CERPEN

Saturday, July 30, 2016

KUMPULAN PUISI Hijrah BillaLogica; Catatan Hijrah



Salamualaykum,,,, :D Hai, sobaaaaattt... ini adalah buku puisi pertama yang diterbitkan secara indie oleh Pena House Publishing...  dan kali ini saya posting secara keseluruhan puisi-puisi yang ada di dalam buku Catatan Hijrah tersebut.
Mohon doanya, agar saya dapat menyelesaikan buku puisi selanjutnya ataupun kumcer dan novel. mudah-mudahan ada jalan untuk terbit di penerbit mayor.. xixixixi.. amiiinn... terima kasih bagi yang sudah berkunjung dan membaca yaaaa.aa.....
salam santun satu pelukan hangat..... Hugggssss... ! :D

Kata Pengantar
Tak pernah berhenti memuja Tuhan, Allah SWT yang selalu mengiringi derap langkah pada keberkahan meski khilaf dan salah sering dilakukan. Baginda Rasul Muhammad, adalah sumber energi yang senantiasa menjadi pedoman sebagai peta untuk menemukan jalan hidup yang damai. Semoga siapa saja menjadi pengikut yang damai dalam surgaNya kelak bersama beliau.
Buku Kumpulan Puisi “Catatan Hijrah” ini merupakan ungkapan hati penulis sepanjang tahun 2015. Ada banyak kisah dan pembelajaran yang didapat dari berbagai pengalaman, baik yang nyata dirasakan ataupun  menyaksikan lewat media, baik televisi atapun media massa. Semuanya tertuang dengan hati yang tulus. Agar bisa menjadi materi pelajaran dan evaluasi diri yang baik untuk ke depannya baik bagi penulis ataupun pembaca.
Semoga rampaian puisi yang terdapat dalam buku ini bisa dinikmati dengan baik dan menjadi sumber inspirasi bagi penulis lainnya. Penulis menantikan kritik dan saran kepada semua yang sudah membaca kumpulan puisi ini.

Lirik, Desember 2015


Hijrah BillaLogica




Daftar Isi

1. Pelangi Api
2. Jum’at Berparuh
3. Mangkuk Jiwa
4. Dalam Sebuah Kenangan ( Cerita dari Emak )
5. Fosil Rindu
6. Sepasang Pemabuk
7. Ikrar Pagi
8. Cinta Dua Pasal
9. Sepotong Ingatan Di Atas Meja
10. 3 Jam 3 Hari
11. Suara Di Bibir Jendela
12. Luka Tawanan
13. Jangan Tenggelam Di Kapal Dajjal 
14. Apakah Seperti Ini?
15. King of Peace 
16. Yang Runyam
17. Kepadamu Yang Kupanggil Botak
18. Rembulan Subuh
19. Kekasihku Kukang
20. Nyawa Untuk Rembulan
21. Rindu Kepadamu
22. Hujan Perjaka
23. Peradaban
24. Lelaki Di Tepi Timur
25. Aku Dan Kabut
26. Adakah Jalan
27. Negeri Dalam Rahim
28. Belajar Menulis Puisi
29. Perempuan Bijak
30. Sebuah Kepercayaan
31. Jejak Darah
32. Sebuah Ledakan
33. Tanah Perang
34. Kenangan 
35. Dengar ( Aku Tak Pernah Meminta )
36. Kurban 
37. Epitaf
38. Secangkir Harap
39. Rakit Hati
40. Monas Di Jantung Jakarta
41. Kami Pinjam Ranjang Kursi Pada Raja Negeri
42. Malam Larut, Malam Bermunajah
43. Dua Pohon
44. Kau Tak Pernah Sampai
45. Jangan Jadi Pembunuh Masa Depan
46. Janji Hati
47. Cantik
48. Guru Adalah
49. Memilihmu
50. Catatan Hijrah










1. Pelangi Api

Apa kau membakar dua musim
sekaligus dalam tungku dapurmu?

Hari-hari menjadi gelap dan sakit
padahal hangat menjadi selimut dalam lelap
ada yang salah dengan percakapan dua ekor
ayam jantan di dalam kandang 
yang kudengar usai senja kemarin
mereka  berseteru dengan berani dan bimbang
tentang pagi yang datang bersama hujan besar

Aku takut menghadapi
esok apakah muncul pelangi dalam kobaran
api yang bekilat-kilat tak ramah
dan jemarinya merengkuh sampai
masuk ke dalam rahim bumi?

Jangan katakan sesuatu
aku ingin tidur lebih cepat
                          malam ini
Lirik,  Januari 2015



2. Jum’at Berparuh

Pukul delapan lebih lima menit
Di sekolah
Anak-anak mengkhatamkan yaasin
Wajah mereka merekah seperti kembang wora-wari
Dan burung-burung madu menghampiri
Memberi kabar tentang sejumlah mimpi
Yang mereka tanam di tempat tersembunyi
Inilah pagi untuk berjanji
Inilah pagi untuk mengasihi

Jadilah burung yang mematuk-matuk duka
Jadilah bunga yang tak mati

SDN 006 Seko Lubuk Tigo, Januari 2015






3. Mangkuk Jiwa

kekasih, betapa pun meradangnya rinduku
siluetmu menjadi debu
dan aku terlumat mimpiku
sendiri dan terjatuh
ke dalam mangkuk jiwa yang sunyi
lirih

tabuh-tabuhan gairahku
kini tak dapat diterjemah rerumput
yang bersenandung di tanah lapang
manakala kita pernah menyesap semangkuk
madu penuh rindu
dulu

kekasih, kepadamu yang hilang
menjadi napas dari angin
tak ada doa yang rapuh
biarlah menjadi batu
sebagai makam untuk rinduku
kini
Kamar Kayu,  Januari  2015 


4. Dalam Sebuah Kenangan
:(cerita dari emak)

Kemarin dulu. waktu masih kecil
emak cerita padaku tentang kancil nakal
yang suka mencuri timun di ladang pak tani
“berlari dengan lincah sang kancil  dengan seribu tipudaya 
yang terus bertunas. seperti itulah”

Kemarin dulu. waktu masih di sekolah dasar
emak cerita padaku tentang kapal Nabi Nuh
dan menyuruhku berenang ke  Pulau Tuhan 
“saat itu larilah, nanti engkau akan nampak tangan Tuhan meraihmu.”

Kemarin dulu. waktu masih di tengah pertama
emak cerita padaku tentang orang-orang suci
yang berkonspirasi memecah bulan
“mereka berkumpul seperti kayu-kayu bakar
mengelilingi tungku gosong lalu membakar diri sendiri”

Kemarin dulu. waktu masih di tengah atas
emak cerita padaku tentang payung dan rotan
“bawalah payung di segala musim jika kelak kau rindukan emak,
dan bawalah rotan di tangan yang lain.”

Kemarin dulu. waktu masih pertama beruntung
emak cerita padaku tentang zaman dinosaurus 
dan paku-paku lalapan
“gigi-gigi itu terlatih  mengoyak mimpi dan harapan dari bangsa yang kecil.”

Kemarin dulu. ya!
baru kemarin
emak cerita padaku tentang huruf-huruf yang kehausan
“suatu hari ketika engkau menulis, maka jangan pernah menipu mereka
jangan membuatnya lebih haus”


Di Dapur Emak, Januari 2015







5. Fosil Rindu

Berbatu-batu tahun yang lalu
Seorang anak terjatuh dari perahu
Dia tidak mati dan membiru
Hanya membatu
Pada sebuah kubang rindu


Lirik, Januari 2015












6. Sepasang Pemabuk

Sayang, mataku jatuh pada dua sayap ungumu
saat  kau mengepak merangkul
dadaku pada dadamu dan kita meniru
capung basah yang menyembur ke segala penjuru
benih-benih di ladang padi

Oh, masa tidak pernah kelam
meski hujan rebas membasahi angkaangka
jam dinding yang kerap tersandung kematian baterai
senyummu seperti semangkuk arak
memabukkan sampai  aku tak ingat waktu
saat  kuteguk tiap asmara tak terbendung

Sayang, apa kita harus minum kopi?
yang pahit biar mesra kita bertambah
supaya saat terbangun di pagi buta
tubuh kita mengerut dalam kenangan
dan dingin menjadi selimut yang merapatkan

Lirik - Dingin, Februari 2015




7. Ikrar Pagi

Dalam tujuh baris kukatakan padamu
Di luar musim
Mata capung bertemu mata kupu-kupu
Dan anak babi berlari kecil di lumpur kabur dari hutan
Berdamailah. Berdamailah. Berdamailah 
Berjanjilah. Berjanjilah. Berjanjilah
Dalam ikrar pagi anak kampung


Kebun Rumah, Februari 2015










8. Cinta Dua Pasal
: kau dan aku

Pasal Satu:
Kau, merantaulah
   Cinta itu dinamis

Pasal Dua:
Kau, terbakarlah
   Cinta itu saling rindu


Lirik,  Februari 2015









9. sepotong ingatan di atas meja

aku rindu padamu 
ketika kau izinkan aku memetik 
anggur yang tumbuh di dadamu
dan saat itu terlalu cepat  
kesombongan diri menyeka cinta
yang mengalir di dahi

ini sepotong ingatan di atas meja
bersama beberapa mangkuk kegembiraan
tapi tak sedikitpun aku merasa lapar
karena sesal tumbuh lebih gemuk
dalam perutku
dan teruntukmu air mataku jatuh

Lirik - Merindu, Februari 2015





10. 3 Jam 3 Hari

Jam Pertama Hari Pertama:
Lembaran kertas dibolak-balik dalam penundaan
dan pada detik terakhir ujung pena tinta
tajam menghunus jantung melukai
diikuti kilatan mata digital dan liukan 
peluh yang terjatuh.

Jam Kedua Hari Kedua :
Bual-bual saling melempar bibir
yang sudah dipenuhi busa dusta.
sementara harga sabun colek mendadak
selangit. anakanak nanti ke sekolah tanpa baju
dicuci mungkin.

Jam Ketiga Hari Ketiga:
Pintu dibuka lagi
ramai lagi dan gila lagi
ruangan besar seperti bolu sarang semut
di depan televisi kartun baru sedang diputar
baku hantam katanya cara mengirimkan pesan masa depan.
Ruang Rapat, Februari 2015
11. Suara Di Bibir Jendela
Telah kau saksikan air mata dari senja
Yang menguning di halaman rumah kita
Banyak hal yang berubah usai sejarah
Berlipatganda pada luka

Dan di koran-koran yang berkoar
Tentang kebenaran yang berlapis-lapis
Seperti tumpukan kue
Entah mana yang fakta

Kita hanya berani memandang
Seperti pedang berang
Dari balik jendela usang
Berbisik tentang langkah kaki orang-orang


Lirik – Kamar Kayu ,  Februari 2015




12. Luka Tawanan
:Goto, Kassasbeh

“……..membenci bukan perilaku manusia
menghakimi adalah wilayah Tuhan”

kematian adalah bunga sakura
yang terjatuh bukan karena tak cantik
kau akan lihat bagaimana
cinta penuh darah
tumbuh dengan harum di bukit bebatuan
tempat memandang terakhir
dan di sana ada kolam bening untuk membasuh
muka penuh lelah luka

pernah dengar cerita di atas awan?
sepuluh malaikat sedang berunding
melempar batu-batu durja ke dalam 
lambung neraka
tak ada sakit maag di sana
minumlah air yang mengalir dari
bara yang panas 

tak ada rasa sakit kepada Goto dan Kassasbeh
semua sudah hilang bersama
air mata terakhir luka tawanan

Di bawah Pinus Halaman Sekolah, Maret 2015




13. Jangan Tenggelam di Kapal Dajjal

- matamu tutuplah
jangan rapuh meski nanti luruh
kisah kita berdua
hanya dua kepalan jaraknya
pilihan yang membawa kita ke mana

- memilih diam
mereka memilih datang
dan nyawa kita bukan plastik di tempat
pembuangan
memusnah dalam serbuan
apa bangsa kita bodoh?

- di tanganmu ada pedang bersuara takbir
tapi wajahmu merona takut
hey, acungkan!
kau bukan buah nangka yang busuk
menghadaplah ke laut yang sudah hitam
katakan untuk syuhada

- lari dan ukir huruf alif
sepanjang garis pantai
bilamana kau berani untuk kami
doa-doa malaikat mendobrak pintu langit
memburu kapal, mereka dajjal
dan jangan tenggelam dalam rayuan

Lirik – Saat Banjir, Maret 2015





14. Apakah Seperti Ini?

Ada gunung es dalam perutku
Ada beruang putih mengambang tak berdaya
Ada cahaya yang menggantung penuh salju
Semua serba putih
Badanku kaku
Apakah seperti ini?
Mati


Dipan-Bergoyang, Maret 2015





15. King of  Peace

singa bernama Aslan menuruni lembah Narnia
tampak gagah dan garang
namun tatapannya sedamai jingga di garis timur

dan ketika ia mengaum segalanya bergerak
yang tertidur  yang terluka, berkata, “itu Aslan!”
seperti Lucy saat tak percaya cinta 
menyembuhkan segala jenis luka

aku juga melihatnya ketika perang besar terjadi 
di negeri kami dan tubuh-tubuh bergelimpangan
bangsa penuh dengki melahap harapan kami
dia berdiri di bukit penuh kepulan asap sekejap lalu mengaum
membekukan tiap kejahatan yang membakar dan menusuk
ah, Aslan
perutku bergetar merasakan keberanian yang bergejolak
dan peri daun menyampaikan pesan darinya
tiap yang bernama berani damai dan berani bertempur

Kamar Kayu, Maret 2015






16. Yang Runyam

yang runyam adalah menemukan bangkai pengerat
di bilik rumahmu. tapi sekelompok lalat
enggan mendekat, bahkan hidung anjing aparat
menjadi tersumbat bukan karena bau yang lekat
melainkan mantera rapat
yang kau tanam di sekat jerat

yang runyam adalah tangkai sapu
patah berdebu. di balik pintu.
dan melulu tentang ibu
yang tak sembuh di dapur mengomel bisu subuh
tak ada cabai tak ada bawang tak ada bumbu
anak bujang tangan dipangku

yang runyam adalah cinta yang kucing
demi daging rela jadi maling,
lalu gila kawin, dan pesta makan beling
tubuh wangi tapi napas bau pesing
oh kepada rembulan yang kuning
kurapalkan puisi untuk asmara dalam puing-puing
Lirik, April 2015




17. kepadamu yang kupanggil botak
:kawan sehati

musim rontok sedang terjadi di kepalaku, katamu
padahal Tuhan baru saja menjatuhkan cahaya musim semi
ke dalam kolam teratai
buncit, panggilmu senja itu dari kejauhan di langit seberang
“apa kita benar-benar kembar?”

aku tersentak
tidak, jawabku lirih
mataku perih jika memandangmu kian tak berambut
botak, kita tak sedarah tapi kita sehati
dan kamu adalah kembar bagiku
rasa sakit pada jantung kita santap
seperti buah apel yang merah menyala

Lirik menuju Tasikmalaya, April 2015





18. rembulan subuh

di separuh napas menjelang
pagi mataku takjub pada beku
ingatanku melayang jauh
menyeberangi julang tembok waktu
meliuk di atas kubus-kubus harapan
yang tergambar di belahan dua tangan
pada lengkungan syahdu rembulan subuh

angin menelanjangi tiap senti tubuh
menguras kehangatan
mengurai cerita titik-titik embun
tentang jiwa-jiwa baik yang membumbung
meninggalkan rumah napas bersarang
rembulan subuh
aku takjub pada beku, tetaplah begitu

Lirik – Waktu Subuh, April 2015



19. Kekasihku Kukang

Malam yang membekukan urat nadi
pertanda langkah kaki kita mesti terhenti. di perbatasan 
kota yang mulai sunyi ini.
suaramu lamat sampai kepada 
telingaku yang rusak. oleh palu hakim
mengenai sidang-sidang perasaan.
dan saat kita saling memandang punggung,
aku telah menanam sebilah belati ke dalam perutku.
memastikan diri bahwa esok aku dapat menikam
cahaya yang terjatuh dalam segelas ramuan.

Dan kepadamu, kekasihku
kukang. yang bertahan pada puncak-puncak tinggi,
pada daun yang rimbun harapanmu tersangkut
aku telah menimbang rasa pada buluh yang kuraut
sepagian sebelum percakapan mendedah dada
kini aku hendak bertanya padamu
bilamana nanti kau jatuh dari cengkeraman lambanmu
bolehkah aku hendak menjadi kucing hutan
bagi daging gempalmu
Lirik, April 2015


20. Nyawa untuk Rembulan

Malam ini
Berdiri tengadah
Melambaikan belati hendak mengiris selangkangan
Dan memberi bantuan napas kepadamu
Ini yang ‘kan kucatat dalam pengalaman yang rumit


Lirik, Mei 2015 




21. Rindu Kepadamu

Kugelar kenangan di atas dada
Lalu menyamarkan waktu yang terpelihara sejak dulu
Mendentingkan keabadian menguntai kebebasan

Inilah bahasaku yang sedikit membeku
Sulit mengukur suhu rindu bagiku
Meski tak letih menumpah mimpi dalam mangkuk tidur
Saat meditasi denyut nadi 

Dan begitulah ruhku
Membuat jejak senyuman 
Karena selalu teringatmu


Lirik, Mei  2015





22. Hujan Perjaka

hujan perjaka
mata terpejam
keinginan bertiang

hujan perjaka
rindu parau
bertalu-talu

hujan perjaka
duka berpaku
susupi paru-paru

hujan perjaka
jiwa bertinta
melukis pipi merona

hujan perjaka
kembara liar
erami telur-telur

hujan perjaka
syahadat melupa
percintaan sia-sia

hujan perjaka
hujan resah
tak ada gairah

hujan perjaka
hujat mendurja
membabibuta


Lirik, Mei 2015








23. Peradaban

yang menjadi gunung
dan yang menjadi lautan
adalah air mata yang tertuang
dari secangkir rindu dan harapan milyaran tahun silam
di genggaman jemari Tuhan

dapatkah kau rasakan kini luka yang terparut diantaranya?
ketika racun nurani dan debu perang
bermekaran seperti mawar yang tumbuh di sepanjang jalan tersengal
tiap kali kelokan mengarah ke jurang yang dalam

maka aku tak dapat banyak berkata
sebab lisan manusia seringkali berubah seperti kulit bunglon
hanya pada segenap riwayat kelak itu dapat dikenang
ketika kalian tak lagi bisa bernapas
dan peradaban setiap yang berdiri membekas di atas tubuh harapan

Lirik, Mei 2015 


24. Lelaki Di Tepi Timur

Di atas bukit berangin
Dia mendengar senandung memuja Tuhan
Kepada pohon-pohon gundul yang baru saja
Mereguk sisa kemarau yang rasanya manis
Dengan cawan rindu dengan tangan kirinya

“Biarkanlah aku bersuka dahulu, sebab aku tak bisa menangis.”
Katanya pada daun yang jatuh kuning

Hidangan pagi sebelum senja terkembang
Telah terbuka di hadapnnya didera angin
Sementara ia terus menghitung
Telah lebih ribuan kali butiran tasbih mengulang zikir
Lelaki itu
Kini telah berada di tempat yang tenang
Menunggu waktu pagi sampai pagi berikutnya
Di sisi paling timur 

Lirik, Mei 2015 





25. Aku dan Kabut 

Aku dan kabut adalah kembar
Sejak tawa kami di gubuk samasama membakar
Menimbun langit dengan gelap berlembar-lembar

Aku dan kabut adalah rindu
Menjerat burung-burung di perdu-perdu
Ada yang lucu dan tersedu-sedu

Aku dan kabut adalah waktu
Percintaan liar sampai membatu
Suaraku mendesau sampai pada pohon-pohon yang kini menjadi hantu

Lirik, Juni 2015 







26. Adakah Jalan

adakah jalan bagiku
bilamana kutersesat sendirian
di perjalanan rumit menentang rasa haus
dan kedinginan
apakah ini hijrah ya Tuhan?
air mataku mencari sungai yang dalam
agar aku tak perlu risau
kesalahanku dalam bertanya
tentang seberapa banyak derita
yang Kau tanam dalam perutku

oh, Tuhan
aku seperti terbang dalam balon udara
mengapung lalu terhempas dan tertusuk
kubah tempat seruan dikumandangkan
lantas adakah jalan
bagiku yang tersesat sendirian?
aku butuh sebuah pelukan

Lirik, Juni 2015 





27. Negeri Dalam Rahim

tidak ada yang jahat dulunya di tempat ini
kami hanya memandangi panorama dengan mata tertutup
mengisi perut dengan cahaya usai matahari terbenam
mendengar senandung suci dan sanad periwayat mesjid
dan menunggu bintang jatuh dari langit?

kalau lapar kami tak menangis
berlari ke lembah dan duduk membelai perut ibu
kalau takut kami tak mengerut
meski anjing melolong pada malam yang larut
kami tak punya ragam keinginan
sebab di sini negeri dalam rahim
tempat kami hanya membaca perjanjian
meminum doa dan mencerna puji serta cerca

tapi nanti
pada waktu yang ditentukan
kami takkan lagi seperti ini
lihat saja nanti
Lirik,  Juni 2015





28. Belajar Menulis Puisi

sampai pada umurku yang renta
tak mudah bagiku menjadi penyair
tak ada kata yang sempurna
saat jemariku bertemu kertas-kertas yang telah usang
bersama usia
debu di perpustakaan sekolah menjadi daki kenangan
cinta dan asmara masa sekolah sekedar peledak ingatan
ya begitulah
sampai pada saat ini aku telah
terjebak puluhan tahun dalam puisi-puisi yang menyembunyikan
keinginan dari harapan
aku hanya tahu
puisi seperti pusaran galaksi di langit ilahi
dan itu rumit pada lidah sadikku

Lirik, Juli 2015 




29. Perempuan Bijak
: Elmi Eliy


tawa kecil kita adalah daun ketapang yang jatuh di tanah
halaman tempat berbagi resah
meski kini jarang bersua takkan ada burung pematuk duka
di kepala
masih kulihat siluetnya dalam kabut pagi ini
rasanya tak mengakui keheningan
kulihat ia memangkas rapi pohon berbicara tentang
ragam rekam dialog di sisinya
ialah perempuan bijak yang menuntun langkah buta
dari kaki nol sampai pada rambut sembilan
aku merindukannya, induk di kandang pengetahuan
“tempat ini akan rubuh dan kumuh tanpamu”
namun kini yang kulihat adalah tubuh jangkung yang tak
peduli pada daun kering terserak
ia asyik memilah berita dalam koran lalu berpindah duduk
menuju parkiran 
ya ini dia, kepala yang menurut pada ekor
aku berdiam di sudut meja dan bergumam 
dalam jantung
Lirik, Juli 2015



30. Sebuah Kepercayaan

laksana dua jantung yang tertanam
bilamana yang satu terpanah
yang satu tak takut untuk berani berdetak
sebab ia meyakini harmoni
antara ketulusan dan keegoisan
begitulah cara untuk bertahan pada kepercayaan

Lirik, Juli 2015 












31. Jejak Darah 

Jika tak ada luka
Kampung halaman kita tak akan pernah ada
Dan setiap darah yang tertumpah
Adalah sumpah cinta dan setia
Atas nama negeri yang pernah terjajah

Kita berada pada lekuk tubuh bangsa yang sama!
Kisah sejarah tidak untuk terulang duka
Namun seperti bahan bakar semangat yang kian membara
Merdeka!

Kepadamu wahai Tuan Pahlawan
Tuhan segala negeri tidak menutup mata
Atas nama Indonesia, negeri yang pernah terjajah
Luka cinta, luka setia, dan luka duka
Adalah cerita sepanjang masa membentang asa


Lirik – Menjelang Upacara, Agustus 2015 






32. Sebuah Ledakan

kepalaku terasa amat sakit
ada peperangan di sana
lihat bagaimana si senang terombang-ambing
badai yang dihempaskan si murka
mataku menjerit tak bisa terkatup
ketika nuklir dilepaskan ke kebun si duka
hendak menangis tapi sekarang sedang kemarau
hanya ada peluh yang menjadi daki
ini ledakan yang mematikan
berharap Tuhan datang dan memberi ciuman kemaafan

Lirik, Agustus 2015 








33. Tanah Perang


sebelum pukul duabelas siang
pada hari jumat
aku menyendiri dalam ruang hampa
yang kuberi nama meraung
tapi sunyi selagi mataku melihat pertempuran
dan jemuran bersimbah darah
mata kakiku mengalirkan air mata dari abu
semua liku retak dan apa saja terseok sendiri
menuju pondok bersujud

rencananya kami akan naik perahu
esok pagi menyalami ikan-ikan dengan tangis haru
aku akan sangat rindu dengan dinding kamar
teman bersandar dari takut dan maut
tapi ibu bilang tak apa
laut lepas tak punya tuan
kita ‘kan masih punya iman
walau nanti tetap mati
matilah dipelukan Tuhan

Lirik, Agustus  2015





34. Kenangan

Jika nanti aku adalah penderita Alzheimer
Maka tembaklah kepalaku dengan senapan ingatan
Agar aku dapat mati dalam kubang darah kenangan
Cukup dengan itu saja
Semua perisitiwa akan seperti di atas pegunungan
Tak ada rahasia, tak ada lolongan

Lirik, Agustus 2015 












35. Dengar ( Aku Tak Pernah Meminta )

aku tak pernah
memintamu untuk tak
mencampakkanku
karena kau boleh menghisap ruhku
dari ubunubun dan meniupkannya
di pembuangan tempat kau
biasa menaruh kemaluanmu
dengar

aku tak pernah
memintamu untuk tak
membakarku
karena kau boleh menarikku
seperti sumbu kompor minyak
di dapur
tempat kau biasa
meletakkan bibirmu sebagai pemantik
dengar

aku tak pernah
memintamu untuk tak
membiarkanku
menggigil di bawah hujan air mata
karena kau boleh menenggelamkanku
di kolam tempat kau 
biasa merendam kaki berdurimu
dengar
aku tak pernah
memintamu untuk tak
untuk tak dan untuk tak


Lirik, Agustus 2015









36. Kurban

kisah ini telah ditanamkan ke dalam kepala
sapi dan kambing yang menjadi kurban tuangan
sejak dulu
mewakili kecintaan
dosa dan rasa harap yang terkatung-katung
merekalah tunggangan perjalanan menuju langit
kelak dan mungkin
jika pemilik nurani benar adanya rela
untuk berkurban laiknya bapak para anbiya

Lirik,  September 2015 









37. Epitaf

Aku tak akan pernah menangisi papan kuburku
Meski rapuh dihujan usia
Langitku tetap saja biru
Mungkin ikan-ikan dapat berenang di sana
Dan para nelayan siap menebar jala

Tak ada yang perlu disesal
Meski dulu senyum dapat menipu lagu
Dan meniup darah pada sekuntum mawar
Sebab kini rembang sudah
Akalku telah larut dalam asam perut
Dan mewujud belulang batu
Sembari terus membuka mata
Menatap dua penanya yang murka


Lirik,  September 2015 



38. Secangkir Harap

Di genggaman tanganNya
Secangkir mukjizat usai diseduh

Lirik,  September 2015 












39. Rakit Hati

rakit hati
kemanakah kan kubawa?
menentang ombak di sungai atau berdiam
di jamban-jamban kampung?

rakit hati. aku amnesia. aku hilang arah

bisakah kau mendayung sendiri
mengarungi hasratmu tanpaku yang terlalu takut
pada para penghisap di sungai itu

rakit hati. aku ngeri

Tepi Danau Wisata Alam, September 2015






40. Kami Pinjam Ranjang Kursi Pada Raja Negeri

tuan
kami tak dapat duduk di sini
bahkan merebahkan punggung kami pun tak
kampung kami basah
seperti kubang babi
peluh dan bau disana-sini
tengoklah tuan
tapak kaki kami memar
mengejar keberadaanmu di sini
kerikil menyudutkan banyak peristiwa
di bawah kami
sementara tubuh kami perih
tersebab hujan asam manis rayuan

tuan
tergopoh para jompo kaku wanita dapur dan anakanak lusuh
hendak bertemu dan menyalami muka tuan
menciumi aroma wewangian badan dan meraba baju kebesaran
tersebab penasaran
apakah tuan benar tampan luar dalam
tuan
hendaklah tuan lama di kampung kami
berbasuh badan mencicip ruparupa masakan dan bersalin pakaian
tapi sayang tuan tak dapat duduk nyaman
kampung kami basah seperti kubang babi blingsatan

tuan
kampung kami tak lagi perawan
banyak muda mudi mati sepekan
kubur kering basah berkawan
lantaran tidur kami terkena sawan

tuan
kepada tuan kami pelan
kami ingin duduk di kursi dan tidur di ranjang di rumah tuan
sebagai yang diagungkan 
penguasa bumi pulau-pulau ingatan

Lirik,  September 2015



41. Monas di Jantung Jakarta

Mungkin Monas di jantung Jakarta adalah seorang pria
Kemaluannya kukuh runcing menembus angkasa
Merobek tiap kisah yang tersulut dalam bara logika dan gairah
Dia dipuja dicinta dan dijamah mesra
Mungkinkah Monas di jantung Jakarta adalah seorang raja?
Entahlah
Karena aku memeram asmara di balik bukit nun jauh di tepi rimba

Aku menjadi jalang dalam banyak tanya
Kucari sampai sudutsudut kampungku yang berkabut
Tak ada
Tak ada pria yang kemaluannya seperkasa Monas di jantung Jakarta
Maka kuputuskan untuk memeram cinta hanya untuknya
Mungkinkah para udik sepertiku juga jatuh hati pada selangkangannya?

Dan ketika tubuhku berangsur dalam siang yang benderang
Kulihat emak sedang bersemayam di kursi rotan pujaannya
Dia sedang berkata soal kota kemaluaan-ku
“Bujang, Monas di Jakarta runtuh.”
Aku tersedak memekik di hati
Mungkinkah?
Kutatap wajah peyot emak yang cokelat keriput
“Benarlah apa kata emakmu ini, Jang. Coba kau tengok para laki-laki berdasi sedang mengepung lokasi runtuhnya Monas. Emas pada puncaknya sedang direbutkan banyak orang. Mungkin mau disedekahkan ke panti asuhan.”


Depan Teve, September 2015















42. Malam Larut, Malam Bermunajah

Siang yang kita tinggalkan tadi
adalah  jalan untuk kembali pulang
Kita sudah lelah merapikan pondokpondok kosong
bahkan teramat jauh sampai ke ujung-ujung kampung
Sudah pula kita saksikan segenap fatamorgana indah
yang melengkung dari pucuk-pucuk rimba raya dan gunung-gunung yang julang
Kini saatnya telah tiba
Kau dan aku  menjadi satu yang utuh
tak terpisahkan dalam sentuhan nikmat rindu paling tinggi

Maka mulailah bemunajah
Malam sudah menyiapkan segenap tangga hidayah
agar  segala rahasia yang berderai lewat air mata kita
dapat dengan mudah terbang menuju Kursi-Nya
Tanpa isyarat segenap jiwa
sebab Tuhan Maha Mengerti
Jejak rindu kita tertidur dalam cahaya
ataukah terjaga pada gelap yang buta

Lirik, Oktober 2015





43. Dua Pohon
:ayahanda (almarhum)

Kami tumbuh di halaman berdampingan
Saling mengait dahan
Kadang menjadi liar meraih langit dan sinar matahari perawan
Ayahku kuat menahan topan 
Dan teduh bagi yang kelelahan
Tak takut ditangkap dingin
Sebab ia punya selimut penjaga malam

Tapi kini ayahku telah tumbang
Dalam kemenangan
Meninggalkanku pada ketinggian
Menjadi yang tertinggi di antara semak belukar
Aku risau namun ayah senang
Pada senyum terakhir yang ia jabarkan 
Sebelum senja yang memanggil hujan, ia berkata waktu itu
Teruslah tumbuh, wahai peneduh para pejalan
Kesedihan dan penghianatan zaman tidak akan merubah
Sedikitpun cinta sejati yang tumbuh berdampingan


Kamar – Bapak , Oktober 2015




44. Kau Tak Pernah Sampai

Kau tak pernah sampai
Meski rumah yang gadang tertanam
Di depan jalan saat kau berlalu lalang
Rumah idaman tempat para tak pendosa
Membakar hasrat juga tak dalam kesesatan

Kau tak pernah sampai
Meski secarik alamat telah kau genggam
Sekian lama
Bersama langkah kaki yang semakin lusuh
Dihembus debu angin jalanan

Lirik – Pinggir Jalan Lintas Timur, Oktober 2015







45. Jangan Jadi Pembunuh Masa Depan
: tragedi kabut asap

Jangan jadi pembunuh masa depan !
Wahai tuan-tuan besar pemilik saham perkebunan
Kau tanam keuntungan dengan menukar alat pernapasan
Kami bukan ikan yang bernapas dengan insang
Kami juga bukan serangga yang bernapas dengan trakhea
Paru-paru kami ini yang membantu kami bertahan
Menyosong tiap hela angin dari masa depan
Namun malah kau bikin kami berdendang dalam infeksi saluran
Dan tengoklah!
Kawan-kawan penghuni sudah berjatuhan
Mati terpanggang seperti hidangan restoran
Yang nikmat kau santap saat pertemuan
Lantas, tak takutkah kau pada kutukan Tuhan?
Kataka! Cepat katakan!


Lirik, Oktober 2015






46. Janji Hati

Pada malam yang masih durja
Di padang adzan
Aku berkaul menatap rembulan
Seraya lindap ke tubuh-tubuh kurban
Ada aku, diriku, dan syetan dalam batinku
Kami berusaha menuang syahadat 
Dalam gelas jantung kami

Lirik – Waktu Tahajjud, Oktober 2015











47. Cantik

Cantikku
Hari ini berulang tahun kematian
Ia meniup lilin-lilin dari lempung
Kami bertepuk tangan
Lalu meletuskan balon penuh konfeti organ dalam
Ia sangat senang
Kuberi sebingkis kado tanda cinta dan kasih sayang
Dan sebuah kecupan terakhir sebelum liang ditanamkan nisan


Lirik, November 2015









48. Guru Adalah

Guru adalah musim hujan yang damai
Guru adalah buku bersuara merdu
Guru adalah cat warna-warni dan kuas ajaib
Guru adalah mantel anti ketakutan
Guru adalah kastil megah menembus awan
Guru adalah cinta yang memabukkan
Guru adalah rumus-rumus pemecah kesunyian
Guru adalah…………………………..


“Selamat Ulang Tahun, Wahai Para Cikgu!”

Lirik, November 2015







49. Memilihmu 

Lewat selembar kertas
Ada wajah kembang api tanpa kata
Hanya senyum ramah sedikit jenaka
Kau hipnotis kami di bilik suara
Hingga terdengar dangdut rayuan  pemikat
Hati yang gundah
Kami sebenarnya resah
Tapi entahlah
Antara mata terkatup dan terbuka
Kami hujamkan saja paku pelubang tepat di dada
Di nomor berapa (?)



Bilik Suara, Desember 2015





50. Catatan Hijrah

Kemarin baru saja kubuka sebuah buku
Hari ini telah harus kututup kembali
Senja sudah datang, karena esok banyak petasan di lemparkan ke udara
Ada banyak kebahagiaan, luka tawanan, dan rasa takut yang memekakkan
Sepanjang tahun yang berdendang
Inilah akhir catatan pengingat masa depan yang terang
Agar esok tak lagi-lagi dihujani kebohongan
Kutanam pohon-pohon doa di sampul depan

Lirik, Desember 2015










BIODATA

Hijrah BillaLogica, kelahiran 14 Agustus 1990 di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Sangat gemar menulis dan menggambar. Menyukai novel fiksi fantasi dan puisi-puisi Jalaluddin Rumi.  Lebih dari 20 buku antologi puisi dan cerpen bersama penulis Indonesia telah terbit di tahun 2014. Sekarang bekerja sebagai staff admin dan guru muatan local di Sekolah Dasar di Lirik.
Silahkan add Facebook : Catatan Hijrah BillaLogica
Follow twitter : @HBillaLogica
E-mail : logicabillal@yahoo.com , billazain90@gmail.com 
HP : 085271733281
Juga mulai mengolah blog :  hijrahbillalogica.blogspot.com 


No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate