petugas rumah sakit jiwa itu.  Menjadi marah dan sulit dikendalikan. Hingga salah satu dari pria berpakaian putih itu menyuntik lengannya. Yang membuat ia perlahan kehilangan kesadarannya.
Hari yang sama, tiga tahun yang lalu di rumah itu.
Ia sangat kesal ketika menghempaskan punggungnya ke sofa. Mengepalkan tangan dan meninju permukaan sofa berulangkali sambil menggeram. Ketika sudah tak tertahan ia lemparkan map berisi surat lamaran kerja beserta dokumen pelengkapnya ke tembok lalu menghantam vas bunga yang berada di atas lemari kecil di sudut ruangan itu. Membuat vas jatuh pecah dan kertas-kertas berserakan. Sampai istri dan kedua anaknya berlari ke ruang depan rumah itu.
“Ada apa, Bang?” tanya istrinya dengan suara lembut. “Belum berhasil ya?”
Ia tetap diam, tak tertarik menyahut ucapan istrinya.
“Tidak apa-apa, Bang. Sabar, tidak usah berkecil hati. Kami selalu mendoakanmu agar segera mendapatkan pekerjaan yang baru.” Istrinya segera mendekatinya lalu duduk bersimpuh di hadapannya.
Namun ia malah marah ketika istrinya berada sangat dekat dengannya. Ia menjadi sangat emosional dan mendorong tubuh perempuan itu dengan kakinya.
“Sabar? Sabar katamu?” ulangnya dengan membentak. “Kau pikir sabar itu dapat menyelesaikan masalah kita? Aku lelah dengan  hidup yang tidak adil ini!”
Istrinya tampak shock dengan perlakuannya barusan. Bahkan ia juga mendorong kedua anaknya yang berusaha membela ibunya itu. Ia menjadi tidak terkendali.
“Tiap hari aku harus menjelajahi kota agar mendapat pekerjaan. Bertemu orang-orang yang merendahkanku,” cerocosnya lagi.
“Hutang bertumpuk, hidup bertambah susah. Dan kau bilang aku harus bersabar? Memang kau dan dua anak ini mau makan batu ya? Aku dipecat dari pekerjaanku karena sebuah hal sepele. Itu karena kalian yang telah membuatku lalai dalam pekerjaan! Barangkali ketika kalian mati baru aku merasa lega dan terbebas dari tuntutan ini!”
Istrinya tampak menangis sambil mendekap kedua anaknya. Barangkali ia tidak menyangka kalau suaminya berkata sejahat itu. Mendoakan istri dan anak kandungnya sendiri layak mati karena menjadi beban hidup. Padahal ia sudah sangat bersabar menghadapi suaminya yang setiap harinya semakin kasar dan tidak berperasaan.  Ia mendekap tubuh anaknya semikin erat.
Namun ia tidak sedikit pun menaruh iba kepada istrinya yang menumpahkan air mata, meski dahulu ia teramat takut air mata itu tumpah. Kehidupan yang rumit membuat hatinya beku, mudah marah, dan tidak peduli. Bahkan sesekali istrinya memergokinya sedang menenggak minuman keras untuk mengusir suntuk yang menjadi-jadi. Tak mau larut dalam suasana haru biru, ia meninggalkan istri dan kedua anaknya, masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dari dalam. Memutuskan untuk tidur.
Kemudian ketika ia terbangun setelah tidur selama dua jam lebih dan perasaannya kembali normal. Ia keluar dari kamar. Mencari istri dan kedua anaknya. Namun yang ia temukan hanyalah sepiring bubur berbau obat di ruang tamu. Ia berteriak memanggil kedua anaknya tapi tak ada yang menyahut.  Sampai akhirnya ia sangat shock ketika melihat tubuh istrinya mengambang di udara di teras belakang rumah dan kain batik panjang yang biasa digunakan untuk menggendong anaknya terserak di bawahnya. Ia meraung menyebut nama istrinya dan menjadi sangat panik. Membuat para tetangga berdatangan dan ikut menangis. Ditambah ketika salah seorang tetangga menemukan kedua anaknya terapung di dalam bak penampung air bersama ribuan daun-daun kering, tak jauh dari tempat istrinya menggantung diri. Ia semakin meraung dan meracau. Antara menyesali perbuatannya dan marah kepada istrinya.

Tuesday, January 2, 2018

CERITA ANAK M.Z. BILLAL_PADANG EKSPRES, 03 DESEMBER 2017


Tegar dari Kebun Limau

Oleh: M Z Billal
Kebun Limau adalah nama desa kecil itu. Meski limau berarti jeruk, tapi desa itu hanya memiliki satu pohon jeruk yang tumbuh besar di jalan masuk
kampung. Sisanya adalah pohon karet. Lebih cocok dinamakan Kebun Karet daripada Kebun Limau. Itu sebabnya sembilan puluh lima persen penduduk di Kebun Limau bekerja sebagai penyadap getah karet. Entah itu sebagai pemilik kebun atau pun orang yang bekerja di kebun milik orang lain. Bukan sebagai penjual jeruk.
Di desa itu jugalah hidup seorang anak laki-laki bernama Tegar yang selalu menjadi buah bibir penduduk desa karena kepintarannya. Tegar tidak seperti kedua kakaknya, Yamila dan Fauzan. Meski baru berusia sepuluh tahun, namun ia memiliki pemikiran yang terbilang bagus dalam membuat keputusan. Otaknya seperti cepat menyerap pelajaran yang ia terima, tidak seperti anak-anak di Kebun Limau pada umumnya. Itu membuatnya selalu berhasil meraih rangking pertama di kelasnya. Selain itu, Tegar juga pandai mengaji dengan irama yang merdu.
Namun tahukah, sebab utama yang membuat Tegar kerap menjadi bahan cerita yang manis di kalangan penduduk Kebun Limau? Tidak sepenuhnya tentang kepintaran dan keramahannya saja. Melainkan dari latar belakang kehidupannya.
Tegar tidak dilahirkan di keluarga yang berkecukupan. Ia hidup bersama ibu dan dua kakaknya yang bekerja sebagai penyadap getah di kebun milik orang kaya yang tinggal di kampung sebelah namun memiliki kebun karet luas di Kebun Limau. Ayahnya sudah tiada sejak ia masih berumur sebulan.
Kedua kakaknya seperti mengikuti jejak ibunya yang tidak mampu untuk bersekolah. Selain karena himpitan biaya, juga karena otak mereka yang kesulitan menerima pelajaran. Keduanya hanya berakhir di kelas dua sekolah dasar dan segera menjalani kehidupan bersama ibunya di kebun karet atau sesekali masuk ke hutan lepas mencari rotan.
Tetapi tidak untuk Tegar. Meski ia juga membantu ibunya di kebun, itu tak membuatnya mundur seperti anak-anak seusianya di Kebun Limau yang memilih untuk berhenti sekolah. Ia tetap berjalan melewati pohon-pohon karet untuk sampai ke sekolah di kampung sebelah, menyeberangi parit lebar berarus deras, dan menghindari kawanan anjing yang menggongong. Ia selalu bersemangat untuk itu. Baginya perjalanan menuju sekolah ditemani matahari yang bersinar terang menembus daun-daun pohon karet yang rimbun seperti kekuatan yang menentramkan hatinya. Ia membayangkan wajah ibu dan kedua kakaknya. Ia tak mau melewatkan sedikit saja pembelajaran. Ia tak mau sebodoh dan tidak peduli seperti kawan-kawannya di Kebun Limau. Karena ia ingin membahagiakan ibunya. Ia ingin membangunkan sebuah rumah yang hangat untuk ibunya suatu hari nanti.
Di sekolah pun Tegar memiliki banyak teman. Meski baju yang ia pakai tak seputih siswa lainnya. Itu tak membuatnya malu, bahkan untuk mengakui kehidupan sehari-harinya. Para guru bersimpati dengan sikap Tegar yang benar-benar setegar namanya.
Namun masalah yang kemudian ia hadapi membuatnya merasa berat untuk menjalani hidup. Kakak laki-lakinya, Fauzan, menghadap Tuhan lebih dahulu karena demam berdarah yang diderita selama seminggu. Tegar sampai tak bisa mengeluarkan air mata lagi karena musibah yang menimpa keluarganya itu. Ia terlalu sering menangis dalam dekapan ibunya. Karena bagaimana pun juga Tegar tetaplah anak-anak.
Ia mulai dilanda keraguan. Ia mulai kehilangan semangat. Ia tak mau melihat ibu dan kakak perempuannya bekerja dengan susah payah di kebun karet yang luas itu. Ia ingin membantu. Ia menjadi sangat khawatir jika keduanya dalam bahaya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sekolah, meski hatinya menolak untuk itu.
Dua minggu tak ada kabar yang ia kirimkan ke sekolah sejak kepergian kakaknya. Orang-orang di Kebun Limau menyesalkan keputusan Tegar, namun mereka tak bisa memaksanya untuk bertahan. Ia bangun pagi tidak untuk berangkat ke sekolah, melainkan ke kebun karet menemani ibu dan kakak perempuannya.
Sampai pada suatu siang yang cerah di hari Senin Tegar mendapatkan kunjungan dari wali kelas dan teman-temannya. Tegar malu ketika berhadapan dengan mereka. Sesaat terlintas di kepalanya untuk berlari menjauh. Namun, itu tak mungkin ia lakukan. Ia berusaha menjelaskan keadaan hidupnya yang sekarang. Ia bahkan sampai menitikkan air mata yang membuat teman-temannya juga tak kuat menahan linangan di pipi mereka.
”Saya hanya ingin bersekolah, bu. Tapi keadaan seperti ini sulit untuk dihadapi. Saya hanya seorang anak yang takut kehilangan ibu dan kakak perempuannya.” Tegar mengakhiri kata-katanya sambil duduk menunduk di hadapan ibu guru kelasnya.
Ibu Guru mengusap-usap rambut Tegar. Ia paham pada masalah yang dihadapi oleh Tegar. Siapa pun akan sangat menderita dengan situasi seperti itu.
”Nak, kami datang kemari itu karena kami semua merindukanmu. Kami rindu pada Sang Matahari yang menerangi kelas dengan kepintaran dan kebaikan hatinya,” kata Ibu Guru kepada Tegar sambil tersenyum. “Lihat baik-baik, teman-temanmu di sini memintamu kembali ke sekolah. Mereka tidak sabar untuk mendukungmu merebut juara di olimpiade,” ucap Bu Guru.
Tegar mengangkat kepalanya. Memandangi wajah teman-temannya yang datang ke rumahnya. Ia merasakan kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.
”Ayolah, Tegar! Kami berharap bisa bersamamu sampai tahun kelulusan nanti,” Dita, si juara kedua menyuarakan isi hatinya kepada Tegar. Diikuti oleh suara teman-temannya yang lain, yang juga memintanya untuk kembali bersemangat.
Teman-temannya duduk mengitari dan langsung merangkulnya dalam pelukan persahabatan. Tegar sangat terharu. Ia kembali menangis. Sampai akhirnya ia berjanji di hadapan ibu dan kakak perempuannya, serta ibu guru dan teman-temannya untuk kembali menjadi Tegar yang dahulu. Ia akan kembali masuk sekolah untuk meneruskan perjalanannya dalam meraih kehidupan yang lebih baik. (*)

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate