CERPEN

Monday, February 25, 2019

Kisah Sebuah Dongeng Oleh M.Z. Billal




            Ini kisah yang umum. Tapi rasanya kau perlu tahu tentang cerita yang akan kusampaikan kali ini. Agar kau mengerti tentang sesuatu yang bisa kau pahami ketika usai membacanya.

            Beginilah kisahnya…

Di negeri yang jauh, di atas bukit berangin yang hanya beberapa pohon peneduh tumbuh di puncaknya, hidup sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang wanita dewasa berparas cantik yang berperan sebagai ibu sekaligus orang tua tunggal dan tiga orang anak yang masing-masing bernama Kal, Maw, dan Herok.

Kal adalah seorang pemuda berwajah tampan. Ia paling tua. Umurnya kira-kira enam belas tahun. Ia bekerja di kebun sayur yang ia olah sendiri bersama adik bungsunya. Sementara Maw adalah gadis yang jelita. Ia anak kedua. Umurnya sekitar empat belas tahun. Ialah yang membantu pekerjaan ibunya di rumah dan mencari kayu bakar ketika Kal pergi ke desa di kaki bukit untuk berjualan sayuran hasil kebun di pekarangan rumah bersama adiknya, Herok.

Herok sendiri adalah seorang bocah lelaki yang beranjak remaja. Ia anak terakhir atau yang ketiga. Ia berumur dua belas tahun. Sebetulnya ia adalah anak yang manja dan paling disayang. Tanda lahir berbentuk bulan sabit pada leher sebelah kanannya adalah ciri khas yang dimilikinya. Orang-orang selalu memuji tanda lahir yang unik tersebut. Namun karena hidup keluarga kecil ini mendadak berubah ketika ayah yang menjadi kepala keluarga meninggal dunia tersebab sakit parah, maka ia harus ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beruntung kakaknya, Kal, adalah kakak yang baik. Ia mengajak adiknya itu untuk bekerja sama mengolah tanah kosong. Hingga kemudian keduanya berhasil menjadi petani yang menjual banyak sayuran di pasar desa di kaki bukit, dan mendapat pujian dari warga di sana karena sayuran yang mereka jual segar dan menyehatkan.

Namun pada suatu pagi yang mendung, Kal sangat murka. Ia berteriak, marah, dan bersumpah serapah di luar rumah. Terdengar sesekali ia meratap seperti hendak menangis. Membuat ibu beserta kedua adiknya yang baru saja selesai sarapan berhambur ke luar rumah. Mereka ingin tahu apa yang telah membuat Kal begitu marah juga sedih.

“Ada apa, Kal?” tanya ibunya.

“Lihatlah, Bu!” Kal menunjuk ke arah kebun sayurnya yang porak-poranda, lalu bersimpuh karena tak kuasa menyaksikan pemandangan kebun sayurnya pagi itu.

Ibunya terperangah dan langsung membekap mulut dengan kedua tangannya. Sementara itu Maw yang spontan memeluk ibunya, Herok malah berlari sambil menjerit-jerit ke arah kebun sayur kesayangannya, meremas-remas rambutnya yang ikal seperti orang gila.

“Tidaaaaaak!” teriak Herok dalam tangisnya. “Siapa yang telah melakukan ini? Kenapa begitu tega? Kejaaaaam!”

Kal masih tak bisa berkata apa-apa. Ia masih membatu dalam simpuhnya. Matanya terus tertumbuk hampa pada kebun sayur miliknya yang kini tak lagi serupa kebun. Ia juga membiarkan Herok yang pada akhirnya ikut marah dan mengeluarkan sumpah serapah.  Ia tampak seperti pasrah dan lemah, namun dalam hatinya membara api kemarahan yang besar sampai kepada retina matanya yang cokelat. Di matanya tersulut api murka yang menyala terang meski kesedihan yang sedingin es juga sama beratnya menggantung di sana. Ia sedih dan bingung, entah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Sebab sayuran tak tumbuh begitu saja seperti sekali lambaian tangan para peri.

Kal terus memikirkan bagian itu. Hingga kemudian ia bergegas bangkit dari simpuhnya ketika Herok berhenti memaki dan kini malah meneriaki namanya berkali-kali seperti ingin memberitahunya sesuatu.

“Kal! Kal! Kemarilah, lihat sini! Aku menemukan sesuatu. Ini sangat aneh!”
Kal mempercepat langkahnya, disusul ibu dan adik perempuannnya, Maw, dari belakang. Dan ketika ia telah berada di sisi Herok, matanya langsung nyalang pada sesuatu yang ditunjuk adiknya itu. Ia mellihat begitu banyak lubang besar dan lebar yang bertebaran di dalam areal kebun, yang jika diperhatikan lebih mirip jejak kaki yang aneh. Jejak yang sebelumnya tidak pernah ada di bukit berangin itu.

“Jejak apa itu, Kal?” tanya Maw, ikut menelusuri permukaan jejak-jejak aneh tersebut.

“Itu jejak kaki binatang buas,” sahut Herok menduga dengan sangat yakin. “Sekarang kita dalam bahaya!”

“Binatang buas apa?” balas Maw balik bertanya. “Harimau tak mungkin memorak-porandakan kebun sayuran. Kalau pun itu babi hutan, ukuran kakinya tak mungkin sebesar itu!”

Kakak beradik itu pun terus menyelidiki jejak-jejak kaki aneh tersebut. Maw dan Herok mengeluarkan pendapatnya masing-masing, berganti-ganti, berusaha menemukan jawaban yang paling masuk akal. Sementara itu, Kal berusaha tetap tenang seraya menyusuri jejak yang mengular sampai ke tepi bukit bagian Timur yang paling curam.

“Jejak itu bermula dari sini!” seru Kal. “Aku menduga ini bukan binatang bahkan yang paling buas sekali pun. Tak ada binatang yang bisa mendaki tepi bukit yang curam ini kecuali kawanan kera.”

“Lalu apa?” tanya Maw dan Herok, teriak bersamaan sambil berlari menghampiri Kal di tepi bukit. Meninggalkan ibu mereka yang berdiri tanpa bicara namun wajahnya tampak begitu cemas di dekat kebun yang hancur. “Lalu apa, Kal?” ulang Maw.

“Ini makhluk yang tak wajar,” desis Kal memberitahu kedua adiknya. “Ini belum pernah terjadi. Memang bukan binatang buas, tapi aku setuju yang dikatakan Herok, kalau kita dalam bahaya. Bahkan bukan hanya kita. Para penduduk desa di kaki bukit pun juga dalam bahaya.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan, Kal?” Maw buru-buru bertanya. “Apa kita harus turun untuk memberitahu para penduduk?”

“Kupikir demikian. Lagi pula aku juga harus memberitahu mereka bahwa dalam beberapa waktu aku tak bisa menjual sayuran kepada mereka.” Wajah Kal berubah sedih.

“Kalau begitu, ayo!” Herok tampak begitu semangat untuk bergegas turun ke kaki bukit. Sepertinya ia tak sabar ingin bertemu para pelanggan yang biasa memuji kebaikannya.

“Baiklah!”

Lalu ketiga kakak-beradik tersebut berlari ke arah ibu mereka yang semakin cemas dengan tangan yang tampak saling meremas. Mereka hendak meminta izin turun ke kaki bukit.

“Jangan bilang kalau kalian akan turun ke kaki bukit!” sergah ibu mereka. “Aku tidak akan mengizinkannya!”

“Kenapa, Bu?” tanya Maw kecewa. “Ini masalah darurat!”

“Tidak ada yang darurat,” potong ibu, menarik napas untuk melonggarkan dadanya yang terasa sesak. “Dan tidak ada yang boleh turun. Sebaiknya kita terus berada di dalam rumah.”

Kal, Maw, dan Herok terdiam. Ketiganya paling tidak bisa membantah perintah ibu mereka. Karena mereka tak ingin membuat sang ibu menjadi lebih cemas lagi. Bagaimana pun juga jarak desa di kaki bukit lumayan jauh. Mungkin ibu cemas jika makhluk dengan jejak besar tersebut sedang berkeliaran di sekitar bukit dan bisa saja sewaktu-waktu menerkam mereka ketika menuju desa.

“Percayalah, Nak. Yang terpenting adalah kita saling menjaga. Ibu ingin kita selalu bersama.”

Mereka lalu saling memeluk. Udara pagi yang dingin membuat mereka khawatir. Namun sang ibu menguatkan mereka. Bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Hingga malam hari pun tiba. Udara semakin dingin. Mereka berkumpul di meja makan. Namun hanya ada nasi dan sup sederhana dari panen hasil kemarin yang bisa disantap. Mengingat kebun sayur Kal telah hancur lebur. Tak ada yang bisa diambil sedikit pun dari sana.

“Semuanya akan baik-baik saja,” sekali lagi sang ibu menasihati diikuti anggukan kepala Maw dan Herok. Sementara Kal hanya tersenyum hambar.

Mereka menyudahi makan malam. Berbincang sebentar lalu pergi ke kamar tidur masing-masing. Maw sekamar dengan ibunya sementara Kal bersama Herok. Entah kenapa, bagi Herok, malam ini adalah yang paling menakutkan. Ia mengulang cerita bersama Kal tentang jejak kaki besar yang menghancurkan kebun sayur mereka. Ia merebahkan tubuhnya lebih dekat ke tubuh Kal. Bahkan ia mereka-reka cerita sesuai nalarnya sendiri. Membuat suasana semakin mencekam.

“Sudahlah. Lebih baik kita tidur. Ibu bilang semuanya akan baik-baik saja.”

“Tapi Kal, aku….”

Entah kenapa, belum sempat Herok menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Kal melompat dari tidurnya dan mendaratkan telunjuknya ke bibir Herok.  Menyuruhnya diam sementara matanya menjadi waspada.

“Ada apa?” desis Herok. “Kau membuatku kaget.”

“Aku mendengar sesuatu di luar. Seperti suara geraman harimau dan desis ular. Dengarkan!”

“Sebaiknya kita ke ibu sekarang.” Herok mulai merengek ketika ia juga mendengar suara itu.

 “Pelan-pelan,” kata Kal.

Baru saja mereka berjinjit, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun, yang terjadi berikutnya benar-benar tidak pernah mereka sangka.

Dinding kamar yang terbuat dari kayu keras didobrak paksa oleh sosok gelap bertubuh besar, hingga hancur dan menimbulkan suara berisik. Sosok tersebut berkepala seperti kambing jantan dengan sorot merah darah yang bersinar dan tubuh kekar berbulu. Ukuran kakinya benar-benar besar dengan tiga jari berkuku tajam. Membuat Kal dan Herok berteriak sekeras mungkin.

“IBUUUUU!!!”

Namun belum sempat keduanya berlari ke luar kamar, makhluk tersebut menangkap Kal dan melemparkannya ke sisi dinding yang lain. Membuat Kal mengeluarkan darah dari mulutnya. Sementara pada waktu bersamaan ibu muncul dan meraih Herok untuk menjauh dari makhluk tersebut.

“Berhenti!” teriak Ibu pada makhluk besar tersebut untuk menjaga kedua anaknya yang lain di belakang tubuhnya.

Makhluk tersebut menghentikan aksinya. Ia memandang tajam ke arah ibu. Dan tiba-tiba saja ia berbicara dengan geraman dan desisan. Membuat Kal, Maw, dan Herok terkejut.

“Ini sudah waktunya. Tak ada waktu. Jika tidak, kedua anakmu yang lain akan mati!”

“Tak ada yang mati di sini, mahkluk jelek!” seru Kal seraya mengacungkan belati yang biasa ia bawa. Namun secepat itu pula raksasa tersebut berhambur ke arah Kal dan mencekik lehernya kuat-kuat.

“Tak ada waktu, Hena! Sekarang saatnya.”

Ibu tak kuasa melihat Kal sekarat dalam cekikan si raksasa buas. Namun ia semakin cemas ketika mendapat pilihan rumit dari makhluk mengerikan itu. Pilihan yang sebetulanya membuat tiga anaknya bertanya-tanya. Ia berusaha memegang sekuat mungkin tangan Maw dan Herok. Tak ingin dilepaskan. Namun semuanya berubah ketika si makhluk tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang laki-laki yang mereka kenal. Makhluk tersebut berubah menjadi ayah mereka. Laki-laki yang paling mereka rindukan.

“Ayah?” lirih Kal tak percaya dalam kesakitannya yang luar biasa ketika ia lepas dari cekikan si makhluk buas.

Makhluk raksasa yang kini menjelma menjadi ayah mereka terdiam, tak berkata sepatah kata pun.

“Bagaimana mungkin?” tanya Maw mendelik membekap mulutnya.

“Bukan, Sayang. Dia bukan ayah kalian,” kata Ibu mulai menjelaskan sambil menangis. “ Dia adalah makhluk yang membalas dendam pada ayah kalian yang asli. Kalian tidak pernah tahu cerita ini. Tapi sungguh, ayah kalian adalah pemburu yang hebat. Namun ketika itu ia salah. Ia pikir telah berhasil merobohkan tiga ekor rusa berbulu hitam sekaligus. Tapi ternyata ia telah membunuh istri beserta dua anak dari makhluk ini. Hingga akhirnya ia datang untuk membunuh ayah kalian dan mengawini ibu yang saat itu tengah mengandung Herok.” Ibu berhenti sejenak. Air matanya mengalir deras namun berwarna hitam. Lalu mulai berkata lagi. “Demi melindungi kalian ibu telah berikrar akan mengabdikan diri untuk selamanya, ketika Herok berumur dua belas tahun, atau dia akan membawa Herok menjadi anaknya. Karena bagaimana pun dalam tubuh Herok mengalir darahnya. Tanda lahir di leher Herok itu dibuat olehnya”

“Tidak, Bu!” seru Herok menangis. “Tidak akan ada yang pergi. Kalau pun ada yang pergi, orang itu adalah aku. Aku hampir membenci situasi saat ini.”

Seketika itu juga makhluk tersebut kembali ke wujudnya yang asli sambil mendesis, “tak ada waktu lagi, Hena!”

“Tidak Herok sayang. Kau tidak layak menerima ini,” kata ibu sambil membelai wajah Herok dan Maw bergantian lalu meraih tubuh Kal ke dalam pelukannya. “Kal akan menjaga kalian dengan baik. Maw akan menjadi wanita yang mencintai rumah ini dengan penuh perasaan. Dan dirimu, Herok sayang, kau akan menyelamatkan ibu suatu hari nanti. Jangan biarkan penduduk desa di kaki bukit tahu soal ini. Ibu menyayangi kalian.”

Tak lama setelah itu, tiba-tiba wajah dan tubuh ibu berubah diiringi lolongan keras yang menyayat hati. Paras yang menawan itu musnah seketika dalam bentuk yang sangat mengerikan dengan sorot mata merah darah dan tubuh besar berbulu. Lalu ibu segera berlari keluar, menembus dinding kamar yang jebol, mengikuti makhluk besar yang telah berlari lebih dahulu sambil melolong, tanpa sempat Kal, Maw, dan Herok mengucapkan selamat tinggal dan menangis atas perpisahan paling mengerikan itu.

Mereka membeku dalam dinginnya malam. Tenggorokan mereka seperti dipenggal, bahkan air mata tak lagi terasa hangat. Hanya pelukan yang diberikan Kal kepada kedua adiknya itu yang menghangatkan suasana yang semakin kelam.

Selesai.



            Sekarang kau telah menjadi saksi bagi kisah ini. Sungguh, ini sebuah pelanggaran. Namun aku hanya ingin memberitahumu bila nanti kau melihat sepasang makhluk, atau mungkin kini mereka beranak-pinak, yang besar dengan wajah kambing dengan sorot mata merah darah dan jejak kaki sangat besar. Kuharap kau tidak lekas membunuhnya. Karena dimana pun itu, di sanalah ibuku berada, menunggu untuk kuselamatkan.

***

images by: https://i3.wp.com/ae01.alicdn.com/kf/HTB1K5vBMpXXXXX7XVXXq6xXFXXX9/Tangan-Dicat-Gaya-Eropa-Rumah-Hutan-Landscape-Kanvas-Lukisan-Minyak-Realis-Lukisan-Dinding-Gambar-Seni-Lukisan.jpg?crop=6,3,950,600&quality=3886 


CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate