AGITASI
Oleh: M.Z. Billal
Matanya ditutup sejak ia dibawa paksa
ke tempat terbuka itu, sementara kaki dan tangannya diikat kuat. Ia bisa
merasakan bebatuan dan angin dingin yang menderanya di tempatnya bersimpuh.
Tahu-tahu saja sebuah peluru panas menembus dada kirinya. Tak lantas mati, ia
masih bisa mendengar beberapa percakapan meski tak terlalu jelas dengan rasa
sakit yang tak terlukiskan di sekujur tubuhnya. Peluru itu meleset beberapa
senti dari jantungnya mengenai organ yang lain. Ia tak berteriak, hanya mengerang
pelan dan merasakan betapa basahnya piyama yang ia kenakan oleh darahnya
sendiri dan merasakan kepalanya berdenyut parah. Ia mulai menggigil. Dan lagi,
tahu-tahu sebuah sepatu berbahan keras menendang kuat dada yang lain membuatnya
terlempar dan berguling ke belakang lalu
terjun ke bawah. Ia merasakan tubuhnya melayang seperti dalam perut ibunya yang
dulu menjadikannya, ia tak bisa melihat, hanya rasa sakit itu mengantarkannya
pada ingatan yang perlahan mulai hilang dalam ketiadaan.
***
“Apa harus melulu tentang sensasi,
fenomenal, dan keuntungan? Aku mulai bosan dengan keadaan seperti ini. Ini
benar-benar sebuah provokasi, sebuah hasutan, menghancurkan negara!” serunya di
sela-sela rapat redaksi yang riuh oleh topik-topik panas yang rencananya akan
disiarkan di saluran berita televisi.
Semua yang ada di sana memandang Roy
yang memberengut. Tampak sekali ia jengkel. Rapat menjadi tegang tak seceria saat
mereka berkumpul dan bercanda ketika mengobrol soal program berita di saluran
telvisi lain. Seorang di antaranya, sang produser, berdeham untuk mengalihkan
emosi Roy dengan berkata, “Rapat hari ini selesai, silakan kembali ke ruangan
masing-masing. Dan… Roy, bukankah sebentar lagi ada Breaking News yang harus kamu bawakan?”
Anggota rapat redaksi mulai ke luar
ruangan dengan bisik-bisik yang jelas dapat ditangkap oleh telinga Roy.
Sementara ia masih duduk dengan tangan mengepal, di sisinya masih ada produser
yang membereskan beberapa lembaran materi rapat.
“Jadi sekarang kita perlu membahas
tentang agitasi dan provokasi?” dengus lelaki berkacamata itu kepada Roy yang
masih menunduk. “Ada apa denganmu, Roy?” Tanpa perlu mendapat jawaban, ia melangkah
ke luar ruangan meninggalkan Roy sendirian.
Hamdan Royenza, adalah seorang
presenter berita televisi dari saluran Kontra17,
yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menyajikan sebuah berita.
Tajam, akurat, berimbang, dan penuh ekspresi serta komentar-komentar pedas dan
berani yang keluar dari bibirnya membuat ia semakin digemari khalayak ramai.
Rating program berita yang ia bawakan meroket sampai ke puncak tingkatan. Bahkan
setahun setelah ia menjadi penyiar berita di saluran televisi tersebut ia
berhasil menyabet penghargaan sebagai Presenter Berita Terbaik. Sebuah prestasi
yang membanggakan baginya. Selain itu ia juga menjadi pembicara di
kampus-kampus sebagai bentuk memotivasi generasi penerus bangsa agar tak salah
langkah seperti beberapa pejabat negara yang diberi kuasa malah
menyelewengkannya. Ia mengatakan dengan penuh semangat berapi sebagai seorang
ahli penyaji berita, “Tidak ada rakyat yang bodoh sejatinya, yang bodoh itu
orang-orang yang mengaku bagian dari rakyat!”
Tapi belakangan ini entah kenapa ia
merasa bahwa sesuatu mengusik ketenangan hidupnya. Ia merasa ada yang salah. Ini seperti
kecenderungan ketika seseorang berhasil melakukan pencapaian tertinggi dari
keinginannya, mulai bosan ingin melakukan hal yang segar agar tak menjemukan.
Terlebih ketika ia harus berbicara, memberi komentar pada tiap berita yang ia
bawakan. Meski itu yang dinanti oleh pemirsanya, tapi kini ia merasa bahwa
melebih-lebihkan sebuah berita juga tak baik untuk sebuah kelangsungan hidup.
Baik dari korban pemberitaan juga bagi dirinya yang melakukan pemberitaan. Ini
salah satu tantangan- mungkin juga apresiasi- baginya selama di Kontra17, ia menjadi ikon yang
menjanjikan untuk masyarakat menonton tayangan berita mereka. Tapi perlu
diingat, bahwa tak semua yang ia bicarakan disukai oleh berbagai kalangan. Ada
kelompok tertentu yang pasti amat muak dan marah padanya. Dan itu telah
terbukti dengan adanya surat ancaman dari seseorang yang dia sengaja rahasiakan dari semua teman di redaksi. Surat
itu ia terima melalui pos langsung ke rumahnya. Isinya membuat bulu kuduk
berdiri, menakutkan. Selain itu,
padatnya jadwal, membuat ia sering melupakan seseorang yang menjadi teman
hidupnya. Gayatri. Ini semakin membuat ia bosan.
Roy masih bergeming di ruangan itu.
Menunduk dan memukul-mukul pelan meja kaca.
***
Ia memutuskan untuk mengambil libur
sehari. Meminta rekan yang lain menggantikannya siaran langsung. Di rumah ia hanya duduk seharian di
sofa menonton siaran berita dari channel yang lain. Bahkan dari pagi ia belum
mandi. Meski sudah sarapan, istrinya sudah pergi bersama teman-temanya untuk
berkumpul dan bergosip, meniru suaminya yang terkenal. Ia tampak bosan dan
butuh suasana yang menggembirakan.
Pukul 11 akhirnya istrinya pulang, Roy
masih duduk di depan televisi. Wajahnya sama kusutnya sejak ia terbangun.
“Astaga, kamu masih seperti ini,
Sayang?” seru istrinya mengerutkan kening sambil tersenyum dan mengempaskan
tubuhnya yang sintal di sofa bersamanya. “Mandi sana, sebentar lagi kusiapkan
makan siang.”
Tak banyak bicara Roy menuruti kata
istrinya. Tapi sesusai ia bebersih diri
ia kembali duduk terkulai di depan televisi. Pandangannya masih kusut mengingat
banyaknya tekanan dan surat ancaman yang dirahasiakannya rapat bahkan dari
Gayatri, istrinya.
“Sayang, kamu sakit?” tanya istrinya
sembari meletakkan punggung tangannya ke pipi Roy. “Tapi semuanya tampak
baik-baik saja. Ada apa? Ada masalah, ceritalah padaku. Jangan diam begitu, aku
jadi makin tidak ngerti keadaanmu.”
Roy masih diam, ia hanya sekali
memandang Gayatri. Selebihnya ia habiskan pada siaran berita televisi yang
terus diganti. Kali ini berita di televisi mengangkat berita tentang seorang
ketua gangster yang dihakimi massa.
“Hmm…Sayang, bagaimana kalau kita
liburan ke pantai saja?” ajak istrinya antusias. “Teman-temanku mengadakan
liburan keluarga. Kita bisa kumpul-kumpul dan berpesta. Jadi kamu nggak sekusut ini, kan?”
Roy mendesah. “Sayang, kamu boleh ke
mana saja yang kamu inginkan. Tapi aku cuma ingin tidur di rumah dan menikmati
rehat yang berharga ini,” jawab Roy. Seketika ia tekan tombol off dan beranjak
meninggalkan istrinya yang terbengong.
Gayatri menjadi sensitif dengan sikap
suaminya yang jarang di rumah itu. Ia menjadi emosi dan matanya mulai
berkaca-kaca. Ia menunjukkan kepeduliannya sebagai istri kepada suami yang tak
baik suasana hatinya. Malah diperlakukan demikian. Bicara sekali lalu tidak
diacuhkan.
“Rooyyy!” pekiknya, “apa ini yang
disebut komunikasi!” Ia lempar bantal sofa ketika Roy menutup pintu kamar.
“Semenjak bekerja di sana dan populer
kamu mulai lupa semuanya. Bahkan ketika aku sengaja habiskan uang untuk belanja
yang sesungguhnya barang tidak penting kamu pun tidak peduli. Kamu tahu, Roy,
hidup itu tak boleh dihabiskan hanya dengan memberi komentar pada kehidupan
orang lain!” sindir Gayatri dalam omelannya pada profesi Roy. Daripada ia
semakin emosi, diambilnya tas yang berada di dekatnya dan bergegas membanting
pintu dari luar. Terdengar ia menelepon seseorang untuk bertemu
***
Roy sudah berusaha menenangkan dirinya.
Ia membiarkan istrinya pulang ke rumah orang tuanya. Entah seperti apa
kelanjutan rumah tangganya ia akan bicara baik-baik pada mertuanya. Namun
sayang, satu hal yang ingin ia ubah belum bisa terwujud. Ia sudah berpikir
masak untuk berhenti jadi penyiar berita dan memilih jadi wartawan biasa. Tapi
produsernya menolak hal itu. Keputusan Roy dapat berdampak buruk bagi
kelangsungan program berita yang selalu mendapat rating nomor satu itu, juga
untuk Kontra17. Saluran yang khusus
menyiarkan pemberitaan saja.
Roy semakin tertekan. Selepas menyiarkan
berita secara agresif tapi penuh kepalsuan, ia segera menemui produsenya. Meski
mendapat pertentangan dan perdebatan ia tak peduli. Ia hanya ingin kedamaaian.
Dengan marah ia layangkan surat pengunduran diri dan bergegas meninggalkan
gedung kantor. Ia ingin segera meminta maaf pada Gayatri, istrinya yang tengah
terluka karenanya.
Namun, tak pernah ia sangka dalam
hidupnya akan terjadi demikian, belum sempat ia membuka pintu mobil tiba-tiba
muncul empat pria bertubuh besar yang dengan kasar memukul tengkuk dan
wajahnya, membuat ia terlempar. Ia ingin berteriak meminta tolong tapi yang
lain segera membekap mulutnya dengan sebuah penutup kepala hitam sementara satunya
mengambil paksa kunci mobilnya. Tak ada siapa-siapa di garasi besar itu kecuali
dia dan empat pria bertubuh raksasa. Ini memang belum jam pulang. Melawan pun
ia tak berdaya. Ia diseret, beberapa kali kepalanya dipukul hingga ia tak
sadarkan diri lagi. Ia sempat bertanya-tanya sendiri dalam kesakitannya,
mungkinkah ini ancaman yang dimaksud itu? Tapi siapa?
***
Beberapa hari setelah itu, siaran
berita di Kontra17 menjadi yang
paling banyak ditonton. Bagaimana tidak, berita menghilangnya presenter berita
ternama Hamdan Royenza tentu sangat penting untuk dipublikasikan. Tak hanya
dari Kontra17, stasiun berita lain
pun secara berjamaah mengekspos berita ini dengan sangat detail. Para penyaji
berita, pejabat, selebriti, bahkan rakyat jelata beramai-ramai membicarakan
kabar mengejutkan ini. Mereka berdiskusi, menganalisis, dan berandai-andai
dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Semua yang mengenal Roy
menjadi narasumber dan mendadak populer wara-wiri di layar kaca. Begitu pun
dengan Gayatri, ia justru menjadi orang yang paling tidak mau diwawancarai. Ia
menangis terus menerus. Hatinya penuh kecemasan dan rasa sesal yang membuncah.
Seharusnya ia tak pernah meninggalkan Roy.
Sepekan berlalu Roy tak juga kembali.
Tentu saja, bahkan tak pernah ada yang tahu kecuali kita yang membaca kisah ini
bahwa Roy telah tewas ditembak mati oleh sekelompok orang yang tidak dikenal.
Ia ada di suatu tempat, tubuhnya telah bersatu dengan alam. Tapi siapakah orang
yang tega membunuh Roy? Apakah orang yang paling membencinya, ataukah rekan
kerjanya sendiri di Kontra17?
***