CERPEN

Friday, May 24, 2019

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja


Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat indah, dan semilir angin petang memelukku bersama kenangan yang selalu berbisik di telingaku.

Jika suatu saat nanti datang padaku sebuah kesempatan untuk kembali ke masa lampau, maka aku ingin selalu berada di sana, lalu menguncinya pada waktu yang sudah kucocokkan sesuai ingatan yang telah berkarat di kepalaku. Membiarkan diriku dengan penuh keikhlasan terjebak di sana. Menjalani hari yang sama, dengan perasaan yang sama. Tidak masalah meski berulang kali dan aku menyadari itu. Aku akan berjanji, bahkan bersumpah, tidak akan pernah merasa bosan.

            Tetapi itu tak akan pernah terjadi, maka berhentilah untuk menyalahkan dirimu sendiri. Bukankah dalam hidup seringkali terjadi sesuatu yang membuat banyak orang cemas menjalani hidup?Bukankah semestinya semua orang bergerak terus ke depan?

            Kudengar sebuah suara yang berasal dari langit senja untuk pertama kalinya dan aku langsung mendongak ke atas. Terkejut karena suara itu. Tapi yang  kulihat hanya kawanan burung kecil terbang melintas pulang menuju bukit yang jauh. Tidak ada siapa-siapa lagi di atas sana.

Lantas suara siapakah itu? Aku masih mendongak ke atas, bertanya-tanya sendiri sembari meneliti ke bias oranyenya yang mulai memudar menjadi lebih gelap. Siapa sosok yang telah memberi argumen pada isi hatiku itu? Apakah angin, atau langit senja itu sendiri, yang barangkali sudah bosan mendengar suara hatiku yang kian serak? Aku menghirup udara petang dalam-dalam, merasakannya terjun bebas memompa gelembung paru-paruku. Hingga seseorang meraih tanganku dan berkata, “Yuk kita pulang, Bang!” Aku terkejut, langsung menurunkan pandangan dan membelokkannya, menangkap mata bening yang menyorot lembut di sisiku itu. Sorot mata yang mengalahkan lembutnya senja yang selalu ingin kukemas dan kumasukkan dalam saku kemeja penuh kenangan ini.

***

            Ketika hendak mengutarakan niatku, jagoan kecilku menabrakkan tubuhnya padaku seakan ia adalah seorang pebalap motor yang handal dalam mengendalikan tunggangannya. Membuat tawa girangnya meledak seketika, saat aku ambruk ke kasur santai di depan televisi. Termasuk istriku yang tengah menyiapkan makan siangku, kudengar tawanya memantul di panci dan kuali yang digantung di dinding dapur.

            “Jangan ganggu ayah, Agung. Ayah lagi capek itu.” Istriku mencoba menasihati putra kecil kami yang masih berusia empat tahun. Namun segera kubantah dan berkata padanya bahwa aku baik-baik saja dengan candaan Agung. Tidak ada masalah meski betapa lelahnya aku menggarap ladang padi darat di kaki bukit. Sebab bagiku lelucon yang diperlihatkan Agung adalah hal hebat yang sangat perlu kusaksikan perkembangannya.

            Kemudian istriku muncul dari dapur dan langsung duduk bersimpuh di hadapanku sambil meletakkan nampan berisi sepiring nasi beserta sayur bayam merah dengan lauk ikan sungai goreng dan segelas air putih. Ia mempersilakanku makan dengan meraih tubuh Agung dan memindahkan ke pangkuannya. Kupikir, setelah melihat ia tampak lebih rileks seperti ini adalah saat yang tepat untuk mengatakannya secara langsung.

            “Salma, abang berencana mau pergi ke kota besok. Diajak Bang Ahmadi,” kataku ketika mengakhiri suapan pertama yang langsung meluncur melewati kerongkonganku menuju lambung. Kulihat mata istriku itu langsung meredup. Maka cepat-cepat kusambung kalimatku. “Cuma satu hari saja. Itu juga kalau bisa lebih cepat, maka tidak lama. Tapi kamu tahu kan, bila sampai di kota tapi tidak sekalian mencari informasi seputar kerjaan bagus, maka seperti menyia-nyiakan kesempatan. Bang Ahmadi punya kenalan di kota yang katanya butuh pegawai. Aku perlu bertanya langsung soal itu pada kenalannya.”

            Salma istriku masih terdiam, malah lebih menunduk. Tapi untungnya itu tidak lama. Wajahnya dipaksa tersenyum ketika mengatakan bahwa ia mengizinkanku untuk pergi ke kota besok. Membuatku lega. Meski seorang suami tidak perlu izin istri untuk bepergian, tapi bagiku, itu sangat penting. Karena dengan begitu kami bisa saling memercayai dan mendoakan ketika saling berjauhan.

            “Kalau kamu takut di rumah berdua, nanti abang minta tolong sama Ridwan untuk mengantarmu ke rumah bapak,” ujarku sambil mengunyah suapan yang entah keberapa.

            “Tidak usah, Bang,” jawab istriku seraya menggeleng. “Aku sama Agung di rumah saja. Lagipula apa yang ditakutkan. Toh, kalau ada apa-apa kan tinggal minta tolong tetangga.”

            “Ya sudah kalau begitu. Yang penting kamu tetap jaga Agung terus dan awasi dia, jangan sampai kenapa-kenapa. Jangan diizinkan dia main sama teman-temannya sampai ke atas bukit. Bahaya.”

            “Iyalah, Bang. Nggak mungkin itu.” Istriku terkekeh ketika membalas pesan-pesanku padanya. Mungkin ia merasa geli karena aku menganggapnya seakan kurang memperhatikan anak pertama kami. “Setiap hari juga kan sama aku. Nggak kuizinin kok dia main jauh-jauh, paling sekitaran sini saja. Lagipula mau apa coba anak umur empat tahun begitu sampai naik puncak bukit. Bapak sama ibu bisa marah besar sama aku. Tapi… eh, tunggu sebentar, Bang.”

            Salma langsung menurunkan Agung dari pangkuannya lalu berdiri dan berjalan cepat menuju kamar sambil mengiyakan semua pesan-pesanku. Sepertinya ia teringat sesuatu yang perlu disampaikan kepadaku. Karena tak sampai lima menit ia sudah kembali lagi sambil membawa sebuah baju baru yang masih terbungkus plastik.

            “Tadi Kak Lisma bawa baju-baju bagus, Bang. Aku pilih kemeja ini buat abang,” kata istriku tersenyum seraya mengulurkan kemeja berwarna biru langit, warna favoritnya, yang masih terbungkus plastik itu kepadaku. “Pas juga waktunya buat dipakai abang besok pergi ke kota. Jadi kan kelihatan lebih rapi dan ganteng,” sambungnya menggodaku yang spontan membuatkku tersipu malu. Rasanya sudah lama sekali istriku itu tidak memuji ketampananku secara langsung sejak ia menjadi lebih sibuk dengan aktivitasnya menjadi ibu rumah tangga; mengurus suami, anak, rumah dan segala perkakasnya.

            “Terima kasih ya istriku yang cantik dan baik hati,” balasku sengaja balik menggodanya, yang langsung membuat wajah Salma memerah seperti bunga mawar yang baru mekar. “Doakan ayah ya, Nak. Semoga besok lancar dan selamat. Biar bisa pulang lebih cepat,” sambungku sambil mengusap-usap rambut Agung yang sedang minum air putih dalam gelas yang disediakan untukku.
            “Iya. Amin.” Istriku menyahut mengajari Agung.

            Aku sangat senang mendapat restu dari istriku untuk keberangkatanku ke kota besok. Dengan begitu aku bisa lebih semangat dalam berikhtiar, tak mudah putus asa. Ditambah lagi istriku baru saja memberikanku kejutan berupa sebuah kemeja biru langit yang bisa langsung kukenakan besok. Tentunya hal itu akan menambah kepercayaan kami untuk saling menjaga kesetiaan.


            Setelah kukecup kedua pipi Agung dan istriku mencium punggung tangan kananku, aku berjalan meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan lalu duduk dengan mantap di belakang Bang Ahmadi yang mengenderai sepeda motor. Dan ketika aku menoleh ke belakang, aku hanya bisa melihat atap rumah, karena rumahku sudah tertutup oleh rumah Pak Harjan yang berada di bawah rumahku. Entah kenapa, semakin perjalanan ini membuatku kian menjauh dari rumah, jantungku mendadak berdesir-desir. Sebuah perasaan yang tidak biasa tiba-tiba mencuat begitu saja. Perasaan khawatir pada dua jiwaku yang berada di sana datang menyergap batinku.

Ah, mungkin karena aku amat jarang melakukan perjalanan jauh seperti ini, makanya begitu,  kataku cepat-cepat dalam hati untuk menguatkan keyakinan dan mengusir hal-hal buruk yang tadi tersirat dalam pikiranku. Aku berharap semua harus tetap baik-baik saja. Lagipula, menurut Bang Ahmadi hanya butuh empat jam saja untuk sampai ke kota. Jadi kemungkinan kami bisa pulang cepat karena urusan Bang Ahmadi tidak butuh waktu lama ditambah dengan keperluanku ke tempat kenalan Bang Ahmadi yang butuh pegawai baru. Hanya itu saja.

Namun sayangnya, rencana tersebut tak bisa sesuai dengan kenyataannya. Benar kalau manusia memang perlu dan harus memiliki banyak rencana, namun hasil akhir tetap Tuhan yang berhak menentukan. Dalam separuh perjalanan kami, hujan deras disertai kilat dan petir mengguyur selama satu jam. Membuat aku dan Bang Ahmadi terpaksa berteduh di warung pinggir jalan dan memesan dua gelas kopi panas dan beberapa gorengan. Hawa dingin yang menyusup ke dalam tubuhku tiba-tiba, lagi, menimbulkan kegetiran dan kecemasan yang menggigit-gigit hatiku seperti nyamuk yang haus darah. Aku ingin mengirimi istriku pesan, menanyai keadaannya dan Agung, namun sinyal seluler terlalu lemah bahkan musnah. Hingga aku hanya mampu menahan kekesalan tanpa diketahui Bang Ahmadi dan memasukkan kembali ponsel ke dalam kantong jaket. Aku yakin istriku pasti juga sedang mencemaskanku.

            Barulah ketika langit menyisakan rintik halus dan guruh yang berdentum pelan, kami kembali melanjutkan perjalanan dan bersyukur tak ada lagi hambatan yang membuat kami harus menunda perjalanan, dan akhirnya bisa tiba di kota dengan selamat, tetap dalam kondisi fit. Membuatku buru-buru meraih ponsel dalam kantong jaket dan langsung mengetik pesan, mengabari bahwa aku sudah sampai pada istriku. Begitu pun yang dilakukan Bang Ahmadi. Ia juga menelepon istrinya dan berkata bahwa ia telah sampai di kota dengan selamat.

            “Mal, kita langsung ke tempat kenalan Abang itu ya,” kata Bang Ahmadi kepadaku ketika ia selesai berkabar dengan istrinya melalui telepon, dan aku langsung memasukkan kembali ponselku ke dalam kantong jaket.

            “Lho kenapa, Bang?” Aku mengernyitkan dahi. “Bukannya kita harus ke tempat Abang dulu. Baru setelah itu kita ke sana. Nanti keburu turun hujan lagi.”

            “Ah, nggak apa-apa,” imbuh Bang Ahmadi sambil menyuruhku naik ke motornya lagi. “Urusan Abang cepat kok. Mendingan kita langsung ke sana. Biar kamu tahu bagaimana kerjaannya. Teman Abang itu baik. Abang sudah ceritakan tentang kamu, Mal. Lagipula kamu kan lulusan SMK jurusan komputer. Dia lagi butuh betul pegawai yang bisa komputer. Dan tentunya, orang yang bisa dipercaya. Makanya Abang nggak mau nawari ke yang lain. Karena Abang yakin kamu orang yang cocok.”

            “Oh, begitu. Baiklah, Bang. Terima kasih banyak ya, Bang.” kataku sambil mengangguk.

            Sungguh aku sangat senang ketika mendengar ucapan Bang Ahmadi perihal kepeduliannya padaku. Mungkin karena ia tahu betul kehidupanku seperti apa. Toh, meski kami tidak satu kampung bahkan tidak sedarah, ia seperti kakak kandungku sendiri sejak ia ceritakan bahwa ia kenal baik dengan almarhum ayahku yang kerap menolongnya dulu ketika susah. Jadi kupikir tak perlu menyanggah perkataannya lagi, lebih baik langsung duduk di belakangnya dan segera berangkat.

            Sesampainya di sebuah kantor  tak bertingkat, mirip rumah biasa tapi memiliki banyak jendela dan kotak-kotak pendingin ruangan di bagian luarnya, yang kata Bang Ahmadi itu merupakan kantor cabang dari sebuah perusahaan besar, kami segera menemui teman Bang Ahmadi yang ternyata keturunan Tionghoa bernama Lim. Bang Ahmadi pun berbincang sebentar perihal kabar dengan temannya itu lalu mengenalkan diriku padanya.

            Tak butuh waktu lama untuk meyakinkan teman Bang Ahmadi itu untuk menerimaku kerja di kantornya. Ternyata memang benar kata Bang Ahmadi, temannya itu ramah dan baik sekali. Aku langsung diterima usai wawancara dan menunjukkan ketangkasanku mengoperasikan perangkat komputer di hadapannya, yang jujur sudah lama sekali tak pernah lagi kusentuh sejak lulus sekolah, namun lekat dalam ingatan. Aku hanya perlu menyiapkan berkas lamaran saja sebagai bentuk formalitas penerimaan dan bisa langsung bekerja seminggu lagi agar aku bisa melakukan persiapan yang lain. Tapi entahlah, aku jauh lebih yakin lagi bahwa kisah yang dituturkan Bang Ahmadi tentangkulah yang membuat Pak Lim itu menerimaku bekerja di sini.  Karena zaman sekarang mencari pekerjaan di kota itu sangat sulit. Sementara aku bisa dengan mudah mendapatkannya. Tentu ada hal-hal yang mengatasnamakan kebaikanlah yang membuat nasib baik ini terjadi.

            Kemudian aku mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Lim dan Bang Ahmadi sambil menjabat erat tangan keduanya bergantian. Menunjukkan betapa bahagianya aku dengan senantiasa tersenyum lebar di hadapan mereka. Membuatku tak sabar untuk segera pulang, bertemu langsung dengan istriku dan memberitahunya tentang kabar sangat baik ini. Pasti ia sangat senang mendengarnya. Bisa-bisa ia nanti memborong banyak kemeja yang dijual Kak Lisma untukku. Aku memikirkan itu dengan perasaan geli.

            Setelah semua urusan di kantor Pak Lim berakhir bahagia, aku diterima kerja, kami segera meluncur ke tempat yang seharusnya menjadi tujuan pertama, yakni kantor tempat adik Bang Ahmadi bekerja. Akan tetapi, belum sampai ke tujuan, hujan turun lagi, bahkan lebih deras. Jadi kami terpaksa untuk kedua kalinya berteduh di sebuah warung makan sekalian mengisi perut yang sudah mulai keroncongan.  Sebenarnya aku jadi tak enak hati dengan keadaan itu. Karena itu artinya urusan Bang Ahmadi menemui adiknya jadi tertunda lagi.

Namun, lagi-lagi Bang Ahmadi tidak mempermasalahkan hal itu. Ia malah senang ketika bisa membantuku mendapatkan pekerjaan. Ia bahkan menyarankanku untuk pindah ke kota saja supaya urusan kerjaku nanti jadi lebih mudah. Namun kukatakan padanya semua itu butuh pertimbangan dan diskusi yang mufakat bersama istriku, dan ia mengangguk paham, meski dalam hatiku itu sudah terbersit sebagai rencana.

Kami terus berbincang sambil sesekali melihat keluar. Memandang hujan yang mengguyur jalanan hingga menciptakan genangan, dan menyaksikan bagaimana orang-orang kota berusaha secepat mungkin bergerak menghadapi hujan meski itu tak mungkin. Sebab kota ini tak seperti kampungku yang berbukit-bukit. Di sini jumlah penduduk luar biasa ramai dan gedung-gedung dibangun berdampingan di sepanjang jalan. Sehingga pergerakan, baik manusia maupun kendaraan, harus diperlambat agar tak terjadi hal-hal buruk. Sampai ketika ponsel Bang Ahmadi berdering keras diantara suara hujan yang berisik mengguyur atap seng warung makan, kami baru memutus percakapan dan aku memilih untuk jadi pendengar saja ketika Bang Ahmadi menekan tombol speaker di ponselnya.

“Iya, ada apa?” tanya Bang Ahmadi kepada istrinya, sambil menutup sebelah telinganya untuk fokus mendengar.

“Bang, dimana sekarang?”

“Masih di kota, hujan deras, Abang pun belum ke tempat Syarif.”

“Masih sama Kamal?” tanya istrinya lagi yang langsung di-iyakan oleh Bang Ahmadi sambil mengangguk. “Sudahlah, Bang, cepat pulang. Keadaannya gawat.”

Mendengar kata “gawat” yang diucapkan lantang oleh istri Bang Ahmadi lewat telepon membuatku tersentak dan darahku tersirap. Jantungku berdegup dengan tempo lebih cepat. Telinga kupasang tinggi-tinggi untuk dapat mendengar dengan jelas.

            “Iya, ada apa, Nah?” Bang Ahmadi bertanya dengan nada mendesak dan wajahnya tampak sangat cemas.

            “Bang…. Kampungnya si Kamal tertimbun longsoran bukit.” Istri Bang Ahmadi menyampaikan kabar mengejutkan tersebut dengan suara bergetar. “Cepatlah kau pulang. Batalkan pertemuanmu dengan Syarif.”

            Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya atau apa yang kemudian dibicarakan Bang Ahmadi bersama istrinya kemudian di telepon. Yang kulihat mulut Bang Ahmadi menganga lebar dan matanya terpasak kuat ke mataku. Sementara aku tak bisa berkata-kata bahkan bergerak sedikitpun. Aku merasa tuli, mulutku terkunci seketika dan jantungku menghisap seluruh darah di ribuan nadi, membuatnya bengkak kemudian meledak. Dan rasanya aku melihat kota yang baru kusinggahi hari ini menjadi terbalik. Gedung-gedung melempar semua penghuninya keluar dan jalanan menjadi ombak sangat besar yang menggulung orang-orang beserta seluruh kendaraan. Aku menjadi sangat kebas laksana patung besar di tengah kota, dan tahu-tahu air mataku menderas seperti hujan yang mengguyur seluruh kota lalu sebuah kilatan besar menyambarku dengan hebat, meleburkan tubuhku beserta seluruh keinginan dan harapan yang beberapa saat lalu baru saja kuukir dalam hati.

            Bang Ahmadi kemudian berusaha menenangkanku dan menasihatiku untuk terus mengingat Tuhan. Ia menepuk-nepuk pelan bahuku meski kulihat juga di matanya penuh genangan air kesedihan yang mendalam. Entah apa yang harus kami lakukan sekarang. Rasanya aku ingin langsung berlari ke dalam hujan, secepat mungkin, bilaperlu sampai kakiku patah, agar bisa segera sampai di kampung. Namun hujan deras, jarak tempuh, dan kesedihan telah memerangkap kami seperti penjara besi. Menjadikanku seperti daun yang dipaksa gugur oleh badai dahsyat namun hatiku terus meraung memanggil nama istriku dan anak lelakiku yang tampan. Hingga kemudian, dengan tangan gemetar, kutarik ponsel keluar dari jaket, untuk mengalihkan pikiran yang tak terbantahkan itu. Akan tetapi, betapa semakin runtuhnya hidupku ketika kulihat sebuah pesan balasan dari istriku beberapa waktu lalu ketika kukabari ia tentang keberhasilanku mendapatkan pekerjaan baru, yang belum sempat kucek.  

            “Alhamdulillah, Bang. Segeralah pulang, Agung kangen padamu.”

            Ya Tuhan, ampuni aku. Aku bahkan tak bisa lagi menahan tubuhku ketika ambruk dan beberapa orang yang sejak tadi memperhatikan kami di dalam warung makan langsung meraih dan memegangi tubuhku. Menjagaku untuk tetap sadar.

***

            “Yuk kita pulang, Bang!”

            Aku menurunkan pandangan. Ke bibir yang melengkungkan sebuah senyuman mendamaikan kegundahan itu, dikala jingga senja semakin hilang dari pandangan dan bukit-bukit mulai ditelan kegelapan. Lalu, yang terjadi kemudian adalah tangannya meraih jari-jari tanganku dengan lembut disusul oleh kemunculan seorang anak lelaki kecil berambut ikal yang tiba-tiba saja berlari dan berhambur ke arahku dari balik tubuh ramping perempuan berwajah manis itu.

            Aku mengenali keduanya. Bahkan teramat sangat kenal. Hingga kemudian justru tangankulah yang menggenggam erat tangannya dan merendahkan tubuhku untuk meraih pelukan lelaki kecil berambut ikal itu.

Aku samasekali tidak terkejut, bahkan mendadak menjadi bahagia yang tidak terkira. Aku hanya sedikit bertanya-tanya, apakah Tuhan baru saja mengabulkan keinginanku. Apakah Tuhan baru saja melepasku ke dalam lingkaran waktu dimana aku ingin hidup selamanya di sini. Bersama istri dan anak lelaki yang amat kucintai. Apakah Tuhan mengizinkanku mengemas senja untuk kulipat dan kumasukkan ke dalam saku kemeja biru muda yang senantiasa sama setiap kali waktu berputar ke titik yang sama?


***

Monday, May 13, 2019

CERPEN M.Z. BILLAL_MERINDUKAN CAPUNG-CAPUNG



Kini ia merasa lebih tinggi dari gunung yang berdiri kokoh di kejauhan saat pagi, sebelum awan-awan kemudian menjadi selimut langit yang menutupi penampakkannya. Membuat pohon-pohon jadi seukuran bibit cabai di bawah kakinya. Rumah-rumah pun seperti kotak-kotak korek api yang diserakkan di tanah lapang, dan jalan yang berkelok-kelok tampak seperti kumpulan ular lidi berbagai ukuran yang saling berebut tikus kebun. Semuanya jadi begitu kecil. Bahkan langit biru yang dulu luas pun hanya tersisa sepetak saja di matanya, kini.

            Padahal dulu tak seperti ini. Hanya agar tampak selutut gunung saja, ia dan teman-temannya harus pergi ke bukit yang paling tinggi. Melewati pepohonan yang besar dan rindang, tak seukuran bibit cabai seperti sekarang, dan berlarian di bawah naungan langit yang ukuran luasnya milyaran kali satu petak jendela kamar.

            Ah, ia tiba-tiba jadi merindukan capung dan kunang-kunang yang ramai beterbangan di kebun cabai dan tomat belakang rumahnya dulu. Bagaimana ukurannya saat ini ya? Jika pohon saja sudah seukuran bibit cabai, tentu mereka lebih mungil dari titik kecil coretan sebuah pena. Karena sudah lama sekali ia tak melihat capung-capung itu. Apa lagi dari tempatnya berada sekarang. Tak ada lagi capung atau pun serangga kecil yang terbang ke sana kemari lalu hinggap di tempat-tempat yang tidak diduga. Yang terlihat hanya lampu-lampu sewarna sinar kunang-kunang pada malam hari di sekujur dada kota. Ramai, bertumpuk-tumpuk.

            Namun ia tak bisa menyalahkan keadaan. Ia sepenuhnya sadar bahwa dirinya memang tak seperti dahulu. Takdir sudah menetapkan kehidupannya saat ini. Berusia 60 tahun dan tinggal di apartemen lantai paling atas bersama putra semata wayang dan menantunya, di kota yang jauh dari kampung halaman. Setelah setahun yang silam suaminya pergi meninggalkan dunia untuk selamanya.

Putranya memutuskan untuk membawanya ke kota agar bisa lebih dekat dan mudah merawat dirinya yang mulai sakit-sakitan. Semula ia menolak, ia tak mau pergi ke manapun, memilih menghabiskan hari tua di rumahnya sendiri. Namun karena putranya berkeras untuk membawanya dengan alasan khawatir, akhirnya ia mengalah, menerima keputusan itu dengan lapang dada. Bagaimanapun, seorang ibu sebaiknya tak perlu menentang keinginan anak yang ingin sekali berbakti dan membalas budi orang tua.

            Hingga tak terasa pun ternyata ia sudah sepuluh bulan lamanya tinggal di apartemen teratas dalam gedung yang tinggi itu. Sepuluh bulan ia melihat langit luasnya hanya sepetak jendela, pohon-pohon seukuran bibit cabai, dan gunung yang menjulang di kampungnya lebih rendah dari lututnya ketika tirai pagi tersibak. Meski kadang, tiap akhir pekan ia diajak turun oleh putra dan menantunya untuk melihat segalanya dengan normal, menikmati suasana kota yang megah untuk menghalau kejenuhan. Namun sayangnya, itu belum cukup untuk mengurangi kerinduannya terhadap kampung kelahirannya, yang belum sekali pun sempat ia ungkapkan kepada putra dan menantunya.

Dan hari itu, adalah hari dimana ia berada di puncak rasa rindu yang paling tinggi. Bahkan lebih tinggi dari gedung paling jangkung di jantung kota. Membuatnya seolah seperti terapung di ketinggian udara, di bawah langit biru cerah yang begitu luas, dan sinar matahari menyihir pakaian tidurnya jadi sewarna emas.

Tak jarang pun terlintas hal yang kekanakan di benaknya. Ingin rasanya ia memiliki sepasang sayap capung yang tipis dan kuat, agar ia bisa terbang, melesat dengan sangat cepat. Pergi mengunjungi kampung halamannya kapanpun ia mau. Ziarah ke makam suaminya, bercengkerama bersama para tetangga, dan menyaksikan capung-capung di kebun cabai dan tomat belakang rumah, lalu kembali ke apartemen tepat waktu. Namun itu tetaplah hanya keinginan semata. Impian yang tak cocok bagi wanita berumur lebih dari separuh abad, kendati imajinasi seperti itu cukup manis dirangkai dalam pikiran dan kerap menguap ke udara ketika putra dan menantunya pulang bekerja.

Sama seperti hari itu. 
“Sudah pulang?” tanyanya.

“Iya, Bu. Hari ini lebih cepat. Ibu sudah makan?”

Ia hanya mengangguk seraya memandang ke langit sore yang mulai berpendar jingga. Hatinya masih dipenuhi gumpalan rindu yang menjelma awan kelabu. Ingin ia utarakan keinginannya itu. Namun ia tak mau mengganggu kesibukan putra dan menantunya yang tiap hari harus bekerja keras.

“Ibu sakit?” tanya menantunya, terdengar cemas, seraya berjalan mendekat ke arahnya, dan langsung mendekap tubuhnya  dari belakang.

“Tidak, kok. Ibu baik-baik saja.” Ia tersenyum tipis sambil mengusap-usap lengan menantunya yang melingkar di bahunya itu.

“Ya, syukurlah, Bu. Ibu jangan capek-capek di sini, ya. Aku bisa, kok, mengatasi semuanya. Dan kalau Ibu memang lagi tidak enak badan langsung bilang ke aku atau ke Mas Juli. Jangan merasa segan atau pun takut.”

“Iya, Bu.” Putranya menyahut dari belakang seraya mengusap dan mengecup rambutnya yang putih. “Kami tidak mungkin membiarkan Ibu sakit. Kami memang bersalah, karena kami tidak punya banyak waktu untuk Ibu tiap harinya. Tapi kami akan selalu berusaha membuat Ibu bahagia.”

“Tidak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum lagi. “Tidak usah dipikirkan. Ibu senang sekali kok berada di sini. Ibu bisa lebih dekat sama kalian. Lagi pula pemandangan di sini indah. Ibu bisa melihat banyak tempat dari sini. Jadi kalian tidak perlu khawatir lagi. Sudah sana, kalian beres-beres dulu. Sebentar lagi maghrib.”

Ia menyudahi hari itu masih dengan perasaan rindu yang membuatnya terbang ke langit, hingga mencapai bintang-bintang yang jauh, dan membuat segalanya semakin terasa kecil. Ia sudah memutuskan untuk tidak akan pernah mengutarakan keinginannya kepada putra maupun menantunya. Barangkali, di langit malam ada banyak capung-capung ajaib yang bisa mengantarnya pulang ke rumah kenangannya di kampung, meski hanya dalam mimpi, khayalnya.

***

            Pagi berikutnya tak seperti pagi yang lalu. Biasanya menantunya itu sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan banyak hal, menunjukkan betapa bertanggungjawabanya ia sebagai ibu rumah tangga, sementara dirinya memandangi dada kota yang bertabur ratusan lampu sewarna kunang-kunang dari balik jendela apartemen, untuk menyambut mentari berkilau keemasan, langit yang bersih, dan gunung yang berdiri kokoh di kejauhan, sebelum awan menyelimuti.

            Tapi, entah apa alasannya, aktivitas tersebut tak terjadi pagi itu. Semuanya terasa berbeda. Padahal hari libur pun menantunya tetap melakukan rutinitas itu. Putra dan menantunya hanya tampak sesekali. Tak menyapanya seperti pagi-pagi yang lain. Ada apa sebenarnya? Ia mulai menduga-duga. Dugaan baik maupun dugaan buruk. Sesuai dugaan itu membawanya. Mungkinkah karena sikap dinginnya petang kemarin?

            Hingga sinar surya menyibak tirai hari seutuhnya, semuanya masih sama. Tak ada yang menyapanya pagi itu. Kerisauannya pun menggurita. Pepohonanan yang seukuran bibit cabai seakan layu. Mungkin lebih baik ia yang menyapa lebih dulu untuk menghangatkan suasana ruangan yang masih terasa beku. Barangkali putra dan menantunya kelelahan.

            Akan tetapi, belum sempat ia beranjak untuk menghampiri menantunya yang sudah berada di dapur, putranya menghadang dan berkata, “Ibu lekas berkemas ya, tapi tidak perlu bawa pakaian banyak-banyak.”

            Mendengar perkataan putranya, jantungnya seketika berdetak sangat cepat sampai rasanya mau melompat keluar. Kakinya bergetar hebat dan napasnya memburu. Apa yang terjadi? Apakah putranya akan mengusirnya keluar dari apartemen ini? Apa sikapnya yang dingin kemarin adalah sebuah kesalahan besar?

            Tiba-tiba muncul menantunya dari dapur. Melingkarkan tangannya ke tangan suaminya dan berdeham. Perasaannya semakin tak enak.

            “Ibu jangan pikir yang macam-macam ya,” ujarnya lembut seraya tersenyum. Diluar dugaanya bahwa menantunya akan marah. “Memang siapa yang berani mengusir ibu dari sini? Mas Juli? Biar kujewer kupingnya dari sini sampai kantor kalau sampai itu terjadi. Lihat, tuh, Mas, Ibu mau nangis. Hehe.”

            “Haha. Ibu pikir,  aku ngusir Ibu?” putranya bertanya dengan ekspresi tak percaya dan langsung berhambur memeluk erat tubuhnya. “Ya ampun, maafkan aku, Bu. Aku sama Rena mau ngajakin Ibu pulang kampung, lho. Tadi pagi kami diskusi buat ambil cuti seminggu.”

            “Jadi?” ucapnya dengan bibir masih gemetar dan matanya tergenang oleh air mata. Perasaannya masih agak berantakan

            “Jadi kita pulang kampung hari ini, Bu,” jawab putranya meyakinkan. “Aku juga kangen sama Bapak dan capung-capung di belakang rumah. Hehe.”

            Tangisnya pecah dalam pelukan putra dan menantunya. Bukan karena sedih, tapi karena rasa bahagia yang luar biasa. Ia memiliki anak dan menantu yang mampu menerjemahkan kerinduan terpendamnya.

***


Lirik, 24 Februari 2019

images by: https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcdn.pixabay.com%2Fphoto%2F2017%2F10%2F30%2F08%2F16%2Fdragonfly-2901712_960_720.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fpixabay.com%2Fid%2Fphotos%2Fcapung-serangga-makro-warna-2901712%2F&docid=Rvg_phVYRuQr4M&tbnid=fpFckCEOPNc-2M%3A&vet=10ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ..i&w=960&h=652&safe=strict&bih=609&biw=1366&q=pemandangan%20kebun%20dan%20capung%20pixabay&ved=0ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ&iact=mrc&uact=8 

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate