Kini ia merasa lebih tinggi dari gunung
yang berdiri kokoh di kejauhan saat pagi, sebelum awan-awan kemudian menjadi
selimut langit yang menutupi penampakkannya. Membuat pohon-pohon jadi seukuran
bibit cabai di bawah kakinya. Rumah-rumah pun seperti kotak-kotak korek api
yang diserakkan di tanah lapang, dan jalan yang berkelok-kelok tampak seperti
kumpulan ular lidi berbagai ukuran yang saling berebut tikus kebun. Semuanya
jadi begitu kecil. Bahkan langit biru yang dulu luas pun hanya tersisa sepetak
saja di matanya, kini.
Padahal
dulu tak seperti ini. Hanya agar tampak selutut gunung saja, ia dan
teman-temannya harus pergi ke bukit yang paling tinggi. Melewati pepohonan yang
besar dan rindang, tak seukuran bibit cabai seperti sekarang, dan berlarian di
bawah naungan langit yang ukuran luasnya milyaran kali satu petak jendela
kamar.
Ah,
ia tiba-tiba jadi merindukan capung dan kunang-kunang yang ramai beterbangan di
kebun cabai dan tomat belakang rumahnya dulu. Bagaimana ukurannya saat ini ya? Jika
pohon saja sudah seukuran bibit cabai, tentu mereka lebih mungil dari titik
kecil coretan sebuah pena. Karena sudah lama sekali ia tak melihat
capung-capung itu. Apa lagi dari tempatnya berada sekarang. Tak ada lagi capung
atau pun serangga kecil yang terbang ke sana kemari lalu hinggap di
tempat-tempat yang tidak diduga. Yang terlihat hanya lampu-lampu sewarna sinar kunang-kunang
pada malam hari di sekujur dada kota. Ramai, bertumpuk-tumpuk.
Namun
ia tak bisa menyalahkan keadaan. Ia sepenuhnya sadar bahwa dirinya memang tak
seperti dahulu. Takdir sudah menetapkan kehidupannya saat ini. Berusia 60 tahun
dan tinggal di apartemen lantai paling atas bersama putra semata wayang dan
menantunya, di kota yang jauh dari kampung halaman. Setelah setahun yang silam
suaminya pergi meninggalkan dunia untuk selamanya.
Putranya memutuskan untuk membawanya ke
kota agar bisa lebih dekat dan mudah merawat dirinya yang mulai sakit-sakitan.
Semula ia menolak, ia tak mau pergi ke manapun, memilih menghabiskan hari tua
di rumahnya sendiri. Namun karena putranya berkeras untuk membawanya dengan
alasan khawatir, akhirnya ia mengalah, menerima keputusan itu dengan lapang
dada. Bagaimanapun, seorang ibu sebaiknya tak perlu menentang keinginan anak
yang ingin sekali berbakti dan membalas budi orang tua.
Hingga
tak terasa pun ternyata ia sudah sepuluh bulan lamanya tinggal di apartemen
teratas dalam gedung yang tinggi itu. Sepuluh bulan ia melihat langit luasnya
hanya sepetak jendela, pohon-pohon seukuran bibit cabai, dan gunung yang
menjulang di kampungnya lebih rendah dari lututnya ketika tirai pagi tersibak.
Meski kadang, tiap akhir pekan ia diajak turun oleh putra dan menantunya untuk melihat
segalanya dengan normal, menikmati suasana kota yang megah untuk menghalau
kejenuhan. Namun sayangnya, itu belum cukup untuk mengurangi kerinduannya
terhadap kampung kelahirannya, yang belum sekali pun sempat ia ungkapkan kepada
putra dan menantunya.
Dan hari itu, adalah hari dimana ia
berada di puncak rasa rindu yang paling tinggi. Bahkan lebih tinggi dari gedung
paling jangkung di jantung kota. Membuatnya seolah seperti terapung di ketinggian
udara, di bawah langit biru cerah yang begitu luas, dan sinar matahari menyihir
pakaian tidurnya jadi sewarna emas.
Tak jarang pun terlintas hal yang
kekanakan di benaknya. Ingin rasanya ia memiliki sepasang sayap capung yang
tipis dan kuat, agar ia bisa terbang, melesat dengan sangat cepat. Pergi
mengunjungi kampung halamannya kapanpun ia mau. Ziarah ke makam suaminya, bercengkerama
bersama para tetangga, dan menyaksikan capung-capung di kebun cabai dan tomat
belakang rumah, lalu kembali ke apartemen tepat waktu. Namun itu tetaplah hanya
keinginan semata. Impian yang tak cocok bagi wanita berumur lebih dari separuh
abad, kendati imajinasi seperti itu cukup manis dirangkai dalam pikiran dan
kerap menguap ke udara ketika putra dan menantunya pulang bekerja.
Sama seperti hari itu.
“Sudah pulang?” tanyanya.
“Iya, Bu. Hari ini lebih cepat. Ibu
sudah makan?”
“Ibu sakit?” tanya menantunya,
terdengar cemas, seraya berjalan mendekat ke arahnya, dan langsung mendekap
tubuhnya dari belakang.
“Tidak, kok. Ibu baik-baik saja.” Ia
tersenyum tipis sambil mengusap-usap lengan menantunya yang melingkar di
bahunya itu.
“Ya, syukurlah, Bu. Ibu jangan
capek-capek di sini, ya. Aku bisa, kok, mengatasi semuanya. Dan kalau Ibu
memang lagi tidak enak badan langsung bilang ke aku atau ke Mas Juli. Jangan
merasa segan atau pun takut.”
“Iya, Bu.” Putranya menyahut dari
belakang seraya mengusap dan mengecup rambutnya yang putih. “Kami tidak mungkin
membiarkan Ibu sakit. Kami memang bersalah, karena kami tidak punya banyak
waktu untuk Ibu tiap harinya. Tapi kami akan selalu berusaha membuat Ibu
bahagia.”
“Tidak apa-apa,” ujarnya sambil
tersenyum lagi. “Tidak usah dipikirkan. Ibu senang sekali kok berada di sini. Ibu
bisa lebih dekat sama kalian. Lagi pula pemandangan di sini indah. Ibu bisa
melihat banyak tempat dari sini. Jadi kalian tidak perlu khawatir lagi. Sudah
sana, kalian beres-beres dulu. Sebentar lagi maghrib.”
Ia menyudahi hari itu masih dengan
perasaan rindu yang membuatnya terbang ke langit, hingga mencapai
bintang-bintang yang jauh, dan membuat segalanya semakin terasa kecil. Ia sudah
memutuskan untuk tidak akan pernah mengutarakan keinginannya kepada putra maupun
menantunya. Barangkali, di langit malam ada banyak capung-capung ajaib yang
bisa mengantarnya pulang ke rumah kenangannya di kampung, meski hanya dalam
mimpi, khayalnya.
***
Pagi berikutnya tak seperti pagi yang
lalu. Biasanya menantunya itu sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan banyak hal,
menunjukkan betapa bertanggungjawabanya ia sebagai ibu rumah tangga, sementara dirinya
memandangi dada kota yang bertabur ratusan lampu sewarna kunang-kunang dari
balik jendela apartemen, untuk menyambut mentari berkilau keemasan, langit yang
bersih, dan gunung yang berdiri kokoh di kejauhan, sebelum awan menyelimuti.
Tapi,
entah apa alasannya, aktivitas tersebut tak terjadi pagi itu. Semuanya terasa
berbeda. Padahal hari libur pun menantunya tetap melakukan rutinitas itu. Putra
dan menantunya hanya tampak sesekali. Tak menyapanya seperti pagi-pagi yang
lain. Ada apa sebenarnya? Ia mulai menduga-duga. Dugaan baik maupun dugaan
buruk. Sesuai dugaan itu membawanya. Mungkinkah karena sikap dinginnya petang
kemarin?
Hingga
sinar surya menyibak tirai hari seutuhnya, semuanya masih sama. Tak ada yang
menyapanya pagi itu. Kerisauannya pun menggurita. Pepohonanan yang seukuran
bibit cabai seakan layu. Mungkin lebih baik ia yang menyapa lebih dulu untuk
menghangatkan suasana ruangan yang masih terasa beku. Barangkali putra dan
menantunya kelelahan.
Akan
tetapi, belum sempat ia beranjak untuk menghampiri menantunya yang sudah berada
di dapur, putranya menghadang dan berkata, “Ibu lekas berkemas ya, tapi tidak
perlu bawa pakaian banyak-banyak.”
Mendengar
perkataan putranya, jantungnya seketika berdetak sangat cepat sampai rasanya
mau melompat keluar. Kakinya bergetar hebat dan napasnya memburu. Apa yang
terjadi? Apakah putranya akan mengusirnya keluar dari apartemen ini? Apa
sikapnya yang dingin kemarin adalah sebuah kesalahan besar?
Tiba-tiba
muncul menantunya dari dapur. Melingkarkan tangannya ke tangan suaminya dan
berdeham. Perasaannya semakin tak enak.
“Ibu
jangan pikir yang macam-macam ya,” ujarnya lembut seraya tersenyum. Diluar
dugaanya bahwa menantunya akan marah. “Memang siapa yang berani mengusir ibu
dari sini? Mas Juli? Biar kujewer kupingnya dari sini sampai kantor kalau
sampai itu terjadi. Lihat, tuh, Mas, Ibu mau nangis. Hehe.”
“Haha.
Ibu pikir, aku ngusir Ibu?” putranya
bertanya dengan ekspresi tak percaya dan langsung berhambur memeluk erat
tubuhnya. “Ya ampun, maafkan aku, Bu. Aku sama Rena mau ngajakin Ibu pulang
kampung, lho. Tadi pagi kami diskusi buat ambil cuti seminggu.”
“Jadi?”
ucapnya dengan bibir masih gemetar dan matanya tergenang oleh air mata. Perasaannya
masih agak berantakan
“Jadi
kita pulang kampung hari ini, Bu,” jawab putranya meyakinkan. “Aku juga kangen
sama Bapak dan capung-capung di belakang rumah. Hehe.”
Tangisnya
pecah dalam pelukan putra dan menantunya. Bukan karena sedih, tapi karena rasa
bahagia yang luar biasa. Ia memiliki anak dan menantu yang mampu menerjemahkan
kerinduan terpendamnya.
***
Lirik, 24 Februari 2019
images by: https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcdn.pixabay.com%2Fphoto%2F2017%2F10%2F30%2F08%2F16%2Fdragonfly-2901712_960_720.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fpixabay.com%2Fid%2Fphotos%2Fcapung-serangga-makro-warna-2901712%2F&docid=Rvg_phVYRuQr4M&tbnid=fpFckCEOPNc-2M%3A&vet=10ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ..i&w=960&h=652&safe=strict&bih=609&biw=1366&q=pemandangan%20kebun%20dan%20capung%20pixabay&ved=0ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ&iact=mrc&uact=8
images by: https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcdn.pixabay.com%2Fphoto%2F2017%2F10%2F30%2F08%2F16%2Fdragonfly-2901712_960_720.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fpixabay.com%2Fid%2Fphotos%2Fcapung-serangga-makro-warna-2901712%2F&docid=Rvg_phVYRuQr4M&tbnid=fpFckCEOPNc-2M%3A&vet=10ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ..i&w=960&h=652&safe=strict&bih=609&biw=1366&q=pemandangan%20kebun%20dan%20capung%20pixabay&ved=0ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ&iact=mrc&uact=8
No comments:
Post a Comment