CERPEN

Sunday, February 11, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_AGITASI


AGITASI
Oleh: M.Z. Billal

Matanya ditutup sejak ia dibawa paksa ke tempat terbuka itu, sementara kaki dan tangannya diikat kuat. Ia bisa merasakan bebatuan dan angin dingin yang menderanya di tempatnya bersimpuh. Tahu-tahu saja sebuah peluru panas menembus dada kirinya. Tak lantas mati, ia masih bisa mendengar beberapa percakapan meski tak terlalu jelas dengan rasa sakit yang tak terlukiskan di sekujur tubuhnya. Peluru itu meleset beberapa senti dari jantungnya mengenai organ yang lain. Ia tak berteriak, hanya mengerang pelan dan merasakan betapa basahnya piyama yang ia kenakan oleh darahnya sendiri dan merasakan kepalanya berdenyut parah. Ia mulai menggigil. Dan lagi, tahu-tahu sebuah sepatu berbahan keras menendang kuat dada yang lain membuatnya terlempar dan  berguling ke belakang lalu terjun ke bawah. Ia merasakan tubuhnya melayang seperti dalam perut ibunya yang dulu menjadikannya, ia tak bisa melihat, hanya rasa sakit itu mengantarkannya pada ingatan yang perlahan mulai hilang dalam ketiadaan.
***
“Apa harus melulu tentang sensasi, fenomenal, dan keuntungan? Aku mulai bosan dengan keadaan seperti ini. Ini benar-benar sebuah provokasi, sebuah hasutan, menghancurkan negara!” serunya di sela-sela rapat redaksi yang riuh oleh topik-topik panas yang rencananya akan disiarkan di saluran berita televisi.

Semua yang ada di sana memandang Roy yang memberengut. Tampak sekali ia jengkel. Rapat menjadi tegang tak seceria saat mereka berkumpul dan bercanda ketika mengobrol soal program berita di saluran telvisi lain. Seorang di antaranya, sang produser, berdeham untuk mengalihkan emosi Roy dengan berkata, “Rapat hari ini selesai, silakan kembali ke ruangan masing-masing. Dan… Roy, bukankah sebentar lagi ada Breaking News yang harus kamu bawakan?”

Anggota rapat redaksi mulai ke luar ruangan dengan bisik-bisik yang jelas dapat ditangkap oleh telinga Roy. Sementara ia masih duduk dengan tangan mengepal, di sisinya masih ada produser yang membereskan beberapa lembaran materi rapat.

“Jadi sekarang kita perlu membahas tentang agitasi dan provokasi?” dengus lelaki berkacamata itu kepada Roy yang masih menunduk. “Ada apa denganmu, Roy?” Tanpa perlu mendapat jawaban, ia melangkah ke luar ruangan meninggalkan Roy sendirian.

Hamdan Royenza, adalah seorang presenter berita televisi dari saluran Kontra17, yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menyajikan sebuah berita. Tajam, akurat, berimbang, dan penuh ekspresi serta komentar-komentar pedas dan berani yang keluar dari bibirnya membuat ia semakin digemari khalayak ramai. Rating program berita yang ia bawakan meroket sampai ke puncak tingkatan. Bahkan setahun setelah ia menjadi penyiar berita di saluran televisi tersebut ia berhasil menyabet penghargaan sebagai Presenter Berita Terbaik. Sebuah prestasi yang membanggakan baginya. Selain itu ia juga menjadi pembicara di kampus-kampus sebagai bentuk memotivasi generasi penerus bangsa agar tak salah langkah seperti beberapa pejabat negara yang diberi kuasa malah menyelewengkannya. Ia mengatakan dengan penuh semangat berapi sebagai seorang ahli penyaji berita, “Tidak ada rakyat yang bodoh sejatinya, yang bodoh itu orang-orang yang mengaku bagian dari rakyat!”

Tapi belakangan ini entah kenapa ia merasa bahwa sesuatu mengusik ketenangan hidupnya.  Ia merasa ada yang salah. Ini seperti kecenderungan ketika seseorang berhasil melakukan pencapaian tertinggi dari keinginannya, mulai bosan ingin melakukan hal yang segar agar tak menjemukan. Terlebih ketika ia harus berbicara, memberi komentar pada tiap berita yang ia bawakan. Meski itu yang dinanti oleh pemirsanya, tapi kini ia merasa bahwa melebih-lebihkan sebuah berita juga tak baik untuk sebuah kelangsungan hidup. Baik dari korban pemberitaan juga bagi dirinya yang melakukan pemberitaan. Ini salah satu tantangan- mungkin juga apresiasi- baginya selama di Kontra17, ia menjadi ikon yang menjanjikan untuk masyarakat menonton tayangan berita mereka. Tapi perlu diingat, bahwa tak semua yang ia bicarakan disukai oleh berbagai kalangan. Ada kelompok tertentu yang pasti amat muak dan marah padanya. Dan itu telah terbukti dengan adanya surat ancaman dari seseorang yang dia sengaja  rahasiakan dari semua teman di redaksi. Surat itu ia terima melalui pos langsung ke rumahnya. Isinya membuat bulu kuduk berdiri, menakutkan.  Selain itu, padatnya jadwal, membuat ia sering melupakan seseorang yang menjadi teman hidupnya. Gayatri. Ini semakin membuat ia bosan.

Roy masih bergeming di ruangan itu. Menunduk dan memukul-mukul pelan meja kaca.
***
Ia memutuskan untuk mengambil libur sehari. Meminta rekan yang lain menggantikannya siaran  langsung. Di rumah ia hanya duduk seharian di sofa menonton siaran berita dari channel yang lain. Bahkan dari pagi ia belum mandi. Meski sudah sarapan, istrinya sudah pergi bersama teman-temanya untuk berkumpul dan bergosip, meniru suaminya yang terkenal. Ia tampak bosan dan butuh suasana yang menggembirakan.

Pukul 11 akhirnya istrinya pulang, Roy masih duduk di depan televisi. Wajahnya sama kusutnya sejak ia terbangun.

“Astaga, kamu masih seperti ini, Sayang?” seru istrinya mengerutkan kening sambil tersenyum dan mengempaskan tubuhnya yang sintal di sofa bersamanya. “Mandi sana, sebentar lagi kusiapkan makan siang.”

Tak banyak bicara Roy menuruti kata istrinya.  Tapi sesusai ia bebersih diri ia kembali duduk terkulai di depan televisi. Pandangannya masih kusut mengingat banyaknya tekanan dan surat ancaman yang dirahasiakannya rapat bahkan dari Gayatri, istrinya.

“Sayang, kamu sakit?” tanya istrinya sembari meletakkan punggung tangannya ke pipi Roy. “Tapi semuanya tampak baik-baik saja. Ada apa? Ada masalah, ceritalah padaku. Jangan diam begitu, aku jadi makin tidak ngerti keadaanmu.”

Roy masih diam, ia hanya sekali memandang Gayatri. Selebihnya ia habiskan pada siaran berita televisi yang terus diganti. Kali ini berita di televisi mengangkat berita tentang seorang ketua gangster yang dihakimi massa.

“Hmm…Sayang, bagaimana kalau kita liburan ke pantai saja?” ajak istrinya antusias. “Teman-temanku mengadakan liburan keluarga. Kita bisa kumpul-kumpul dan berpesta. Jadi kamu nggak sekusut ini, kan?”

Roy mendesah. “Sayang, kamu boleh ke mana saja yang kamu inginkan. Tapi aku cuma ingin tidur di rumah dan menikmati rehat yang berharga ini,” jawab Roy. Seketika ia tekan tombol off dan beranjak meninggalkan istrinya yang terbengong.

Gayatri menjadi sensitif dengan sikap suaminya yang jarang di rumah itu. Ia menjadi emosi dan matanya mulai berkaca-kaca. Ia menunjukkan kepeduliannya sebagai istri kepada suami yang tak baik suasana hatinya. Malah diperlakukan demikian. Bicara sekali lalu tidak diacuhkan.

“Rooyyy!” pekiknya, “apa ini yang disebut komunikasi!” Ia lempar bantal sofa ketika Roy menutup pintu kamar.

“Semenjak bekerja di sana dan populer kamu mulai lupa semuanya. Bahkan ketika aku sengaja habiskan uang untuk belanja yang sesungguhnya barang tidak penting kamu pun tidak peduli. Kamu tahu, Roy, hidup itu tak boleh dihabiskan hanya dengan memberi komentar pada kehidupan orang lain!” sindir Gayatri dalam omelannya pada profesi Roy. Daripada ia semakin emosi, diambilnya tas yang berada di dekatnya dan bergegas membanting pintu dari luar. Terdengar ia menelepon seseorang untuk bertemu

***
Roy sudah berusaha menenangkan dirinya. Ia membiarkan istrinya pulang ke rumah orang tuanya. Entah seperti apa kelanjutan rumah tangganya ia akan bicara baik-baik pada mertuanya. Namun sayang, satu hal yang ingin ia ubah belum bisa terwujud. Ia sudah berpikir masak untuk berhenti jadi penyiar berita dan memilih jadi wartawan biasa. Tapi produsernya menolak hal itu. Keputusan Roy dapat berdampak buruk bagi kelangsungan program berita yang selalu mendapat rating nomor satu itu, juga untuk Kontra17. Saluran yang khusus menyiarkan pemberitaan saja.

Roy semakin tertekan. Selepas menyiarkan berita secara agresif tapi penuh kepalsuan, ia segera menemui produsenya. Meski mendapat pertentangan dan perdebatan ia tak peduli. Ia hanya ingin kedamaaian. Dengan marah ia layangkan surat pengunduran diri dan bergegas meninggalkan gedung kantor. Ia ingin segera meminta maaf pada Gayatri, istrinya yang tengah terluka karenanya.

Namun, tak pernah ia sangka dalam hidupnya akan terjadi demikian, belum sempat ia membuka pintu mobil tiba-tiba muncul empat pria bertubuh besar yang dengan kasar memukul tengkuk dan wajahnya, membuat ia terlempar. Ia ingin berteriak meminta tolong tapi yang lain segera membekap mulutnya dengan sebuah penutup kepala hitam sementara satunya mengambil paksa kunci mobilnya. Tak ada siapa-siapa di garasi besar itu kecuali dia dan empat pria bertubuh raksasa. Ini memang belum jam pulang. Melawan pun ia tak berdaya. Ia diseret, beberapa kali kepalanya dipukul hingga ia tak sadarkan diri lagi. Ia sempat bertanya-tanya sendiri dalam kesakitannya, mungkinkah ini ancaman yang dimaksud itu? Tapi siapa?

***
Beberapa hari setelah itu, siaran berita di Kontra17 menjadi yang paling banyak ditonton. Bagaimana tidak, berita menghilangnya presenter berita ternama Hamdan Royenza tentu sangat penting untuk dipublikasikan. Tak hanya dari Kontra17, stasiun berita lain pun secara berjamaah mengekspos berita ini dengan sangat detail. Para penyaji berita, pejabat, selebriti, bahkan rakyat jelata beramai-ramai membicarakan kabar mengejutkan ini. Mereka berdiskusi, menganalisis, dan berandai-andai dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Semua yang mengenal Roy menjadi narasumber dan mendadak populer wara-wiri di layar kaca. Begitu pun dengan Gayatri, ia justru menjadi orang yang paling tidak mau diwawancarai. Ia menangis terus menerus. Hatinya penuh kecemasan dan rasa sesal yang membuncah. Seharusnya ia tak pernah meninggalkan Roy.

Sepekan berlalu Roy tak juga kembali. Tentu saja, bahkan tak pernah ada yang tahu kecuali kita yang membaca kisah ini bahwa Roy telah tewas ditembak mati oleh sekelompok orang yang tidak dikenal. Ia ada di suatu tempat, tubuhnya telah bersatu dengan alam. Tapi siapakah orang yang tega membunuh Roy? Apakah orang yang paling membencinya, ataukah rekan kerjanya sendiri di Kontra17?

***

Wednesday, February 7, 2018

CERPEN M.Z. BILLAL_PERI-PERI YANG TERBAKAR









Peri-Peri Yang Terbakar
Oleh : M.Z. Billal
Semua larangan keras tampaknya tak juga diindahkan oleh para pembakar hutan itu. Mereka tetap menyulut api dan menjadikannya ular raksasa yang memangsa hijaunya hutan yang dihuni oleh ratusan spesies tanaman dan hewan. Demi keuntungan mereka, secara sadar, mengorbankan banyak hal bahkan telah menyakiti rumah mereka sendiri. Mereka bukan manusia meski Tuhan juga yang menciptakan mereka.  Mereka adalah bangsa Pemuja Api. Yang mereka anggap sebagai penguasa alam semesta adalah Ivret dengan tunggangannya seekor ular api raksasa bernama Rhas yang gemar memakan keindahan dan kedamaian. Ivret memiliki kerajaan yang tersebar dimana-mana di negeri ini.  Hamba-hambanya juga tak sedikit. Jangan mudah tertipu, bahkan yang bermuka manis sekali pun bisa jadi adalah pemuja Ivret yang mereka sebut Sang Agung.
Begitu pun yang terjadi di Hutan Indragiri. Para pemuja Ivret juga melancarkan segala cara agar dapat memberikan kurban bukti ketaatan pada Yang Mulia mereka. Mereka merapal mantra memanggil Rhas untuk segera menelan keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri.  Pohon-pohon, satwa, dan udara di sana berteriak oleh napas kebengisan Rhas. Juga dengan Tujuh Peri Penjaga keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Mereka yang mencintai Hutan Indragiri dengan segala jiwa mereka merasa sangat tersakiti. Mereka terluka karena tak kuasa melawan Rhas yang liar dan membabibuta.
Sanuda si Peri Pengatur Tanaman, Sfanunna  si Peri Pengatur Hewan, dan Sahata si Peri  Pengatur Tanah adalah yang paling terluka. Sayap-sayap mereka terbakar. Sehingga mereka harus berlari sekuat tenaga untuk menghindari semburan api Rhas. Kekuatan Mengatur mereka jadi tak berguna tanpa sayap. Sementara itu Sanhutah si Peri Pengatur Cahaya dan Sahima si Peri Pengatur Suhu, meski sayap mereka masih baik-baik saja, tetapi tubuh mereka terempas retih-retih besar api. Membuat nasib keduanya tak berbeda dengan tiga peri penjaga lainnya. Kekuatan mereka pun tak seberapa untuk melawan Rhas. Yang cukup beruntung adalah Saura si Peri Pengatur Air dan Sangina si Peri Pengatur Angin. Saura dengan segala kemampuannya mengatur air segera menciptakan sebuah pusaran besar air yang ia panggil dari aliran kecil, kanal, telaga, dan sungai. Dibantu Sangina yang menciptakan angin besar yang mendorong pusaran air ciptaan Saura untuk melawan kobaran api Rhas yang merajalela tak kenal ampun. Sangina juga tak bisa berbuat banyak kecuali membantu Saura. Karena angin yang ia atur dapat dimanfaatkan oleh Rhas bila angin tersebut berbanding kecil dengan nyala api Rhas. Malam itu adalah perjuangan paling besar yang dilakukan Tujuh Peri Penjaga Hutan Indragiri untuk menyelamatkan rumah mereka agar tetap terjaga keseimbangan alam.
Seberapa pun rusak dan hancurnya Hutan Indragiri mereka harus tetap hidup. Berkumpul untuk menyatukan kekuatan dan memulai lagi membangun keindahan dan kedamaian Hutan Indragiri. Tak ada jalan lain, melawan kerakusan Rhas yang terkutuk itu sama dengan mengorbankan diri untuk kehancuran abadi.  Ivret juga tak akan membiarkan peliharaannya itu kalah.
Pada akhirnya, Tujuh Peri yang malang itu memutuskan untuk  saling membantu dan menjauhi hutan sementara. Mereka akan menemui Tuk Jae, pria yang kenal seluk-beluk Hutan Indragiri sekaligus penghubung antara manusia yang mencintai alam dengan para Peri Penjaga Hutan tersebut. Tuk Jae dahulu tinggal di tepi hutan paling hening, tetapi karena kebaikannya ia diterima oleh manusia-manusia yang tinggal di pemukiman. Jaraknya cukup jauh bagi para peri yang terbakar
***
Tuk Jae segera menyiapkan tempat yang nyaman bagi ke tujuh peri yang terbakar di dalam rumahnya. Ia tampak sibuk dan gugup karena kehadiran para peri benar-benar tanpa diduga. Terlebih kondisi peri-peri tersebut mengenaskan. Mereka penuh luka bakar bahkan kehilangan sayap dan kekuatan. Jika saja para peri memberi kabar kunjungan mereka, barangkali Tuk Jae bisa mempersiapkan jauh lebih baik dari saat ini.
“Kau tak perlu repot-repot, Tuk,” ujar Sfanunna sambil membersihkan tubuh mungilnya yang hitam karena abu. “Kami kemari untuk membicarakan hal yang serius.”
“Kami benar-benar tak menyangka bahwa malam ini Ivret dan Rhas menyerang Hutan Indragiri,” tambah Sanhutah yang duduk di kayu kecil beraroma wangi. “Itu semua karena mereka, yang memujanya!”
Tuk Jae menundukkan kepala, tampak sedih dan menyesal. Ia seharusnya tahu apa yang terjadi. Tapi semenjak tinggal di pemukiman ia jadi jarang mengunjungi Para Peri. Itu semua ia lakukan agar ia tak disebut sebagai penyembah setan, sebab para peri penjaga ini bukanlah setan. Para peri pun menyetujui keinginan Tuk Jae waktu itu. Jadi ia tak menyalahkan Tuk Jae.
“Kau tak perlu merasa bersalah, Tuk.” Sanuda mendekati Tuk Jae dan mengelus punggung tangannya yang keriput. Sanuda adalah peri yang paling bermurah hati. “Kami datang ke sini tidak memintamu mempertanggungjawabkan keadaan. Kami membutuhkan bantuanmu. Percayalah. Walau kami adalah peri, kami sangat membutuhkan bantuan para manusia yang juga mencintai alam.”
Tuk Jae memandang wajah para peri satu persatu, mereka tetap cantik dan ajaib meski kondisi mereka memperihatinkan. Mengenal mereka adalah sebuah kekaguman luar biasa, apalagi dapat membantu mereka tentu itu akan sangat membahagiakan lagi. Tapi Tuk Jae tampak ragu.
“Tuan Putri, Ivret terlalu kuat untuk dapat dikalahkan. Rhas, peliharaannya adalah makhluk paling rakus memangsa keindahan dan kedamaian. Ia semakin lapar jika melihat bentangan keindahan dan kedamaian itu di negeri ini. Kudengar dan kulihat beritanya, Rhas membantuk sebuah negeri untuk memusnahkan negeri yang lain di luar sana atas perintah Ivret. Bahkan anak-anak tak berdosa pun lahap ia makan,” kata Tuk Jae. “Jadi kita yang tak terlalu kuat ini, apalagi para pemuja Ivret yang saat ini sulit dibedakan, apakah bisa mengalahkannya?”
“Kita tak boleh putus asa, Tuk!” seru Sangina yang sejak tadi menciptakan angin kecil untuk membantu yang lain membersihkan diri. “Kita semua sama, kita adalah ciptaan Tuhan Yang Agung. Mungkin manusia kerap salah paham tentang keberadaan kami sebagai Peri Penjaga Hutan Indragiri. Begitu pun dengan Ivret dan Rhas, mereka bukan penguasa alam semesta itu! Para pemujanya keliru memahami. Kita hanya perlu bersatu untuk mengalahkannya. Saura tahu kelemahan Ivret! Iya kan?” Sangina memandang Saura yang sejak kedatangan memilih untuk tak banyak bicara.
Saura berdiri dan sedikit melayang ketika menghampiri Tuk Jae. Wajahnya tampak murung. Mungkin seharusnya ia bisa melawan kobaran Api Rhas dengan kekuatannya sebagai Pengatur Air. Tapi kondisi pada waktu itu membuatnya kehilangan banyak tenaga. Dengan lirih ia mulai menjelaskan.
“Sangina benar, selama ini aku terlalu menutup rahasia,” katanya. “Sesungguhnya nenek moyangku dan Ivret adalah teman baik. Bangsa kami diciptakan Tuhan bersama-sama. Sebagai rekan yang saling melengkapi. Kami tumbuh menjadi pribadi yang damai. Tapi Ivret, semakin ia tumbuh menjadi Pengatur Api, semakin pula ia berambisi untuk menguasai semesta. Ia mempelajari rahasia api yang dianugerahkan Tuhan padanya.  Tentu, semakin ia mendapatkan jawaban ia semakin sombong. Rhas adalah ular yang terlahir dari amarahnya. Bersamanya ia menggoda dan membakar hati manusia untuk membangkang pada kedamaian Tuhan, hingga ia berhasil mendapatkan pemuja yang begitu banyak.  Itu sebabnya, aku dan seluruh Pengatur Air disebar untuk membantu manusia ketika Ivret menyerang,” jelasnya, berhenti sejenak menghela napas. “Tapi Ivret punya dua kelemahan. Pertama, Ivret takut pada kekuatan manusia yang melawannya. Kedua, Ivret takut pada pemujanya yang membangkang. Andai saja, para pemuja itu tahu bahwa ia bisa lebih kuat dari Ivret. Tapi sayang, Ivret selalu mengabulkan doa-doa mereka yang busuk, sehingga mereka lemah dan menurut!”
Saura meneteskan air mata saat menutup ceritanya. Dia kembali melayang ke tempat ia duduk. Semua hening dalam rasa sakit. Sanuda, Sfanunna, Sahata, Sanhutah, Sahima, Sangina, dan Saura, juga Tuk Jae. Mereka sedang berpikir untuk melawan. Menemukan sekutu ataupun membujuk para pemuja Ivret untuk membangkang. Api bukanlah sesuatu yang terkutuk. Ia hanya perlu dikendalikan.
“Baiklah,” kata Tuk Jae seraya berdiri dan berjalan ke arah jendela lalu membukanya. Tampak segaris jingga di Timur sebagai penanda pagi telah menyingsing. “Hutan tak semudah tumbuh dengan sekali lambaian tangan para peri. Ia harus dijaga dan dipertahankan. Tuan Putri Saura dan semuanya, kita akan merencanakan pembalasan ini. Kita akan membuat Ivret menyesalinya. Demi Tuhan dan kalian, Para Peri Penjaga Hutan Indragiri yang terbakar!”
***

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate