Peri-Peri
Yang Terbakar
Oleh : M.Z. Billal
Semua larangan keras tampaknya tak juga
diindahkan oleh para pembakar hutan itu. Mereka tetap menyulut api dan
menjadikannya ular raksasa yang memangsa hijaunya hutan yang dihuni oleh
ratusan spesies tanaman dan hewan. Demi keuntungan mereka, secara sadar,
mengorbankan banyak hal bahkan telah menyakiti rumah mereka sendiri. Mereka
bukan manusia meski Tuhan juga yang menciptakan mereka. Mereka adalah bangsa Pemuja Api. Yang mereka
anggap sebagai penguasa alam semesta adalah Ivret dengan tunggangannya seekor
ular api raksasa bernama Rhas yang gemar memakan keindahan dan kedamaian. Ivret
memiliki kerajaan yang tersebar dimana-mana di negeri ini. Hamba-hambanya juga tak sedikit. Jangan mudah
tertipu, bahkan yang bermuka manis sekali pun bisa jadi adalah pemuja Ivret
yang mereka sebut Sang Agung.
Begitu pun yang terjadi di Hutan
Indragiri. Para pemuja Ivret juga melancarkan segala cara agar dapat memberikan
kurban bukti ketaatan pada Yang Mulia mereka. Mereka merapal mantra memanggil
Rhas untuk segera menelan keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Pohon-pohon, satwa, dan udara di sana
berteriak oleh napas kebengisan Rhas. Juga dengan Tujuh Peri Penjaga keindahan
dan kedamaian Hutan Indragiri. Mereka yang mencintai Hutan Indragiri dengan
segala jiwa mereka merasa sangat tersakiti. Mereka terluka karena tak kuasa
melawan Rhas yang liar dan membabibuta.
Sanuda si Peri Pengatur Tanaman,
Sfanunna si Peri Pengatur Hewan, dan
Sahata si Peri Pengatur Tanah adalah
yang paling terluka. Sayap-sayap mereka terbakar. Sehingga mereka harus berlari
sekuat tenaga untuk menghindari semburan api Rhas. Kekuatan Mengatur mereka jadi
tak berguna tanpa sayap. Sementara itu Sanhutah si Peri Pengatur Cahaya dan Sahima
si Peri Pengatur Suhu, meski sayap mereka masih baik-baik saja, tetapi tubuh
mereka terempas retih-retih besar api. Membuat nasib keduanya tak berbeda
dengan tiga peri penjaga lainnya. Kekuatan mereka pun tak seberapa untuk
melawan Rhas. Yang cukup beruntung adalah Saura si Peri Pengatur Air dan
Sangina si Peri Pengatur Angin. Saura dengan segala kemampuannya mengatur air
segera menciptakan sebuah pusaran besar air yang ia panggil dari aliran kecil,
kanal, telaga, dan sungai. Dibantu Sangina yang menciptakan angin besar yang
mendorong pusaran air ciptaan Saura untuk melawan kobaran api Rhas yang
merajalela tak kenal ampun. Sangina juga tak bisa berbuat banyak kecuali membantu
Saura. Karena angin yang ia atur dapat dimanfaatkan oleh Rhas bila angin
tersebut berbanding kecil dengan nyala api Rhas. Malam itu adalah perjuangan
paling besar yang dilakukan Tujuh Peri Penjaga Hutan Indragiri untuk
menyelamatkan rumah mereka agar tetap terjaga keseimbangan alam.
Seberapa pun rusak dan hancurnya Hutan
Indragiri mereka harus tetap hidup. Berkumpul untuk menyatukan kekuatan dan
memulai lagi membangun keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Tak ada jalan
lain, melawan kerakusan Rhas yang terkutuk itu sama dengan mengorbankan diri
untuk kehancuran abadi. Ivret juga tak
akan membiarkan peliharaannya itu kalah.
Pada akhirnya, Tujuh Peri yang malang
itu memutuskan untuk saling membantu dan
menjauhi hutan sementara. Mereka akan menemui Tuk Jae, pria yang kenal
seluk-beluk Hutan Indragiri sekaligus penghubung antara manusia yang mencintai
alam dengan para Peri Penjaga Hutan tersebut. Tuk Jae dahulu tinggal di tepi
hutan paling hening, tetapi karena kebaikannya ia diterima oleh manusia-manusia
yang tinggal di pemukiman. Jaraknya cukup jauh bagi para peri yang terbakar
***
Tuk Jae segera menyiapkan tempat yang
nyaman bagi ke tujuh peri yang terbakar di dalam rumahnya. Ia tampak sibuk dan
gugup karena kehadiran para peri benar-benar tanpa diduga. Terlebih kondisi
peri-peri tersebut mengenaskan. Mereka penuh luka bakar bahkan kehilangan sayap
dan kekuatan. Jika saja para peri memberi kabar kunjungan mereka, barangkali
Tuk Jae bisa mempersiapkan jauh lebih baik dari saat ini.
“Kau tak perlu repot-repot, Tuk,” ujar
Sfanunna sambil membersihkan tubuh mungilnya yang hitam karena abu. “Kami
kemari untuk membicarakan hal yang serius.”
“Kami benar-benar tak menyangka bahwa
malam ini Ivret dan Rhas menyerang Hutan Indragiri,” tambah Sanhutah yang duduk
di kayu kecil beraroma wangi. “Itu semua karena mereka, yang memujanya!”
Tuk Jae menundukkan kepala, tampak
sedih dan menyesal. Ia seharusnya tahu apa yang terjadi. Tapi semenjak tinggal
di pemukiman ia jadi jarang mengunjungi Para Peri. Itu semua ia lakukan agar ia
tak disebut sebagai penyembah setan, sebab para peri penjaga ini bukanlah setan.
Para peri pun menyetujui keinginan Tuk Jae waktu itu. Jadi ia tak menyalahkan
Tuk Jae.
“Kau tak perlu merasa bersalah, Tuk.”
Sanuda mendekati Tuk Jae dan mengelus punggung tangannya yang keriput. Sanuda adalah
peri yang paling bermurah hati. “Kami datang ke sini tidak memintamu
mempertanggungjawabkan keadaan. Kami membutuhkan bantuanmu. Percayalah. Walau
kami adalah peri, kami sangat membutuhkan bantuan para manusia yang juga
mencintai alam.”
Tuk Jae memandang wajah para peri satu
persatu, mereka tetap cantik dan ajaib meski kondisi mereka memperihatinkan.
Mengenal mereka adalah sebuah kekaguman luar biasa, apalagi dapat membantu
mereka tentu itu akan sangat membahagiakan lagi. Tapi Tuk Jae tampak ragu.
“Tuan Putri, Ivret terlalu kuat untuk
dapat dikalahkan. Rhas, peliharaannya adalah makhluk paling rakus memangsa
keindahan dan kedamaian. Ia semakin lapar jika melihat bentangan keindahan dan
kedamaian itu di negeri ini. Kudengar dan kulihat beritanya, Rhas membantuk
sebuah negeri untuk memusnahkan negeri yang lain di luar sana atas perintah
Ivret. Bahkan anak-anak tak berdosa pun lahap ia makan,” kata Tuk Jae. “Jadi
kita yang tak terlalu kuat ini, apalagi para pemuja Ivret yang saat ini sulit
dibedakan, apakah bisa mengalahkannya?”
“Kita tak boleh putus asa, Tuk!” seru
Sangina yang sejak tadi menciptakan angin kecil untuk membantu yang lain
membersihkan diri. “Kita semua sama, kita adalah ciptaan Tuhan Yang Agung.
Mungkin manusia kerap salah paham tentang keberadaan kami sebagai Peri Penjaga
Hutan Indragiri. Begitu pun dengan Ivret dan Rhas, mereka bukan penguasa alam
semesta itu! Para pemujanya keliru memahami. Kita hanya perlu bersatu untuk
mengalahkannya. Saura tahu kelemahan Ivret! Iya kan?” Sangina memandang Saura yang sejak kedatangan memilih untuk
tak banyak bicara.
Saura berdiri dan sedikit melayang
ketika menghampiri Tuk Jae. Wajahnya tampak murung. Mungkin seharusnya ia bisa
melawan kobaran Api Rhas dengan kekuatannya sebagai Pengatur Air. Tapi kondisi
pada waktu itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Dengan lirih ia mulai
menjelaskan.
“Sangina benar, selama ini aku terlalu
menutup rahasia,” katanya. “Sesungguhnya nenek moyangku dan Ivret adalah teman
baik. Bangsa kami diciptakan Tuhan bersama-sama. Sebagai rekan yang saling
melengkapi. Kami tumbuh menjadi pribadi yang damai. Tapi Ivret, semakin ia
tumbuh menjadi Pengatur Api, semakin pula ia berambisi untuk menguasai semesta.
Ia mempelajari rahasia api yang dianugerahkan Tuhan padanya. Tentu, semakin ia mendapatkan jawaban ia
semakin sombong. Rhas adalah ular yang terlahir dari amarahnya. Bersamanya ia
menggoda dan membakar hati manusia untuk membangkang pada kedamaian Tuhan,
hingga ia berhasil mendapatkan pemuja yang begitu banyak. Itu sebabnya, aku dan seluruh Pengatur Air
disebar untuk membantu manusia ketika Ivret menyerang,” jelasnya, berhenti
sejenak menghela napas. “Tapi Ivret punya dua kelemahan. Pertama, Ivret takut
pada kekuatan manusia yang melawannya. Kedua, Ivret takut pada pemujanya yang
membangkang. Andai saja, para pemuja itu tahu bahwa ia bisa lebih kuat dari
Ivret. Tapi sayang, Ivret selalu mengabulkan doa-doa mereka yang busuk,
sehingga mereka lemah dan menurut!”
Saura meneteskan air mata saat menutup
ceritanya. Dia kembali melayang ke tempat ia duduk. Semua hening dalam rasa
sakit. Sanuda, Sfanunna, Sahata, Sanhutah, Sahima, Sangina, dan Saura, juga Tuk
Jae. Mereka sedang berpikir untuk melawan. Menemukan sekutu ataupun membujuk
para pemuja Ivret untuk membangkang. Api bukanlah sesuatu yang terkutuk. Ia
hanya perlu dikendalikan.
“Baiklah,” kata Tuk Jae seraya berdiri
dan berjalan ke arah jendela lalu membukanya. Tampak segaris jingga di Timur
sebagai penanda pagi telah menyingsing. “Hutan tak semudah tumbuh dengan sekali
lambaian tangan para peri. Ia harus dijaga dan dipertahankan. Tuan Putri Saura
dan semuanya, kita akan merencanakan pembalasan ini. Kita akan membuat Ivret
menyesalinya. Demi Tuhan dan kalian, Para Peri Penjaga Hutan Indragiri yang
terbakar!”
***
No comments:
Post a Comment