CERPEN

Wednesday, February 7, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_PERI-PERI YANG TERBAKAR









Peri-Peri Yang Terbakar
Oleh : M.Z. Billal
Semua larangan keras tampaknya tak juga diindahkan oleh para pembakar hutan itu. Mereka tetap menyulut api dan menjadikannya ular raksasa yang memangsa hijaunya hutan yang dihuni oleh ratusan spesies tanaman dan hewan. Demi keuntungan mereka, secara sadar, mengorbankan banyak hal bahkan telah menyakiti rumah mereka sendiri. Mereka bukan manusia meski Tuhan juga yang menciptakan mereka.  Mereka adalah bangsa Pemuja Api. Yang mereka anggap sebagai penguasa alam semesta adalah Ivret dengan tunggangannya seekor ular api raksasa bernama Rhas yang gemar memakan keindahan dan kedamaian. Ivret memiliki kerajaan yang tersebar dimana-mana di negeri ini.  Hamba-hambanya juga tak sedikit. Jangan mudah tertipu, bahkan yang bermuka manis sekali pun bisa jadi adalah pemuja Ivret yang mereka sebut Sang Agung.
Begitu pun yang terjadi di Hutan Indragiri. Para pemuja Ivret juga melancarkan segala cara agar dapat memberikan kurban bukti ketaatan pada Yang Mulia mereka. Mereka merapal mantra memanggil Rhas untuk segera menelan keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri.  Pohon-pohon, satwa, dan udara di sana berteriak oleh napas kebengisan Rhas. Juga dengan Tujuh Peri Penjaga keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Mereka yang mencintai Hutan Indragiri dengan segala jiwa mereka merasa sangat tersakiti. Mereka terluka karena tak kuasa melawan Rhas yang liar dan membabibuta.
Sanuda si Peri Pengatur Tanaman, Sfanunna  si Peri Pengatur Hewan, dan Sahata si Peri  Pengatur Tanah adalah yang paling terluka. Sayap-sayap mereka terbakar. Sehingga mereka harus berlari sekuat tenaga untuk menghindari semburan api Rhas. Kekuatan Mengatur mereka jadi tak berguna tanpa sayap. Sementara itu Sanhutah si Peri Pengatur Cahaya dan Sahima si Peri Pengatur Suhu, meski sayap mereka masih baik-baik saja, tetapi tubuh mereka terempas retih-retih besar api. Membuat nasib keduanya tak berbeda dengan tiga peri penjaga lainnya. Kekuatan mereka pun tak seberapa untuk melawan Rhas. Yang cukup beruntung adalah Saura si Peri Pengatur Air dan Sangina si Peri Pengatur Angin. Saura dengan segala kemampuannya mengatur air segera menciptakan sebuah pusaran besar air yang ia panggil dari aliran kecil, kanal, telaga, dan sungai. Dibantu Sangina yang menciptakan angin besar yang mendorong pusaran air ciptaan Saura untuk melawan kobaran api Rhas yang merajalela tak kenal ampun. Sangina juga tak bisa berbuat banyak kecuali membantu Saura. Karena angin yang ia atur dapat dimanfaatkan oleh Rhas bila angin tersebut berbanding kecil dengan nyala api Rhas. Malam itu adalah perjuangan paling besar yang dilakukan Tujuh Peri Penjaga Hutan Indragiri untuk menyelamatkan rumah mereka agar tetap terjaga keseimbangan alam.
Seberapa pun rusak dan hancurnya Hutan Indragiri mereka harus tetap hidup. Berkumpul untuk menyatukan kekuatan dan memulai lagi membangun keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Tak ada jalan lain, melawan kerakusan Rhas yang terkutuk itu sama dengan mengorbankan diri untuk kehancuran abadi.  Ivret juga tak akan membiarkan peliharaannya itu kalah.
Pada akhirnya, Tujuh Peri yang malang itu memutuskan untuk  saling membantu dan menjauhi hutan sementara. Mereka akan menemui Tuk Jae, pria yang kenal seluk-beluk Hutan Indragiri sekaligus penghubung antara manusia yang mencintai alam dengan para Peri Penjaga Hutan tersebut. Tuk Jae dahulu tinggal di tepi hutan paling hening, tetapi karena kebaikannya ia diterima oleh manusia-manusia yang tinggal di pemukiman. Jaraknya cukup jauh bagi para peri yang terbakar
***
Tuk Jae segera menyiapkan tempat yang nyaman bagi ke tujuh peri yang terbakar di dalam rumahnya. Ia tampak sibuk dan gugup karena kehadiran para peri benar-benar tanpa diduga. Terlebih kondisi peri-peri tersebut mengenaskan. Mereka penuh luka bakar bahkan kehilangan sayap dan kekuatan. Jika saja para peri memberi kabar kunjungan mereka, barangkali Tuk Jae bisa mempersiapkan jauh lebih baik dari saat ini.
“Kau tak perlu repot-repot, Tuk,” ujar Sfanunna sambil membersihkan tubuh mungilnya yang hitam karena abu. “Kami kemari untuk membicarakan hal yang serius.”
“Kami benar-benar tak menyangka bahwa malam ini Ivret dan Rhas menyerang Hutan Indragiri,” tambah Sanhutah yang duduk di kayu kecil beraroma wangi. “Itu semua karena mereka, yang memujanya!”
Tuk Jae menundukkan kepala, tampak sedih dan menyesal. Ia seharusnya tahu apa yang terjadi. Tapi semenjak tinggal di pemukiman ia jadi jarang mengunjungi Para Peri. Itu semua ia lakukan agar ia tak disebut sebagai penyembah setan, sebab para peri penjaga ini bukanlah setan. Para peri pun menyetujui keinginan Tuk Jae waktu itu. Jadi ia tak menyalahkan Tuk Jae.
“Kau tak perlu merasa bersalah, Tuk.” Sanuda mendekati Tuk Jae dan mengelus punggung tangannya yang keriput. Sanuda adalah peri yang paling bermurah hati. “Kami datang ke sini tidak memintamu mempertanggungjawabkan keadaan. Kami membutuhkan bantuanmu. Percayalah. Walau kami adalah peri, kami sangat membutuhkan bantuan para manusia yang juga mencintai alam.”
Tuk Jae memandang wajah para peri satu persatu, mereka tetap cantik dan ajaib meski kondisi mereka memperihatinkan. Mengenal mereka adalah sebuah kekaguman luar biasa, apalagi dapat membantu mereka tentu itu akan sangat membahagiakan lagi. Tapi Tuk Jae tampak ragu.
“Tuan Putri, Ivret terlalu kuat untuk dapat dikalahkan. Rhas, peliharaannya adalah makhluk paling rakus memangsa keindahan dan kedamaian. Ia semakin lapar jika melihat bentangan keindahan dan kedamaian itu di negeri ini. Kudengar dan kulihat beritanya, Rhas membantuk sebuah negeri untuk memusnahkan negeri yang lain di luar sana atas perintah Ivret. Bahkan anak-anak tak berdosa pun lahap ia makan,” kata Tuk Jae. “Jadi kita yang tak terlalu kuat ini, apalagi para pemuja Ivret yang saat ini sulit dibedakan, apakah bisa mengalahkannya?”
“Kita tak boleh putus asa, Tuk!” seru Sangina yang sejak tadi menciptakan angin kecil untuk membantu yang lain membersihkan diri. “Kita semua sama, kita adalah ciptaan Tuhan Yang Agung. Mungkin manusia kerap salah paham tentang keberadaan kami sebagai Peri Penjaga Hutan Indragiri. Begitu pun dengan Ivret dan Rhas, mereka bukan penguasa alam semesta itu! Para pemujanya keliru memahami. Kita hanya perlu bersatu untuk mengalahkannya. Saura tahu kelemahan Ivret! Iya kan?” Sangina memandang Saura yang sejak kedatangan memilih untuk tak banyak bicara.
Saura berdiri dan sedikit melayang ketika menghampiri Tuk Jae. Wajahnya tampak murung. Mungkin seharusnya ia bisa melawan kobaran Api Rhas dengan kekuatannya sebagai Pengatur Air. Tapi kondisi pada waktu itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Dengan lirih ia mulai menjelaskan.
“Sangina benar, selama ini aku terlalu menutup rahasia,” katanya. “Sesungguhnya nenek moyangku dan Ivret adalah teman baik. Bangsa kami diciptakan Tuhan bersama-sama. Sebagai rekan yang saling melengkapi. Kami tumbuh menjadi pribadi yang damai. Tapi Ivret, semakin ia tumbuh menjadi Pengatur Api, semakin pula ia berambisi untuk menguasai semesta. Ia mempelajari rahasia api yang dianugerahkan Tuhan padanya.  Tentu, semakin ia mendapatkan jawaban ia semakin sombong. Rhas adalah ular yang terlahir dari amarahnya. Bersamanya ia menggoda dan membakar hati manusia untuk membangkang pada kedamaian Tuhan, hingga ia berhasil mendapatkan pemuja yang begitu banyak.  Itu sebabnya, aku dan seluruh Pengatur Air disebar untuk membantu manusia ketika Ivret menyerang,” jelasnya, berhenti sejenak menghela napas. “Tapi Ivret punya dua kelemahan. Pertama, Ivret takut pada kekuatan manusia yang melawannya. Kedua, Ivret takut pada pemujanya yang membangkang. Andai saja, para pemuja itu tahu bahwa ia bisa lebih kuat dari Ivret. Tapi sayang, Ivret selalu mengabulkan doa-doa mereka yang busuk, sehingga mereka lemah dan menurut!”
Saura meneteskan air mata saat menutup ceritanya. Dia kembali melayang ke tempat ia duduk. Semua hening dalam rasa sakit. Sanuda, Sfanunna, Sahata, Sanhutah, Sahima, Sangina, dan Saura, juga Tuk Jae. Mereka sedang berpikir untuk melawan. Menemukan sekutu ataupun membujuk para pemuja Ivret untuk membangkang. Api bukanlah sesuatu yang terkutuk. Ia hanya perlu dikendalikan.
“Baiklah,” kata Tuk Jae seraya berdiri dan berjalan ke arah jendela lalu membukanya. Tampak segaris jingga di Timur sebagai penanda pagi telah menyingsing. “Hutan tak semudah tumbuh dengan sekali lambaian tangan para peri. Ia harus dijaga dan dipertahankan. Tuan Putri Saura dan semuanya, kita akan merencanakan pembalasan ini. Kita akan membuat Ivret menyesalinya. Demi Tuhan dan kalian, Para Peri Penjaga Hutan Indragiri yang terbakar!”
***

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate