RUANG
DIANTARA KISAH
Oleh
: M.Z. BILLAL
Ia masih bersikeras
mengatakan bahwa istrinyalah yang telah membunuh kedua buah hati mereka selagi
ia berada di luar rumah mencari pekerjaan baru. Dua balita berusia empat dan
dua tahun itu ditenggelamkan ke dalam bak penampung air yang ada di belakang
rumah mereka setelah sebelumnya dua balita itu memakan obat tidur dosis tinggi
yang dicampur ke dalam menu makan siangnya. Kemudian ia menambahkan, kalau
tetangganya sempat melihat istrinya menggendong kedua anak mereka dalam keadaan
tidur di belakang rumah, sementara istrinya terus bersenandung menyanyikan lagu
pengantar tidur.
Tanpa jeda, ia tetap berkuat menuding istrinya di hadapan para
polisi yang menginterogasinya. Bahkan ia sampai menangis ketika menjelaskan
perangai istrinya yang kasar terhadap kedua anak mereka, termasuk kepada
dirinya yang pengangguran usai di PHK oleh sebuah perusahaan. Ia
meneruskan ceritanya, bahwa ia sangat tertekan oleh sikap istrinya yang
semena-mena. Ia mencintai keluarganya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun ia
tak menyangka, hidup susah telah membuat istrinya berbuat keji kepada kedua
buah hati mereka yang teramat ia cintai. Ia lantas menjambak rambutnya sendiri
sebagai luapan kesedihan dan kekecewaan yang dalam, tak peduli beberapa
wartawan yang berada di sana memotretnya sebagai bahan berita di media massa
nantinya.
Akan tetapi, meski ia begitu lepas menumpahkan isi hatinya di
hadapan banyak orang, istrinya tak memberi tanggapan apa pun. Ia tetap diam di
sana, berdiri di belakangnya, memegangi bahunya untuk menenangkan seolah tidak
melakukan sebuah kesalahan. Bahkan tim interogasi sama sekali tidak mengajukan
satu pertanyaan pun kepada istrinya. Padahal semua bukti sudah sangat jelas
mengarah kepada istrinya. Mulai dari temuan obat tidur di masakan, kain batik
panjang yang digunakan untuk menggendong anak-anak mereka terserak di
depan pintu belakang rumah, dan sumur yang mendadak ditutupi banyak daun kering
untuk menyamarkan dua anak mereka yang telah tenggelam di dalamnya.
“Kenapa Anda terus-menerus menanyai saya,” katanya. “Seakan saya
adalah pelaku pembunuhan itu. Padahal di sini ada istri saya yang kejam.
Kalian tanyakan saja kepadanya kenapa ia berbuat begitu nekat!”
Para polisi itu kemudian berbisik-bisik kecil saling memandang
satu sama lain. Sesekali mereka mengerutkan dahi seperti terjadi perdebatan
rahasia di antara mereka. Membuat ia berpikir curiga, bahwa istrinya yang sejak
tadi diam saja itu telah bersekongkol dengan para polisi untuk
menjebloskannya ke penjara selama puluhan tahun. Bisa saja itu dilakukannya
agar istrinya terbebas dari pria pengangguran yang menghadapi sejumlah hutang
yang tidak sedikit nominalnya.
“Begini, Tuan,” ujar salah satu polisi kepadanya dengan suara
pelan. “Kami telah setuju untuk melanjutkan pemeriksaan ini besok, sementara
Anda boleh pulang. Emm.. Bersama istri Anda.”
“Apa?” Ia mengerutkan dahinya sembari memiringkan kepalanya ke
depan, mendekat ke arah polisi yang tadi berkata kepadanya.
“Pemeriksaan terhadap saya masih berlanjut? Kenapa kalian tidak
menanyai saksi-saksi yang lain?”
Polisi yang masih sibuk mengetik di depan layar komputer,
mencatat semua yang ia ucapkan, berdeham kuat lalu merapikan kertas-kertas yang
baru saja keluar dari mesin cetak dan berkata, “Tentu saja kami akan memeriksa
saksi yang lain, Tuan. Namun kami tak ingin Anda semakin kacau berada di sini.
Kami mengizinkan Anda pulang bersama istri Anda diantar oleh salah satu petugas
kami.”
“Saya yang akan mengantar Anda dan istri Anda pulang, Tuan.”
Tiba-tiba dari belakangnya muncul seorang pria bertubuh tegap. Pria itu
tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya. “Nama saya Bayu.”
Ia tak menerima uluran tangan dari pria bertubuh tegap itu,
bahkan tak tertarik untuk mengenalnya. Ia masih sulit menerima keputusan bahwa
besok ia akan kembali duduk ruangan itu selama berjam-jam dikelilingi
polisi-polisi bertubuh tegap dan menceritakan kembali kisah miris yang menimpa
kedua anaknya, yang membuatnya tak bisa menahan air mata. Namun ia tak mau
berdebat dengan polisi. Dengan sekali hela napas berat ia mengangguk setuju.
“Baiklah,” katanya. “Saya berharap besok adalah pemeriksaan
terakhir. Dan tentu saja, sangat berharap kalian segera meringkus istri saya
yang pura-pura tidak bersalah ini!”
Kemudian ia segera berdiri dan memandang berkeliling, melihat
semua tim interogasi menganggukkan kepala mereka, menyetujui apa yang ia
katakan. Namun ia tampak marah ketika memandang wajah istrinya yang masih saja
mematung di sana. Ia ingin mencekik leher perempuan kejam itu saat di matanya
terlintas kenangan menyedihkan. Namun ia berusaha menahan emosi ketika pria
bernama Bayu itu membimbingnya ke luar ruangan.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, ia terus memandang ke luar.
Tanpa sekali pun menoleh kepada Bayu yang sedang menyetir. Ia juga mengabaikan
keberadaan istrinya yang masih duduk diam sejuta bahasa di belakangnya.
Barangkali, ia berpikir, istrinya sangat menyesali perbuatannya. Namun sungguh,
ia benar-benar sudah muak. Ia tak mau berbicara kepada perempuan pembunuh anak
kandungnya sendiri itu. Sampai Bayu mengatakan sesuatu yang membuat ia terkejut
dan menjadi emosional.
“Tuan, bolehkan saya menginap di rumah Anda malam ini?”
“Hei, apa-apaan kau ini!” sungutnya. “Apa maksudmu ingin
menginap di rumahku malam ini? Apa kau mulai naksir istriku yang sadis itu dan
bernafsu ingin bercinta dengannya di rumahku? Menjijikkan sekali kau!”
Pria bertubuh tegap yang fokus menyetir itu mendengus, berusaha
menahan tawa, hanya tersenyum lebar memandanganya yang memasang ekspresi jijik.
“Tidak, Tuan. Sungguh tidak mungkin itu terjadi. Saya hanya
ingin membantu Anda menenangkan pikiran. Percayalah. Saya tidak mau hal buruk
terjadi di antara kalian berdua.”
Ia memandang wajah Bayu lekat-lekat lalu mendengus. Tatapannya
kini menaruh curiga perihal persengkokolan para polisi yang tadi tumbuh dalam
benaknya.
“Saya berharap Anda tidak berpikir terlalu jauh. Saya bersumpah,
Tuan.” Bayu cepat-cepat melanjutkan ucapannya. Mencoba meyakinkannya.
“Baiklah,” katanya sembari menyilangkan kakinya. “Hanya malam
ini saja!”
Bayu mengangguk. Menyetuju kata-katanya sambil membelokkan mobil
yang ia kemudikan ke arah kanan jalan bercabang.
Belum lama berada di dalam rumah, pertengkaran kembali terjadi
antara ia dan istrinya. Ia tak henti-henti marah dan memaki istrinya yang
terus-menerus diam sampai matanya berkaca-kaca dan akhirnya tumpah di pipinya.
“Apa kini kau menyesalinya, hah!” bentaknya sambil membanting
piring di dapur yang sudah berdebu. “Kau sungguh ibu berhati iblis! Kini kau
hanya diam, seolah semuanya selesai ketika para polisi itu terus-menerus
menanyaiku atas perbuatan kejimu! Kau menjebakku!”
Ia menendang kursi dan menghantamkan punggungnya ke tembok yang
sebagian besar sudah terkelupas catnya, lalu merosot ke lantai sambil meracau
menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Kau hanya memikirkan dirimu sendiri! Kau tidak benar-benar
setia padaku! Kau mencampakkanku ketika aku kehilangan semua hartaku, bahkan
kau membunuh anak-anak yang aku sayangi! Kau brengsek! Kau brengsek, Sinar!”
Istrinya hanya terpaku di sofa. Menatapnya dengan pandangan
hampa. Entah apa yang dipikirkan istrinya sehingga bisunya membuat ia ingin
membunuh, melenyapkannya dari pandangan. Beruntung Bayu, yang tadi pamit
sebentar membeli sesuatu, segera masuk ke dalam rumah. Segera mencegah
tangannya yang memegang pisau dapur berada tepat di urat besar leher istrinya.
“Ini yang aku khawatirkan, Tuan,” kata Bayu. Tangannya tangkas
meraih pisau dapur itu dan memegangiku dari belakang. “Anda terlalu emosional.”
Napasnya masih memburu. Ia sangat murka. Namun Bayu berusaha
menenangkannya. Membantunya duduk di sofa yang lain. Sementara istrinya masih
berada di sana sampai ia memaki keras menyuruh istrinya pergi ke dalam kamar.
Bayu mengusap-usap punggungnya. Memberinya sebotol air mineral
dan mengelap keringat bercampur air mata yang menderas di wajahnya.
“Anda seharusnya mampu menahan emosi, Tuan.”
“Tapi aku semakin tertekan,” balasnya segera. “Semua sudut rumah
ini mengingatkanku pada dua anakku yang malang.”
Bayu hanya mengangguk saja. Wajahnya senantiasa tersenyum seakan
berusaha menenangkan amarahnya yang terlanjur meledak. Namun ia tak lantas
begitu saja menjadi dingin dan penurut. Ia malah mendadak menjadi waspada
terhadap Bayu. Perlahan ia bergerak menjauhi Bayu dan berdiri di dekat
jendela yang sudah pecah kacanya.
“Aku mulai berpikir aneh sekarang,” katanya. “Kau terlalu baik
sampai memutuskan untuk ikut pulang bersamaku! Apa kalian, para polisi, telah
merencanakan sesuatu untuk menjebakku? Kalau itu benar, kau dan mereka saja
sama saja brengseknya!”
“Tidak, Tuan. Percayalah. Kau terlalu curiga. Aku hanya
ingin membantumu.”
“Membantuku?” ulangnya dengan nada curiga. “Membantu untuk apa?
Kau pikir aku orang gila yang gampang meledak amarahnya?”
Bayu berdiri dan berjalan menghampirinya. Mendudukannya
lagi ke kursi kayu di dekat situ lalu memegang kedua bahunya seperti hendak
mengatakan sesuatu.
“Tuan, apa Anda masih ingat hal yang paling membahagiakan dalam
hidup Anda? Setidaknya, yang terakhir kali Anda ingat.”
“Aku tak bisa mengingat apa pun kecuali peristiwa tragis hari
itu. Ketika kutemukan anak-anakku di dalam bak penampung air bercampur ribuan
daun-daun kering.”
“Apa Anda sama sekali tidak ingat ketika istri Anda mengatakan
bahwa ia sangat mencintai Anda dan anak-anak di dalam rumah ini?”
“Itu sudah hilang bersama kemarahanku!” serunya. “Aku ingin ia
menghabiskan hidupnya di balik jeruji besi!”
Bayu tak membalas ucapannya. Pemuda bertubuh tegap itu
melemparkan pandangannya ke luar melalui jendela kaca yang pecah. Sampai
tiba-tiba muncul beberapa pria berpakaian putih diiringi tiga polisi yang
sebelumnya menginterogasinya habis-habisan. Pria-pria berpakaian putih
memeganginya. Lalu Bayu berkata pelan kepadanya.
“Mari kita pulang, Tuan. Kita isi kembali ingatanmu dengan
kenangan manis tentang keluargamu. Tentang istri dan anak-anak yang Anda
cintai.”
“Hei, apa-apaan kau, Bayu! Kau pikir aku gila sampai petugas
rumah sakit jiwa dan polisi-polisi ini memegangiku?” tanyanya sembari berusaha
melepaskan diri dari pria-pria berbaju putih itu.
“Tuan, sungguh rumah ini sangat indah. Saya sangat terharu
ketika Anda menceritakan tentang burung-burung gereja yang menemani kedua buah
hati Anda saat pagi sampai menjelang siang. Istri Anda yang cantik dan pandai
memasak. Bahkan itu membuat saya sangat cemburu,” ujar Bayu lembut. “Sampai
keadaan berbalik arah, ketidakberuntungan menimpa kehidupan Anda. Anda menjadi
sangat mudah untuk marah dan berkata kasar bahkan kepada kedua anak Anda yang
lucu-lucu.”
“Sok tahu!” tukasnya menahan geram, merasa dikhianati oleh Bayu.
Ia benar-benar berpikir, bahwa kecurigaanya adalah fakta. Polisi-polisi itu
bekerja sama untuk menjebloskannya ke penjara dan menyelamatkan istrinya. “Kau
terlalu pandai mengarang untuk orang yang baru kau kenal seperti aku, Bayu!
Sekarang kau sama saja seperti istriku dan orang-orang ini! Benar-benar
brengsek telah menjebakku! Padahal semua bukti sudah jelas. Lepaskan aku!” Ia
menyikut perut pria yang memegangi tangan kanannya, berusaha melepaskan
diri dan kabur.
“Tidak ada yang menjebakmu, Tuan. Sekali lagi kami katakan,
bahwa kami berusaha membantumu.”
“Tidaaaaaak!!” lolongnya. “Kalian semua brengsek! Menipuku.”
“Kami tidak menipu Anda, Tuan. Kami bahkan memercayai bahwa Anda
telah berangsur menemukan diri Anda lagi. Namun kenyataannya, Anda masih tetap
sama. Ingatan paling kuat di dalam otak Anda adalah peristiwa terakhir yang
membuat Anda sangat depresi. Ketika Anda menginginkan sebuah tempat untuk Anda
datangi, Anda malah memilih kantor polisi sama seperti hari itu. Membuat kami
kemudian menyimpulkan bahwa Anda belum benar-benar pulih.” Bayu berusaha
menjelaskan kepadanya. “Seharusnya Anda mengingat bahwa istri Anda kerap
mengucapkan cinta di dalam rumah ini, sama seperti yang Anda bicarakan di kamar
Anda setiap hari.”
Ia masih meronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan kuat
petugas rumah sakit jiwa itu. Menjadi marah dan sulit dikendalikan.
Hingga salah satu dari pria berpakaian putih itu menyuntik lengannya. Yang
membuat ia perlahan kehilangan kesadarannya.
Hari
yang sama, tiga tahun yang lalu di rumah itu.
Ia sangat kesal ketika menghempaskan punggungnya ke sofa.
Mengepalkan tangan dan meninju permukaan sofa berulangkali sambil menggeram.
Ketika sudah tak tertahan ia lemparkan map berisi surat lamaran kerja beserta
dokumen pelengkapnya ke tembok lalu menghantam vas bunga yang berada di atas
lemari kecil di sudut ruangan itu. Membuat vas jatuh pecah dan kertas-kertas
berserakan. Sampai istri dan kedua anaknya berlari ke ruang depan rumah itu.
“Ada apa, Bang?” tanya istrinya dengan suara lembut. “Belum
berhasil ya?”
Ia tetap diam, tak tertarik menyahut ucapan istrinya.
“Tidak apa-apa, Bang. Sabar, tidak usah berkecil hati. Kami
selalu mendoakanmu agar segera mendapatkan pekerjaan yang baru.” Istrinya
segera mendekatinya lalu duduk bersimpuh di hadapannya.
Namun ia malah marah ketika istrinya berada sangat dekat
dengannya. Ia menjadi sangat emosional dan mendorong tubuh perempuan itu dengan
kakinya.
“Sabar? Sabar katamu?” ulangnya dengan membentak. “Kau pikir
sabar itu dapat menyelesaikan masalah kita? Aku lelah dengan hidup yang
tidak adil ini!”
Istrinya tampak shock dengan perlakuannya barusan. Bahkan ia juga mendorong kedua anaknya yang berusaha membela ibunya itu. Ia menjadi tidak terkendali.
Istrinya tampak shock dengan perlakuannya barusan. Bahkan ia juga mendorong kedua anaknya yang berusaha membela ibunya itu. Ia menjadi tidak terkendali.
“Tiap hari aku harus menjelajahi kota agar mendapat pekerjaan.
Bertemu orang-orang yang merendahkanku,” cerocosnya lagi.
“Hutang bertumpuk, hidup bertambah susah. Dan kau bilang aku
harus bersabar? Memang kau dan dua anak ini mau makan batu ya? Aku dipecat dari
pekerjaanku karena sebuah hal sepele. Itu karena kalian yang telah membuatku
lalai dalam pekerjaan! Barangkali ketika kalian mati baru aku merasa lega dan
terbebas dari tuntutan ini!”
Istrinya tampak menangis sambil mendekap kedua anaknya.
Barangkali ia tidak menyangka kalau suaminya berkata sejahat itu. Mendoakan
istri dan anak kandungnya sendiri layak mati karena menjadi beban hidup.
Padahal ia sudah sangat bersabar menghadapi suaminya yang setiap harinya
semakin kasar dan tidak berperasaan. Ia mendekap tubuh anaknya semikin
erat.
Namun ia tidak sedikit pun menaruh iba kepada istrinya yang
menumpahkan air mata, meski dahulu ia teramat takut air mata itu tumpah.
Kehidupan yang rumit membuat hatinya beku, mudah marah, dan tidak peduli.
Bahkan sesekali istrinya memergokinya sedang menenggak minuman keras untuk
mengusir suntuk yang menjadi-jadi. Tak mau larut dalam suasana haru biru, ia
meninggalkan istri dan kedua anaknya, masuk ke dalam kamar dan membanting pintu
dari dalam. Memutuskan untuk tidur.
Kemudian ketika ia terbangun setelah tidur selama dua jam lebih
dan perasaannya kembali normal. Ia keluar dari kamar. Mencari istri dan kedua
anaknya. Namun yang ia temukan hanyalah sepiring bubur berbau obat di ruang
tamu. Ia berteriak memanggil kedua anaknya tapi tak ada yang menyahut.
Sampai akhirnya ia sangat shock ketika melihat tubuh istrinya mengambang di
udara di teras belakang rumah dan kain batik panjang yang biasa digunakan untuk
menggendong anaknya terserak di bawahnya. Ia meraung menyebut nama istrinya dan
menjadi sangat panik. Membuat para tetangga berdatangan dan ikut menangis.
Ditambah ketika salah seorang tetangga menemukan kedua anaknya terapung di
dalam bak penampung air bersama ribuan daun-daun kering, tak jauh dari tempat
istrinya menggantung diri. Ia semakin meraung dan meracau. Antara menyesali
perbuatannya dan marah kepada istrinya.