Ini
kisah yang umum. Tapi rasanya kau perlu tahu tentang cerita yang akan
kusampaikan kali ini. Agar kau mengerti tentang sesuatu yang bisa kau pahami
ketika usai membacanya.
Beginilah
kisahnya…
Di
negeri yang jauh, di atas bukit berangin yang hanya beberapa pohon peneduh
tumbuh di puncaknya, hidup sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang
wanita dewasa berparas cantik yang berperan sebagai ibu sekaligus orang tua
tunggal dan tiga orang anak yang masing-masing bernama Kal, Maw, dan Herok.
Kal
adalah seorang pemuda berwajah tampan. Ia paling tua. Umurnya kira-kira enam
belas tahun. Ia bekerja di kebun sayur yang ia olah sendiri bersama adik
bungsunya. Sementara Maw adalah gadis yang jelita. Ia anak kedua. Umurnya
sekitar empat belas tahun. Ialah yang membantu pekerjaan ibunya di rumah dan
mencari kayu bakar ketika Kal pergi ke desa di kaki bukit untuk berjualan
sayuran hasil kebun di pekarangan rumah bersama adiknya, Herok.
Herok
sendiri adalah seorang bocah lelaki yang beranjak remaja. Ia anak terakhir atau
yang ketiga. Ia berumur dua belas tahun. Sebetulnya ia adalah anak yang manja
dan paling disayang. Tanda lahir berbentuk bulan sabit pada leher sebelah kanannya
adalah ciri khas yang dimilikinya. Orang-orang selalu memuji tanda lahir yang
unik tersebut. Namun karena hidup keluarga kecil ini mendadak berubah ketika
ayah yang menjadi kepala keluarga meninggal dunia tersebab sakit parah, maka ia
harus ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Beruntung
kakaknya, Kal, adalah kakak yang baik. Ia mengajak adiknya itu untuk bekerja
sama mengolah tanah kosong. Hingga kemudian keduanya berhasil menjadi petani
yang menjual banyak sayuran di pasar desa di kaki bukit, dan mendapat pujian
dari warga di sana karena sayuran yang mereka jual segar dan menyehatkan.
Namun
pada suatu pagi yang mendung, Kal sangat murka. Ia berteriak, marah, dan
bersumpah serapah di luar rumah. Terdengar sesekali ia meratap seperti hendak
menangis. Membuat ibu beserta kedua adiknya yang baru saja selesai sarapan
berhambur ke luar rumah. Mereka ingin tahu apa yang telah membuat Kal begitu
marah juga sedih.
“Ada
apa, Kal?” tanya ibunya.
“Lihatlah,
Bu!” Kal menunjuk ke arah kebun sayurnya yang porak-poranda, lalu bersimpuh
karena tak kuasa menyaksikan pemandangan kebun sayurnya pagi itu.
Ibunya
terperangah dan langsung membekap mulut dengan kedua tangannya. Sementara itu Maw
yang spontan memeluk ibunya, Herok malah berlari sambil menjerit-jerit ke arah
kebun sayur kesayangannya, meremas-remas rambutnya yang ikal seperti orang gila.
“Tidaaaaaak!”
teriak Herok dalam tangisnya. “Siapa yang telah melakukan ini? Kenapa begitu
tega? Kejaaaaam!”
Kal
masih tak bisa berkata apa-apa. Ia masih membatu dalam simpuhnya. Matanya terus
tertumbuk hampa pada kebun sayur miliknya yang kini tak lagi serupa kebun. Ia
juga membiarkan Herok yang pada akhirnya ikut marah dan mengeluarkan sumpah
serapah. Ia tampak seperti pasrah dan
lemah, namun dalam hatinya membara api kemarahan yang besar sampai kepada
retina matanya yang cokelat. Di matanya tersulut api murka yang menyala terang
meski kesedihan yang sedingin es juga sama beratnya menggantung di sana. Ia
sedih dan bingung, entah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Sebab sayuran
tak tumbuh begitu saja seperti sekali lambaian tangan para peri.
Kal
terus memikirkan bagian itu. Hingga kemudian ia bergegas bangkit dari simpuhnya
ketika Herok berhenti memaki dan kini malah meneriaki namanya berkali-kali
seperti ingin memberitahunya sesuatu.
“Kal!
Kal! Kemarilah, lihat sini! Aku menemukan sesuatu. Ini sangat aneh!”
Kal
mempercepat langkahnya, disusul ibu dan adik perempuannnya, Maw, dari belakang.
Dan ketika ia telah berada di sisi Herok, matanya langsung nyalang pada sesuatu
yang ditunjuk adiknya itu. Ia mellihat begitu banyak lubang besar dan lebar
yang bertebaran di dalam areal kebun, yang jika diperhatikan lebih mirip jejak
kaki yang aneh. Jejak yang sebelumnya tidak pernah ada di bukit berangin itu.
“Jejak
apa itu, Kal?” tanya Maw, ikut menelusuri permukaan jejak-jejak aneh tersebut.
“Itu
jejak kaki binatang buas,” sahut Herok menduga dengan sangat yakin. “Sekarang kita
dalam bahaya!”
“Binatang
buas apa?” balas Maw balik bertanya. “Harimau tak mungkin memorak-porandakan
kebun sayuran. Kalau pun itu babi hutan, ukuran kakinya tak mungkin sebesar
itu!”
Kakak
beradik itu pun terus menyelidiki jejak-jejak kaki aneh tersebut. Maw dan Herok
mengeluarkan pendapatnya masing-masing, berganti-ganti, berusaha menemukan
jawaban yang paling masuk akal. Sementara itu, Kal berusaha tetap tenang seraya
menyusuri jejak yang mengular sampai ke tepi bukit bagian Timur yang paling
curam.
“Jejak
itu bermula dari sini!” seru Kal. “Aku menduga ini bukan binatang bahkan yang
paling buas sekali pun. Tak ada binatang yang bisa mendaki tepi bukit yang
curam ini kecuali kawanan kera.”
“Lalu
apa?” tanya Maw dan Herok, teriak bersamaan sambil berlari menghampiri Kal di
tepi bukit. Meninggalkan ibu mereka yang berdiri tanpa bicara namun wajahnya
tampak begitu cemas di dekat kebun yang hancur. “Lalu apa, Kal?” ulang Maw.
“Ini
makhluk yang tak wajar,” desis Kal memberitahu kedua adiknya. “Ini belum pernah
terjadi. Memang bukan binatang buas, tapi aku setuju yang dikatakan Herok,
kalau kita dalam bahaya. Bahkan bukan hanya kita. Para penduduk desa di kaki
bukit pun juga dalam bahaya.”
“Lalu
apa yang harus kita lakukan, Kal?” Maw buru-buru bertanya. “Apa kita harus
turun untuk memberitahu para penduduk?”
“Kupikir
demikian. Lagi pula aku juga harus memberitahu mereka bahwa dalam beberapa
waktu aku tak bisa menjual sayuran kepada mereka.” Wajah Kal berubah sedih.
“Kalau
begitu, ayo!” Herok tampak begitu semangat untuk bergegas turun ke kaki bukit.
Sepertinya ia tak sabar ingin bertemu para pelanggan yang biasa memuji kebaikannya.
“Baiklah!”
Lalu
ketiga kakak-beradik tersebut berlari ke arah ibu mereka yang semakin cemas
dengan tangan yang tampak saling meremas. Mereka hendak meminta izin turun ke
kaki bukit.
“Jangan
bilang kalau kalian akan turun ke kaki bukit!” sergah ibu mereka. “Aku tidak
akan mengizinkannya!”
“Kenapa,
Bu?” tanya Maw kecewa. “Ini masalah darurat!”
“Tidak
ada yang darurat,” potong ibu, menarik napas untuk melonggarkan dadanya yang
terasa sesak. “Dan tidak ada yang boleh turun. Sebaiknya kita terus berada di
dalam rumah.”
Kal,
Maw, dan Herok terdiam. Ketiganya paling tidak bisa membantah perintah ibu
mereka. Karena mereka tak ingin membuat sang ibu menjadi lebih cemas lagi.
Bagaimana pun juga jarak desa di kaki bukit lumayan jauh. Mungkin ibu cemas
jika makhluk dengan jejak besar tersebut sedang berkeliaran di sekitar bukit
dan bisa saja sewaktu-waktu menerkam mereka ketika menuju desa.
“Percayalah,
Nak. Yang terpenting adalah kita saling menjaga. Ibu ingin kita selalu
bersama.”
Mereka
lalu saling memeluk. Udara pagi yang dingin membuat mereka khawatir. Namun sang
ibu menguatkan mereka. Bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Hingga
malam hari pun tiba. Udara semakin dingin. Mereka berkumpul di meja makan.
Namun hanya ada nasi dan sup sederhana dari panen hasil kemarin yang bisa
disantap. Mengingat kebun sayur Kal telah hancur lebur. Tak ada yang bisa
diambil sedikit pun dari sana.
“Semuanya
akan baik-baik saja,” sekali lagi sang ibu menasihati diikuti anggukan kepala
Maw dan Herok. Sementara Kal hanya tersenyum hambar.
Mereka
menyudahi makan malam. Berbincang sebentar lalu pergi ke kamar tidur
masing-masing. Maw sekamar dengan ibunya sementara Kal bersama Herok. Entah
kenapa, bagi Herok, malam ini adalah yang paling menakutkan. Ia mengulang
cerita bersama Kal tentang jejak kaki besar yang menghancurkan kebun sayur
mereka. Ia merebahkan tubuhnya lebih dekat ke tubuh Kal. Bahkan ia mereka-reka
cerita sesuai nalarnya sendiri. Membuat suasana semakin mencekam.
“Sudahlah.
Lebih baik kita tidur. Ibu bilang semuanya akan baik-baik saja.”
“Tapi
Kal, aku….”
Entah
kenapa, belum sempat Herok menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Kal melompat
dari tidurnya dan mendaratkan telunjuknya ke bibir Herok. Menyuruhnya diam sementara matanya menjadi
waspada.
“Ada
apa?” desis Herok. “Kau membuatku kaget.”
“Aku
mendengar sesuatu di luar. Seperti suara geraman harimau dan desis ular.
Dengarkan!”
“Sebaiknya
kita ke ibu sekarang.” Herok mulai merengek ketika ia juga mendengar suara itu.
“Pelan-pelan,” kata Kal.
Baru
saja mereka berjinjit, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun, yang
terjadi berikutnya benar-benar tidak pernah mereka sangka.
Dinding
kamar yang terbuat dari kayu keras didobrak paksa oleh sosok gelap bertubuh
besar, hingga hancur dan menimbulkan suara berisik. Sosok tersebut berkepala
seperti kambing jantan dengan sorot merah darah yang bersinar dan tubuh kekar berbulu.
Ukuran kakinya benar-benar besar dengan tiga jari berkuku tajam. Membuat Kal
dan Herok berteriak sekeras mungkin.
“IBUUUUU!!!”
Namun
belum sempat keduanya berlari ke luar kamar, makhluk tersebut menangkap Kal dan
melemparkannya ke sisi dinding yang lain. Membuat Kal mengeluarkan darah dari
mulutnya. Sementara pada waktu bersamaan ibu muncul dan meraih Herok untuk
menjauh dari makhluk tersebut.
“Berhenti!”
teriak Ibu pada makhluk besar tersebut untuk menjaga kedua anaknya yang lain di
belakang tubuhnya.
Makhluk
tersebut menghentikan aksinya. Ia memandang tajam ke arah ibu. Dan tiba-tiba
saja ia berbicara dengan geraman dan desisan. Membuat Kal, Maw, dan Herok
terkejut.
“Ini
sudah waktunya. Tak ada waktu. Jika tidak, kedua anakmu yang lain akan mati!”
“Tak
ada yang mati di sini, mahkluk jelek!” seru Kal seraya mengacungkan belati yang
biasa ia bawa. Namun secepat itu pula raksasa tersebut berhambur ke arah Kal
dan mencekik lehernya kuat-kuat.
“Tak
ada waktu, Hena! Sekarang saatnya.”
Ibu
tak kuasa melihat Kal sekarat dalam cekikan si raksasa buas. Namun ia semakin
cemas ketika mendapat pilihan rumit dari makhluk mengerikan itu. Pilihan yang sebetulanya
membuat tiga anaknya bertanya-tanya. Ia berusaha memegang sekuat mungkin tangan
Maw dan Herok. Tak ingin dilepaskan. Namun semuanya berubah ketika si makhluk
tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang laki-laki yang mereka kenal. Makhluk
tersebut berubah menjadi ayah mereka. Laki-laki yang paling mereka rindukan.
“Ayah?”
lirih Kal tak percaya dalam kesakitannya yang luar biasa ketika ia lepas dari
cekikan si makhluk buas.
Makhluk
raksasa yang kini menjelma menjadi ayah mereka terdiam, tak berkata sepatah
kata pun.
“Bagaimana
mungkin?” tanya Maw mendelik membekap mulutnya.
“Bukan,
Sayang. Dia bukan ayah kalian,” kata Ibu mulai menjelaskan sambil menangis. “
Dia adalah makhluk yang membalas dendam pada ayah kalian yang asli. Kalian
tidak pernah tahu cerita ini. Tapi sungguh, ayah kalian adalah pemburu yang
hebat. Namun ketika itu ia salah. Ia pikir telah berhasil merobohkan tiga ekor
rusa berbulu hitam sekaligus. Tapi ternyata ia telah membunuh istri beserta dua
anak dari makhluk ini. Hingga akhirnya ia datang untuk membunuh ayah kalian dan
mengawini ibu yang saat itu tengah mengandung Herok.” Ibu berhenti sejenak. Air
matanya mengalir deras namun berwarna hitam. Lalu mulai berkata lagi. “Demi
melindungi kalian ibu telah berikrar akan mengabdikan diri untuk selamanya,
ketika Herok berumur dua belas tahun, atau dia akan membawa Herok menjadi anaknya.
Karena bagaimana pun dalam tubuh Herok mengalir darahnya. Tanda lahir di leher
Herok itu dibuat olehnya”
“Tidak,
Bu!” seru Herok menangis. “Tidak akan ada yang pergi. Kalau pun ada yang pergi,
orang itu adalah aku. Aku hampir membenci situasi saat ini.”
Seketika
itu juga makhluk tersebut kembali ke wujudnya yang asli sambil mendesis, “tak
ada waktu lagi, Hena!”
“Tidak
Herok sayang. Kau tidak layak menerima ini,” kata ibu sambil membelai wajah
Herok dan Maw bergantian lalu meraih tubuh Kal ke dalam pelukannya. “Kal akan
menjaga kalian dengan baik. Maw akan menjadi wanita yang mencintai rumah ini
dengan penuh perasaan. Dan dirimu, Herok sayang, kau akan menyelamatkan ibu
suatu hari nanti. Jangan biarkan penduduk desa di kaki bukit tahu soal ini. Ibu
menyayangi kalian.”
Tak
lama setelah itu, tiba-tiba wajah dan tubuh ibu berubah diiringi lolongan keras
yang menyayat hati. Paras yang menawan itu musnah seketika dalam bentuk yang
sangat mengerikan dengan sorot mata merah darah dan tubuh besar berbulu. Lalu
ibu segera berlari keluar, menembus dinding kamar yang jebol, mengikuti makhluk
besar yang telah berlari lebih dahulu sambil melolong, tanpa sempat Kal, Maw,
dan Herok mengucapkan selamat tinggal dan menangis atas perpisahan paling
mengerikan itu.
Mereka
membeku dalam dinginnya malam. Tenggorokan mereka seperti dipenggal, bahkan air
mata tak lagi terasa hangat. Hanya pelukan yang diberikan Kal kepada kedua
adiknya itu yang menghangatkan suasana yang semakin kelam.
Selesai.
Sekarang
kau telah menjadi saksi bagi kisah ini. Sungguh, ini sebuah pelanggaran. Namun
aku hanya ingin memberitahumu bila nanti kau melihat sepasang makhluk, atau
mungkin kini mereka beranak-pinak, yang besar dengan wajah kambing dengan sorot
mata merah darah dan jejak kaki sangat besar. Kuharap kau tidak lekas membunuhnya.
Karena dimana pun itu, di sanalah ibuku berada, menunggu untuk kuselamatkan.
***
images by: https://i3.wp.com/ae01.alicdn.com/kf/HTB1K5vBMpXXXXX7XVXXq6xXFXXX9/Tangan-Dicat-Gaya-Eropa-Rumah-Hutan-Landscape-Kanvas-Lukisan-Minyak-Realis-Lukisan-Dinding-Gambar-Seni-Lukisan.jpg?crop=6,3,950,600&quality=3886
No comments:
Post a Comment