CERPEN

Monday, January 29, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_APAJAKE.ID_RUANG DI ANTARA KISAH_28 JANUARI 2018


RUANG DIANTARA KISAH
Oleh : M.Z. BILLAL

Ia masih bersikeras mengatakan bahwa istrinyalah yang telah membunuh kedua buah hati mereka selagi ia berada di luar rumah mencari pekerjaan baru. Dua balita berusia empat dan dua tahun itu ditenggelamkan ke dalam bak penampung air  yang ada di belakang rumah mereka setelah sebelumnya dua balita itu memakan obat tidur dosis tinggi yang dicampur ke dalam menu makan siangnya. Kemudian ia menambahkan, kalau tetangganya sempat melihat istrinya menggendong kedua anak mereka dalam keadaan tidur di belakang rumah, sementara istrinya terus bersenandung menyanyikan lagu pengantar tidur.
Tanpa jeda, ia tetap berkuat menuding istrinya di hadapan para polisi yang menginterogasinya. Bahkan ia sampai menangis ketika menjelaskan perangai istrinya yang kasar terhadap kedua anak mereka, termasuk kepada dirinya yang pengangguran usai di PHK oleh sebuah perusahaan.  Ia meneruskan ceritanya, bahwa ia sangat tertekan oleh sikap istrinya yang semena-mena. Ia mencintai keluarganya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun ia tak menyangka, hidup susah telah membuat istrinya berbuat keji kepada kedua buah hati mereka yang teramat ia cintai. Ia lantas menjambak rambutnya sendiri sebagai luapan kesedihan dan kekecewaan yang dalam, tak peduli beberapa wartawan yang berada di sana memotretnya sebagai bahan berita di media massa nantinya.
Akan tetapi, meski ia begitu lepas menumpahkan isi hatinya di hadapan banyak orang, istrinya tak memberi tanggapan apa pun. Ia tetap diam di sana, berdiri di belakangnya, memegangi bahunya untuk menenangkan seolah tidak melakukan sebuah kesalahan. Bahkan tim interogasi sama sekali tidak mengajukan satu pertanyaan pun kepada istrinya. Padahal semua bukti sudah sangat jelas mengarah kepada istrinya. Mulai dari temuan obat tidur di masakan, kain batik panjang yang digunakan untuk menggendong  anak-anak mereka terserak di depan pintu belakang rumah, dan sumur yang mendadak ditutupi banyak daun kering untuk menyamarkan dua anak mereka yang telah tenggelam di dalamnya.
“Kenapa Anda terus-menerus menanyai saya,” katanya. “Seakan saya adalah pelaku pembunuhan itu. Padahal di sini ada istri saya yang kejam.  Kalian tanyakan saja kepadanya kenapa ia berbuat begitu nekat!”
Para polisi itu kemudian berbisik-bisik kecil saling memandang satu sama lain. Sesekali mereka mengerutkan dahi seperti terjadi perdebatan rahasia di antara mereka. Membuat ia berpikir curiga, bahwa istrinya yang sejak tadi diam saja itu telah bersekongkol dengan para polisi  untuk menjebloskannya ke penjara selama puluhan tahun. Bisa saja itu dilakukannya agar istrinya terbebas dari pria pengangguran yang menghadapi sejumlah hutang yang tidak sedikit nominalnya.
“Begini, Tuan,” ujar salah satu polisi kepadanya dengan suara pelan. “Kami telah setuju untuk melanjutkan pemeriksaan ini besok, sementara Anda boleh pulang. Emm.. Bersama istri Anda.”
“Apa?” Ia mengerutkan dahinya sembari memiringkan kepalanya ke depan, mendekat ke arah polisi yang tadi berkata kepadanya.
“Pemeriksaan terhadap saya masih berlanjut? Kenapa kalian tidak menanyai saksi-saksi yang lain?”
Polisi yang masih sibuk mengetik di depan layar komputer, mencatat semua yang ia ucapkan, berdeham kuat lalu merapikan kertas-kertas yang baru saja keluar dari mesin cetak dan berkata, “Tentu saja kami akan memeriksa saksi yang lain, Tuan. Namun kami tak ingin Anda semakin kacau berada di sini. Kami mengizinkan Anda pulang bersama istri Anda diantar oleh salah satu petugas kami.”
“Saya yang akan mengantar Anda dan istri Anda pulang, Tuan.” Tiba-tiba dari belakangnya muncul seorang pria bertubuh tegap. Pria itu tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya. “Nama saya Bayu.”
Ia tak menerima uluran tangan dari pria bertubuh tegap itu, bahkan tak tertarik untuk mengenalnya. Ia masih sulit menerima keputusan bahwa besok ia akan kembali duduk ruangan itu selama berjam-jam dikelilingi polisi-polisi bertubuh tegap dan menceritakan kembali kisah miris yang menimpa kedua anaknya, yang membuatnya tak bisa menahan air mata. Namun ia tak mau berdebat dengan polisi. Dengan sekali hela napas berat ia mengangguk setuju.
“Baiklah,” katanya. “Saya berharap besok adalah pemeriksaan terakhir. Dan tentu saja, sangat berharap kalian segera meringkus istri saya yang pura-pura tidak bersalah ini!”
Kemudian ia segera berdiri dan memandang berkeliling, melihat semua tim interogasi menganggukkan kepala mereka, menyetujui apa yang ia katakan. Namun ia tampak marah ketika memandang wajah istrinya yang masih saja mematung di sana. Ia ingin mencekik leher perempuan kejam itu saat di matanya terlintas kenangan menyedihkan. Namun ia berusaha menahan emosi ketika pria bernama Bayu itu membimbingnya ke luar ruangan.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, ia terus memandang ke luar. Tanpa sekali pun menoleh kepada Bayu yang sedang menyetir. Ia juga mengabaikan keberadaan istrinya yang masih duduk diam sejuta bahasa di belakangnya. Barangkali, ia berpikir, istrinya sangat menyesali perbuatannya. Namun sungguh, ia benar-benar sudah muak. Ia tak mau berbicara kepada perempuan pembunuh anak kandungnya sendiri itu. Sampai Bayu mengatakan sesuatu yang membuat ia terkejut dan menjadi emosional.
“Tuan, bolehkan saya menginap di rumah Anda malam ini?”
“Hei, apa-apaan kau ini!” sungutnya. “Apa maksudmu ingin menginap di rumahku malam ini? Apa kau mulai naksir istriku yang sadis itu dan bernafsu ingin bercinta dengannya di rumahku? Menjijikkan sekali kau!”
Pria bertubuh tegap yang fokus menyetir itu mendengus, berusaha menahan tawa, hanya tersenyum lebar memandanganya yang memasang ekspresi jijik.
“Tidak, Tuan. Sungguh tidak mungkin itu terjadi. Saya hanya ingin membantu Anda menenangkan pikiran. Percayalah. Saya tidak mau hal buruk terjadi di antara kalian berdua.”
Ia memandang wajah Bayu lekat-lekat lalu mendengus. Tatapannya kini menaruh curiga perihal persengkokolan para polisi yang tadi tumbuh dalam benaknya.
“Saya berharap Anda tidak berpikir terlalu jauh. Saya bersumpah, Tuan.” Bayu cepat-cepat melanjutkan ucapannya. Mencoba meyakinkannya.
“Baiklah,” katanya sembari menyilangkan kakinya. “Hanya malam ini saja!”
Bayu mengangguk. Menyetuju kata-katanya sambil membelokkan mobil yang ia kemudikan ke arah kanan jalan bercabang.
Belum lama berada di dalam rumah, pertengkaran kembali terjadi antara ia dan istrinya. Ia tak henti-henti marah dan memaki istrinya yang terus-menerus diam sampai matanya berkaca-kaca dan akhirnya tumpah di pipinya.
“Apa kini kau menyesalinya, hah!” bentaknya sambil membanting piring di dapur yang sudah berdebu. “Kau sungguh ibu berhati iblis! Kini kau hanya diam, seolah semuanya selesai ketika para polisi itu terus-menerus menanyaiku atas perbuatan kejimu! Kau menjebakku!”
Ia menendang kursi dan menghantamkan punggungnya ke tembok yang sebagian besar sudah terkelupas catnya, lalu merosot ke lantai sambil meracau menjambak-jambak rambutnya sendiri.
“Kau hanya memikirkan dirimu sendiri! Kau tidak benar-benar setia padaku! Kau mencampakkanku ketika aku kehilangan semua hartaku, bahkan kau membunuh anak-anak yang aku sayangi! Kau brengsek! Kau brengsek, Sinar!”
Istrinya hanya terpaku di sofa. Menatapnya dengan pandangan hampa. Entah apa yang dipikirkan istrinya sehingga bisunya membuat ia ingin membunuh, melenyapkannya dari pandangan. Beruntung Bayu, yang tadi pamit sebentar membeli sesuatu, segera masuk ke dalam rumah. Segera mencegah tangannya yang memegang pisau dapur berada tepat di urat besar leher istrinya.
“Ini yang aku khawatirkan, Tuan,” kata Bayu. Tangannya tangkas meraih pisau dapur itu dan memegangiku dari belakang. “Anda terlalu emosional.”
Napasnya masih memburu. Ia sangat murka. Namun Bayu berusaha menenangkannya. Membantunya duduk di sofa yang lain. Sementara istrinya masih berada di sana sampai ia memaki keras menyuruh istrinya pergi ke dalam kamar.
Bayu mengusap-usap punggungnya. Memberinya sebotol air mineral dan mengelap keringat bercampur air mata yang menderas di wajahnya.
“Anda seharusnya mampu menahan emosi, Tuan.”
“Tapi aku semakin tertekan,” balasnya segera. “Semua sudut rumah ini mengingatkanku pada dua anakku yang malang.”
Bayu hanya mengangguk saja. Wajahnya senantiasa tersenyum seakan berusaha menenangkan amarahnya yang terlanjur meledak. Namun ia tak lantas begitu saja menjadi dingin dan penurut. Ia malah mendadak menjadi waspada terhadap Bayu.  Perlahan ia bergerak menjauhi Bayu dan berdiri di dekat jendela yang sudah pecah kacanya.
“Aku mulai berpikir aneh sekarang,” katanya. “Kau terlalu baik sampai memutuskan untuk ikut pulang bersamaku! Apa kalian, para polisi, telah merencanakan sesuatu untuk menjebakku? Kalau itu benar, kau dan mereka saja sama saja brengseknya!”
“Tidak, Tuan. Percayalah. Kau terlalu curiga.  Aku hanya ingin membantumu.”
“Membantuku?” ulangnya dengan nada curiga. “Membantu untuk apa? Kau pikir aku orang gila yang gampang meledak amarahnya?”
Bayu berdiri dan berjalan menghampirinya.  Mendudukannya lagi ke kursi kayu di dekat situ lalu memegang kedua bahunya seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Tuan, apa Anda masih ingat hal yang paling membahagiakan dalam hidup Anda? Setidaknya, yang terakhir kali Anda ingat.”
“Aku tak bisa mengingat apa pun kecuali peristiwa tragis hari itu. Ketika kutemukan anak-anakku di dalam bak penampung air bercampur ribuan daun-daun kering.”
“Apa Anda sama sekali tidak ingat ketika istri Anda mengatakan bahwa ia sangat mencintai Anda dan anak-anak di dalam rumah ini?”
“Itu sudah hilang bersama kemarahanku!” serunya. “Aku ingin ia menghabiskan hidupnya di balik jeruji besi!”
Bayu tak membalas ucapannya. Pemuda bertubuh tegap itu melemparkan pandangannya ke luar melalui jendela kaca yang pecah. Sampai tiba-tiba muncul beberapa pria berpakaian putih diiringi tiga polisi yang sebelumnya menginterogasinya habis-habisan. Pria-pria berpakaian putih memeganginya. Lalu Bayu berkata pelan kepadanya.
“Mari kita pulang, Tuan. Kita isi kembali ingatanmu dengan kenangan manis tentang keluargamu. Tentang istri dan anak-anak yang Anda cintai.”
“Hei, apa-apaan kau, Bayu! Kau pikir aku gila sampai petugas rumah sakit jiwa dan polisi-polisi ini memegangiku?” tanyanya sembari berusaha melepaskan diri dari pria-pria berbaju putih itu.
“Tuan, sungguh rumah ini sangat indah. Saya sangat terharu ketika Anda menceritakan tentang burung-burung gereja yang menemani kedua buah hati Anda saat pagi sampai menjelang siang. Istri Anda yang cantik dan pandai memasak. Bahkan itu membuat saya sangat cemburu,” ujar Bayu lembut. “Sampai keadaan berbalik arah, ketidakberuntungan menimpa kehidupan Anda. Anda menjadi sangat mudah untuk marah dan berkata kasar bahkan kepada kedua anak Anda yang lucu-lucu.”
“Sok tahu!” tukasnya menahan geram, merasa dikhianati oleh Bayu. Ia benar-benar berpikir, bahwa kecurigaanya adalah fakta. Polisi-polisi itu bekerja sama untuk menjebloskannya ke penjara dan menyelamatkan istrinya. “Kau terlalu pandai mengarang untuk orang yang baru kau kenal seperti aku, Bayu! Sekarang kau sama saja seperti istriku dan orang-orang ini! Benar-benar brengsek telah menjebakku! Padahal semua bukti sudah jelas. Lepaskan aku!” Ia menyikut perut pria yang memegangi tangan kanannya, berusaha  melepaskan diri dan kabur.
“Tidak ada yang menjebakmu, Tuan. Sekali lagi kami katakan, bahwa kami berusaha membantumu.”
“Tidaaaaaak!!” lolongnya. “Kalian semua brengsek! Menipuku.”
“Kami tidak menipu Anda, Tuan. Kami bahkan memercayai bahwa Anda telah berangsur menemukan diri Anda lagi. Namun kenyataannya, Anda masih tetap sama. Ingatan paling kuat di dalam otak Anda adalah peristiwa terakhir yang membuat Anda sangat depresi. Ketika Anda menginginkan sebuah tempat untuk Anda datangi, Anda malah memilih kantor polisi sama seperti hari itu. Membuat kami kemudian menyimpulkan bahwa Anda belum benar-benar pulih.” Bayu berusaha menjelaskan kepadanya. “Seharusnya Anda mengingat bahwa istri Anda kerap mengucapkan cinta di dalam rumah ini, sama seperti yang Anda bicarakan di kamar Anda setiap hari.”
Ia masih meronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan kuat petugas rumah sakit jiwa itu.  Menjadi marah dan sulit dikendalikan. Hingga salah satu dari pria berpakaian putih itu menyuntik lengannya. Yang membuat ia perlahan kehilangan kesadarannya.
Hari yang sama, tiga tahun yang lalu di rumah itu.
Ia sangat kesal ketika menghempaskan punggungnya ke sofa. Mengepalkan tangan dan meninju permukaan sofa berulangkali sambil menggeram. Ketika sudah tak tertahan ia lemparkan map berisi surat lamaran kerja beserta dokumen pelengkapnya ke tembok lalu menghantam vas bunga yang berada di atas lemari kecil di sudut ruangan itu. Membuat vas jatuh pecah dan kertas-kertas berserakan. Sampai istri dan kedua anaknya berlari ke ruang depan rumah itu.
“Ada apa, Bang?” tanya istrinya dengan suara lembut. “Belum berhasil ya?”
Ia tetap diam, tak tertarik menyahut ucapan istrinya.
“Tidak apa-apa, Bang. Sabar, tidak usah berkecil hati. Kami selalu mendoakanmu agar segera mendapatkan pekerjaan yang baru.” Istrinya segera mendekatinya lalu duduk bersimpuh di hadapannya.
Namun ia malah marah ketika istrinya berada sangat dekat dengannya. Ia menjadi sangat emosional dan mendorong tubuh perempuan itu dengan kakinya.
“Sabar? Sabar katamu?” ulangnya dengan membentak. “Kau pikir sabar itu dapat menyelesaikan masalah kita? Aku lelah dengan  hidup yang tidak adil ini!”
Istrinya tampak shock dengan perlakuannya barusan. Bahkan ia juga mendorong kedua anaknya yang berusaha membela ibunya itu. Ia menjadi tidak terkendali.
“Tiap hari aku harus menjelajahi kota agar mendapat pekerjaan. Bertemu orang-orang yang merendahkanku,” cerocosnya lagi.
“Hutang bertumpuk, hidup bertambah susah. Dan kau bilang aku harus bersabar? Memang kau dan dua anak ini mau makan batu ya? Aku dipecat dari pekerjaanku karena sebuah hal sepele. Itu karena kalian yang telah membuatku lalai dalam pekerjaan! Barangkali ketika kalian mati baru aku merasa lega dan terbebas dari tuntutan ini!”
Istrinya tampak menangis sambil mendekap kedua anaknya. Barangkali ia tidak menyangka kalau suaminya berkata sejahat itu. Mendoakan istri dan anak kandungnya sendiri layak mati karena menjadi beban hidup. Padahal ia sudah sangat bersabar menghadapi suaminya yang setiap harinya semakin kasar dan tidak berperasaan.  Ia mendekap tubuh anaknya semikin erat.
Namun ia tidak sedikit pun menaruh iba kepada istrinya yang menumpahkan air mata, meski dahulu ia teramat takut air mata itu tumpah. Kehidupan yang rumit membuat hatinya beku, mudah marah, dan tidak peduli. Bahkan sesekali istrinya memergokinya sedang menenggak minuman keras untuk mengusir suntuk yang menjadi-jadi. Tak mau larut dalam suasana haru biru, ia meninggalkan istri dan kedua anaknya, masuk ke dalam kamar dan membanting pintu dari dalam. Memutuskan untuk tidur.
Kemudian ketika ia terbangun setelah tidur selama dua jam lebih dan perasaannya kembali normal. Ia keluar dari kamar. Mencari istri dan kedua anaknya. Namun yang ia temukan hanyalah sepiring bubur berbau obat di ruang tamu. Ia berteriak memanggil kedua anaknya tapi tak ada yang menyahut.  Sampai akhirnya ia sangat shock ketika melihat tubuh istrinya mengambang di udara di teras belakang rumah dan kain batik panjang yang biasa digunakan untuk menggendong anaknya terserak di bawahnya. Ia meraung menyebut nama istrinya dan menjadi sangat panik. Membuat para tetangga berdatangan dan ikut menangis. Ditambah ketika salah seorang tetangga menemukan kedua anaknya terapung di dalam bak penampung air bersama ribuan daun-daun kering, tak jauh dari tempat istrinya menggantung diri. Ia semakin meraung dan meracau. Antara menyesali perbuatannya dan marah kepada istrinya.

Tuesday, January 2, 2018

CERITA ANAK M.Z. BILLAL_PADANG EKSPRES, 03 DESEMBER 2017


Tegar dari Kebun Limau

Oleh: M Z Billal
Kebun Limau adalah nama desa kecil itu. Meski limau berarti jeruk, tapi desa itu hanya memiliki satu pohon jeruk yang tumbuh besar di jalan masuk
kampung. Sisanya adalah pohon karet. Lebih cocok dinamakan Kebun Karet daripada Kebun Limau. Itu sebabnya sembilan puluh lima persen penduduk di Kebun Limau bekerja sebagai penyadap getah karet. Entah itu sebagai pemilik kebun atau pun orang yang bekerja di kebun milik orang lain. Bukan sebagai penjual jeruk.
Di desa itu jugalah hidup seorang anak laki-laki bernama Tegar yang selalu menjadi buah bibir penduduk desa karena kepintarannya. Tegar tidak seperti kedua kakaknya, Yamila dan Fauzan. Meski baru berusia sepuluh tahun, namun ia memiliki pemikiran yang terbilang bagus dalam membuat keputusan. Otaknya seperti cepat menyerap pelajaran yang ia terima, tidak seperti anak-anak di Kebun Limau pada umumnya. Itu membuatnya selalu berhasil meraih rangking pertama di kelasnya. Selain itu, Tegar juga pandai mengaji dengan irama yang merdu.
Namun tahukah, sebab utama yang membuat Tegar kerap menjadi bahan cerita yang manis di kalangan penduduk Kebun Limau? Tidak sepenuhnya tentang kepintaran dan keramahannya saja. Melainkan dari latar belakang kehidupannya.
Tegar tidak dilahirkan di keluarga yang berkecukupan. Ia hidup bersama ibu dan dua kakaknya yang bekerja sebagai penyadap getah di kebun milik orang kaya yang tinggal di kampung sebelah namun memiliki kebun karet luas di Kebun Limau. Ayahnya sudah tiada sejak ia masih berumur sebulan.
Kedua kakaknya seperti mengikuti jejak ibunya yang tidak mampu untuk bersekolah. Selain karena himpitan biaya, juga karena otak mereka yang kesulitan menerima pelajaran. Keduanya hanya berakhir di kelas dua sekolah dasar dan segera menjalani kehidupan bersama ibunya di kebun karet atau sesekali masuk ke hutan lepas mencari rotan.
Tetapi tidak untuk Tegar. Meski ia juga membantu ibunya di kebun, itu tak membuatnya mundur seperti anak-anak seusianya di Kebun Limau yang memilih untuk berhenti sekolah. Ia tetap berjalan melewati pohon-pohon karet untuk sampai ke sekolah di kampung sebelah, menyeberangi parit lebar berarus deras, dan menghindari kawanan anjing yang menggongong. Ia selalu bersemangat untuk itu. Baginya perjalanan menuju sekolah ditemani matahari yang bersinar terang menembus daun-daun pohon karet yang rimbun seperti kekuatan yang menentramkan hatinya. Ia membayangkan wajah ibu dan kedua kakaknya. Ia tak mau melewatkan sedikit saja pembelajaran. Ia tak mau sebodoh dan tidak peduli seperti kawan-kawannya di Kebun Limau. Karena ia ingin membahagiakan ibunya. Ia ingin membangunkan sebuah rumah yang hangat untuk ibunya suatu hari nanti.
Di sekolah pun Tegar memiliki banyak teman. Meski baju yang ia pakai tak seputih siswa lainnya. Itu tak membuatnya malu, bahkan untuk mengakui kehidupan sehari-harinya. Para guru bersimpati dengan sikap Tegar yang benar-benar setegar namanya.
Namun masalah yang kemudian ia hadapi membuatnya merasa berat untuk menjalani hidup. Kakak laki-lakinya, Fauzan, menghadap Tuhan lebih dahulu karena demam berdarah yang diderita selama seminggu. Tegar sampai tak bisa mengeluarkan air mata lagi karena musibah yang menimpa keluarganya itu. Ia terlalu sering menangis dalam dekapan ibunya. Karena bagaimana pun juga Tegar tetaplah anak-anak.
Ia mulai dilanda keraguan. Ia mulai kehilangan semangat. Ia tak mau melihat ibu dan kakak perempuannya bekerja dengan susah payah di kebun karet yang luas itu. Ia ingin membantu. Ia menjadi sangat khawatir jika keduanya dalam bahaya. Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sekolah, meski hatinya menolak untuk itu.
Dua minggu tak ada kabar yang ia kirimkan ke sekolah sejak kepergian kakaknya. Orang-orang di Kebun Limau menyesalkan keputusan Tegar, namun mereka tak bisa memaksanya untuk bertahan. Ia bangun pagi tidak untuk berangkat ke sekolah, melainkan ke kebun karet menemani ibu dan kakak perempuannya.
Sampai pada suatu siang yang cerah di hari Senin Tegar mendapatkan kunjungan dari wali kelas dan teman-temannya. Tegar malu ketika berhadapan dengan mereka. Sesaat terlintas di kepalanya untuk berlari menjauh. Namun, itu tak mungkin ia lakukan. Ia berusaha menjelaskan keadaan hidupnya yang sekarang. Ia bahkan sampai menitikkan air mata yang membuat teman-temannya juga tak kuat menahan linangan di pipi mereka.
”Saya hanya ingin bersekolah, bu. Tapi keadaan seperti ini sulit untuk dihadapi. Saya hanya seorang anak yang takut kehilangan ibu dan kakak perempuannya.” Tegar mengakhiri kata-katanya sambil duduk menunduk di hadapan ibu guru kelasnya.
Ibu Guru mengusap-usap rambut Tegar. Ia paham pada masalah yang dihadapi oleh Tegar. Siapa pun akan sangat menderita dengan situasi seperti itu.
”Nak, kami datang kemari itu karena kami semua merindukanmu. Kami rindu pada Sang Matahari yang menerangi kelas dengan kepintaran dan kebaikan hatinya,” kata Ibu Guru kepada Tegar sambil tersenyum. “Lihat baik-baik, teman-temanmu di sini memintamu kembali ke sekolah. Mereka tidak sabar untuk mendukungmu merebut juara di olimpiade,” ucap Bu Guru.
Tegar mengangkat kepalanya. Memandangi wajah teman-temannya yang datang ke rumahnya. Ia merasakan kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan.
”Ayolah, Tegar! Kami berharap bisa bersamamu sampai tahun kelulusan nanti,” Dita, si juara kedua menyuarakan isi hatinya kepada Tegar. Diikuti oleh suara teman-temannya yang lain, yang juga memintanya untuk kembali bersemangat.
Teman-temannya duduk mengitari dan langsung merangkulnya dalam pelukan persahabatan. Tegar sangat terharu. Ia kembali menangis. Sampai akhirnya ia berjanji di hadapan ibu dan kakak perempuannya, serta ibu guru dan teman-temannya untuk kembali menjadi Tegar yang dahulu. Ia akan kembali masuk sekolah untuk meneruskan perjalanannya dalam meraih kehidupan yang lebih baik. (*)

PUISI-PUISI M.Z. BILLAL_RIAU POS, 17 DESEMBER 2017



Dunia Terbalik

rerumputan kini tumbuh di dalam rumah
sementara orang-orang berbaring di luar
sebagian di dalam kandang lembab  selebihnya di dalam sangkar
dijaga anjing yang tak sudi menggonggong

Lirik, 2017


Malam Yang Terkutuk

Kita membunyikan lonceng firasat
Seolah mampu membaca gurat di muka daun
Dan demi malam yang terkutuk
Aku menjadi seekor babi anomali
Yang melolong sebelum datangnya pagi

Lirik, 2017


Fiasko

Kaki-kaki yang malang berjela
Memakukan angin pada lubang di tembok
Di ketinggian ini
Aku menatap epitaf yang kian tenggelam
Semakin dalam

Lirik, 2017
Fiasko 2

Aku mengejan
Seperti hendak melahirkan seekor anjing dan seekor babi yang tertawa
Aku ingat pada sebuah fragmen itu
Perihal keterlibatan iblis yang membunyikan lonceng
Di menara paling tua
Sungguh,
Aku menyesal pada ingatan itu

Lirik, 2017

Sebuah Alegori

adalah bagaimana menerbangkan impian
setinggi mungkin
pada sebuah pesawat kertas
namun sampai ke batas langit dan Arsy-Nya

Lirik, 2017


Sebelum Aku Bangun

kunikmati segarnya susu dalam mimpi
tak berbau seperti saat ini
sembari menyusuri buhul rahim ibu
meski nanti ada tangis sesal
tak sanggup memikul beban pengembaraanku


Lirik,  2017



Aphasia

bilamana nanti menjadi layu berbuket kata dalam kepalaku
bantu aku menemukan jalan menuju hujan tanda tanya
akan kubasuh dan bermandikan segenap ingatan
pegangi aku dengan tongkat tanda seru
agar dapat kudeteksi keberadaannya itu
akan kubuat sebuah rakit dari pohon-pohon
sebelum ia mati di atas kepalaku
menyeberangi ombak sungai yang kerap menghempas
di waktu-waktu ganjil

Lirik, 2017

Siklus Equinox Di Dalam Rumah Kita

saat cahaya kita juga melintasi khatulistiwa saban tahun dua kali
menaikkan suhu menderaskan peluh meski tak drastis
tapi berjaga-jagalah
mungkin akan ada orang muak dengan kondisi ini
mungkin juga ada yang penasaran
mungkin juga menyumpah-nyumpah
mungkin juga terbiasa
karena inilah siklus kita
kita datang kadang membuat orang senang kadang pula berang

itu sebabnya aku tak pernah menyebut ini puisi
kita; kau dan aku hanya perlu saling menjaga

Lirik, 2017
Kota Pelangi

selamat datang di kota pelangi
di sini muka orang-orang dicat warna-warni
bahkan orang-orang dapat sesuka hati
mengganti warna matahari

kau akan memilih warnamu sendiri
sesuai hukum warna nurani
jadi tak perlu merasa terinvasi
karena nanti kau akan terbiasa saban hari

Lirik, 2017

Mencari Keberuntungan

mencari keberuntungan tak seperti menandai ingatan perihal mimpi
di lembaran buku angka taksir mimpi
mencari keberuntungan juga tak melulu trik menarik pembeli
mencari keberuntungan adalah menanyai diri didengar oleh telinga yang bersih

Lirik, 2017

Imperium Kata

Imperium bagi kata yang kerap terbujur kaku dalam kematian
Menjadi lapuk
Menjadi busuk
Dan menjadi ketidaktahuan
Adalah dirimu yang tidak membiarkannya di udara terbuka

Lirik, 2017



Penjaga Senja

kau lintang panjer sore
menyakinkan bahwa sajakku adalah pakaian bagi kepribadianku
ia ditenun dari ketulusan dan dibordir motif senja
seakan kedamaian mendesau di dalamnya

kau lintang panjer sore
penjaga senja
menemani sisa segelas luka dengan setia
tak menutup pintu meski kali kedua aku berdusta

Lirik, 2017

Jaket Ayah

pada jaket tua milik ayah
tersimpan banyak cerita dan bau-bauan cinta
tak bisa kukata
tak perlu berurai air mata
biar menjadi penghangat ruang tengah rumah kita

Lirik, 2017










Mengunggah Doa

demi belulang yang bersemayam di pusara
dan masa yang panjang sejak raga memisah
entah engkau orang banyak pahala atau tidak
berbagai sajian siap dibagi disepuh doa-doa
tanpa ada air mata karena tak lagi terluka
kini dua belah tangan yang tengadah
wajah mengikuti sulur suara
berkata amin untuk tiap letupan nada
seakan mantra penunda siksa
dan masa yang berlalu nanti
adalah penolong saat kita juga menjemput masa sesudah tua

Lirik, 2017


Menemukanmu

Menemukanmu di kota rindu
Menyusuri jalan kota yang lurus tanpa liku
Lampu jalan tak pernah padam meski surya mengoyak kelam
Tak ada yang peduli
Orang-orang sibuk bermain peran
Hingga daun-daun gugur dalam pelukan
Di kota yang mengenang bait-bait bayangan
                       
Lirik, 2017


Kaki Cahaya

Demi kaki cahaya
Kakiku dan kakimu terus melangkah
Sampai ke puncak nirwana
Merapal penangkal durja

Lirik, 2017

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate