CERPEN

Monday, May 13, 2019

CERPEN M.Z. BILLAL_MERINDUKAN CAPUNG-CAPUNG



Kini ia merasa lebih tinggi dari gunung yang berdiri kokoh di kejauhan saat pagi, sebelum awan-awan kemudian menjadi selimut langit yang menutupi penampakkannya. Membuat pohon-pohon jadi seukuran bibit cabai di bawah kakinya. Rumah-rumah pun seperti kotak-kotak korek api yang diserakkan di tanah lapang, dan jalan yang berkelok-kelok tampak seperti kumpulan ular lidi berbagai ukuran yang saling berebut tikus kebun. Semuanya jadi begitu kecil. Bahkan langit biru yang dulu luas pun hanya tersisa sepetak saja di matanya, kini.

            Padahal dulu tak seperti ini. Hanya agar tampak selutut gunung saja, ia dan teman-temannya harus pergi ke bukit yang paling tinggi. Melewati pepohonan yang besar dan rindang, tak seukuran bibit cabai seperti sekarang, dan berlarian di bawah naungan langit yang ukuran luasnya milyaran kali satu petak jendela kamar.

            Ah, ia tiba-tiba jadi merindukan capung dan kunang-kunang yang ramai beterbangan di kebun cabai dan tomat belakang rumahnya dulu. Bagaimana ukurannya saat ini ya? Jika pohon saja sudah seukuran bibit cabai, tentu mereka lebih mungil dari titik kecil coretan sebuah pena. Karena sudah lama sekali ia tak melihat capung-capung itu. Apa lagi dari tempatnya berada sekarang. Tak ada lagi capung atau pun serangga kecil yang terbang ke sana kemari lalu hinggap di tempat-tempat yang tidak diduga. Yang terlihat hanya lampu-lampu sewarna sinar kunang-kunang pada malam hari di sekujur dada kota. Ramai, bertumpuk-tumpuk.

            Namun ia tak bisa menyalahkan keadaan. Ia sepenuhnya sadar bahwa dirinya memang tak seperti dahulu. Takdir sudah menetapkan kehidupannya saat ini. Berusia 60 tahun dan tinggal di apartemen lantai paling atas bersama putra semata wayang dan menantunya, di kota yang jauh dari kampung halaman. Setelah setahun yang silam suaminya pergi meninggalkan dunia untuk selamanya.

Putranya memutuskan untuk membawanya ke kota agar bisa lebih dekat dan mudah merawat dirinya yang mulai sakit-sakitan. Semula ia menolak, ia tak mau pergi ke manapun, memilih menghabiskan hari tua di rumahnya sendiri. Namun karena putranya berkeras untuk membawanya dengan alasan khawatir, akhirnya ia mengalah, menerima keputusan itu dengan lapang dada. Bagaimanapun, seorang ibu sebaiknya tak perlu menentang keinginan anak yang ingin sekali berbakti dan membalas budi orang tua.

            Hingga tak terasa pun ternyata ia sudah sepuluh bulan lamanya tinggal di apartemen teratas dalam gedung yang tinggi itu. Sepuluh bulan ia melihat langit luasnya hanya sepetak jendela, pohon-pohon seukuran bibit cabai, dan gunung yang menjulang di kampungnya lebih rendah dari lututnya ketika tirai pagi tersibak. Meski kadang, tiap akhir pekan ia diajak turun oleh putra dan menantunya untuk melihat segalanya dengan normal, menikmati suasana kota yang megah untuk menghalau kejenuhan. Namun sayangnya, itu belum cukup untuk mengurangi kerinduannya terhadap kampung kelahirannya, yang belum sekali pun sempat ia ungkapkan kepada putra dan menantunya.

Dan hari itu, adalah hari dimana ia berada di puncak rasa rindu yang paling tinggi. Bahkan lebih tinggi dari gedung paling jangkung di jantung kota. Membuatnya seolah seperti terapung di ketinggian udara, di bawah langit biru cerah yang begitu luas, dan sinar matahari menyihir pakaian tidurnya jadi sewarna emas.

Tak jarang pun terlintas hal yang kekanakan di benaknya. Ingin rasanya ia memiliki sepasang sayap capung yang tipis dan kuat, agar ia bisa terbang, melesat dengan sangat cepat. Pergi mengunjungi kampung halamannya kapanpun ia mau. Ziarah ke makam suaminya, bercengkerama bersama para tetangga, dan menyaksikan capung-capung di kebun cabai dan tomat belakang rumah, lalu kembali ke apartemen tepat waktu. Namun itu tetaplah hanya keinginan semata. Impian yang tak cocok bagi wanita berumur lebih dari separuh abad, kendati imajinasi seperti itu cukup manis dirangkai dalam pikiran dan kerap menguap ke udara ketika putra dan menantunya pulang bekerja.

Sama seperti hari itu. 
“Sudah pulang?” tanyanya.

“Iya, Bu. Hari ini lebih cepat. Ibu sudah makan?”

Ia hanya mengangguk seraya memandang ke langit sore yang mulai berpendar jingga. Hatinya masih dipenuhi gumpalan rindu yang menjelma awan kelabu. Ingin ia utarakan keinginannya itu. Namun ia tak mau mengganggu kesibukan putra dan menantunya yang tiap hari harus bekerja keras.

“Ibu sakit?” tanya menantunya, terdengar cemas, seraya berjalan mendekat ke arahnya, dan langsung mendekap tubuhnya  dari belakang.

“Tidak, kok. Ibu baik-baik saja.” Ia tersenyum tipis sambil mengusap-usap lengan menantunya yang melingkar di bahunya itu.

“Ya, syukurlah, Bu. Ibu jangan capek-capek di sini, ya. Aku bisa, kok, mengatasi semuanya. Dan kalau Ibu memang lagi tidak enak badan langsung bilang ke aku atau ke Mas Juli. Jangan merasa segan atau pun takut.”

“Iya, Bu.” Putranya menyahut dari belakang seraya mengusap dan mengecup rambutnya yang putih. “Kami tidak mungkin membiarkan Ibu sakit. Kami memang bersalah, karena kami tidak punya banyak waktu untuk Ibu tiap harinya. Tapi kami akan selalu berusaha membuat Ibu bahagia.”

“Tidak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum lagi. “Tidak usah dipikirkan. Ibu senang sekali kok berada di sini. Ibu bisa lebih dekat sama kalian. Lagi pula pemandangan di sini indah. Ibu bisa melihat banyak tempat dari sini. Jadi kalian tidak perlu khawatir lagi. Sudah sana, kalian beres-beres dulu. Sebentar lagi maghrib.”

Ia menyudahi hari itu masih dengan perasaan rindu yang membuatnya terbang ke langit, hingga mencapai bintang-bintang yang jauh, dan membuat segalanya semakin terasa kecil. Ia sudah memutuskan untuk tidak akan pernah mengutarakan keinginannya kepada putra maupun menantunya. Barangkali, di langit malam ada banyak capung-capung ajaib yang bisa mengantarnya pulang ke rumah kenangannya di kampung, meski hanya dalam mimpi, khayalnya.

***

            Pagi berikutnya tak seperti pagi yang lalu. Biasanya menantunya itu sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan banyak hal, menunjukkan betapa bertanggungjawabanya ia sebagai ibu rumah tangga, sementara dirinya memandangi dada kota yang bertabur ratusan lampu sewarna kunang-kunang dari balik jendela apartemen, untuk menyambut mentari berkilau keemasan, langit yang bersih, dan gunung yang berdiri kokoh di kejauhan, sebelum awan menyelimuti.

            Tapi, entah apa alasannya, aktivitas tersebut tak terjadi pagi itu. Semuanya terasa berbeda. Padahal hari libur pun menantunya tetap melakukan rutinitas itu. Putra dan menantunya hanya tampak sesekali. Tak menyapanya seperti pagi-pagi yang lain. Ada apa sebenarnya? Ia mulai menduga-duga. Dugaan baik maupun dugaan buruk. Sesuai dugaan itu membawanya. Mungkinkah karena sikap dinginnya petang kemarin?

            Hingga sinar surya menyibak tirai hari seutuhnya, semuanya masih sama. Tak ada yang menyapanya pagi itu. Kerisauannya pun menggurita. Pepohonanan yang seukuran bibit cabai seakan layu. Mungkin lebih baik ia yang menyapa lebih dulu untuk menghangatkan suasana ruangan yang masih terasa beku. Barangkali putra dan menantunya kelelahan.

            Akan tetapi, belum sempat ia beranjak untuk menghampiri menantunya yang sudah berada di dapur, putranya menghadang dan berkata, “Ibu lekas berkemas ya, tapi tidak perlu bawa pakaian banyak-banyak.”

            Mendengar perkataan putranya, jantungnya seketika berdetak sangat cepat sampai rasanya mau melompat keluar. Kakinya bergetar hebat dan napasnya memburu. Apa yang terjadi? Apakah putranya akan mengusirnya keluar dari apartemen ini? Apa sikapnya yang dingin kemarin adalah sebuah kesalahan besar?

            Tiba-tiba muncul menantunya dari dapur. Melingkarkan tangannya ke tangan suaminya dan berdeham. Perasaannya semakin tak enak.

            “Ibu jangan pikir yang macam-macam ya,” ujarnya lembut seraya tersenyum. Diluar dugaanya bahwa menantunya akan marah. “Memang siapa yang berani mengusir ibu dari sini? Mas Juli? Biar kujewer kupingnya dari sini sampai kantor kalau sampai itu terjadi. Lihat, tuh, Mas, Ibu mau nangis. Hehe.”

            “Haha. Ibu pikir,  aku ngusir Ibu?” putranya bertanya dengan ekspresi tak percaya dan langsung berhambur memeluk erat tubuhnya. “Ya ampun, maafkan aku, Bu. Aku sama Rena mau ngajakin Ibu pulang kampung, lho. Tadi pagi kami diskusi buat ambil cuti seminggu.”

            “Jadi?” ucapnya dengan bibir masih gemetar dan matanya tergenang oleh air mata. Perasaannya masih agak berantakan

            “Jadi kita pulang kampung hari ini, Bu,” jawab putranya meyakinkan. “Aku juga kangen sama Bapak dan capung-capung di belakang rumah. Hehe.”

            Tangisnya pecah dalam pelukan putra dan menantunya. Bukan karena sedih, tapi karena rasa bahagia yang luar biasa. Ia memiliki anak dan menantu yang mampu menerjemahkan kerinduan terpendamnya.

***


Lirik, 24 Februari 2019

images by: https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fcdn.pixabay.com%2Fphoto%2F2017%2F10%2F30%2F08%2F16%2Fdragonfly-2901712_960_720.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fpixabay.com%2Fid%2Fphotos%2Fcapung-serangga-makro-warna-2901712%2F&docid=Rvg_phVYRuQr4M&tbnid=fpFckCEOPNc-2M%3A&vet=10ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ..i&w=960&h=652&safe=strict&bih=609&biw=1366&q=pemandangan%20kebun%20dan%20capung%20pixabay&ved=0ahUKEwi-5cqcr5fiAhVumK0KHZoDBIQQMwhFKAUwBQ&iact=mrc&uact=8 

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate