Bangunlah, dan Katakan Sesuatu
Ia merasa tak seperti biasanya. Kini hangat, nyaman, dan
sangat ringan. Seperti mengambang di antara jaring-jaring lentur yang
berdenyut. Ia tak bisa melihat apapun karena matanya tak dapat dibuka. Tapi ia
tahu, ia telanjang. Ia juga merasakan denyut dan degup cepat yang lain di
sekitarnya.
Dan beberapa waktu berikutnya
terjadi pergerakan yang terus berlanjut. Bunyi-bunyi retak semakin terdengar
jelas. Ia berguling ke sisi yang lain ketika ia merasa sesuatu yang basah dan
lengket menekannya ke luar jaring-jaring. Suasana tak senyaman tadi meski masih
terasa hangat. Bergegas merangkak cepat di antara timbunan bulir-bulir kasar
yang menggores kulitnya yang masih baru. Ada rasa kesal tapi juga riang ketika
tahu bahwa tak hanya dirinya yang bergerak dalam kegelapan ini. Namun hal
inilah yang membuat tanya besar dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa ia dan yang lain harus bergerak dalam kegelepan ini?
Mereka terus begerak naik. Perlahan, ia mulai merasakan udara
sejuk masuk melalui hidungnya dan
titik-titik cahaya yang bertambah terang menembus rongga matanya yang terkatup.
Dan betapa terkejutnya dia ketika sampai di atas permukaan dan membuka mata
untuk pertama kalinya, melihat dirinya sendiri. Ia adalah seekor bayi penyu rapuh
di antara ratusan yang menetas.
Dia terdiam selagi saudara-saudaranya terus merangkak menuju
laut yang berombak. Cahaya matahari yang bersinar terang dan angin pantai yang
berhembus deras membuatnya semakin tak mengerti. Ia bukan tidak bersyukur, tapi
ini adalah kenyataan yang jauh berbeda, yang justru membuatnya sangat takut.
Memandang kawanan elang mulai berkulik tepat di bawah matahari dengan cakar
tajamnya dan segera menukik lalu mulai menerkam bayi-bayi penyu malang yang
belum sampai ke laut. Ini lanskap yang mengerikan. Ia tidak tahan dan mulai
menangis keras meski tak ada suara yang keluar ketika sepasang kaki kokoh
dengan kuku-kuku yang mengkilat berdiri di hadapan tubuhnya yang mungil. Paruh
elang itu nyaris menembus cangkangnya yang masih lunak, namun ia berhasil
selamat ketika sepasang kaki tajam yang lain mencengkeram erat badannya dan
membawanya terbang tinggi dan semakin tinggi.
Sekarang ia benar-benar takut. Pantai telah tertinggal di
bawahnya bersama saudara-saudaranya berjuang untuk hidup. Mungkinkah ini ajal baginya? Kelangsungan
hidup memang sangat berharga meski rantai makanan adalah takdir yang tak bisa
dipungkiri. Dalam takut dan air mata yang terus berlinang, ia menutup mata dan
mengatakan sesuatu dengan lirih.
“Ya Tuhan, aku sangat menyesal. Berilah aku satu kesempatan
hidup untuk memperbaikinya. Bukan sebagai pencuri telur-telur penyu, melainkan
membantu mereka menuju laut dan memberi tempat yang nyaman ketika mereka
kembali. Dan aku bersyukur untuk hidup yang indah”
Tiba-tiba saja elang itu melepaskan cengkeramannya dan
membiarkannya terjun bebas, terhempas ke dalam laut yang dalam. Ia berenang
cepat dengan empat kaki kecilnya dan mulai merasakan perubahan. Semakin cepat
dan semangat ia ingin meraih permukaan laut. Kesempatan sangat baik tak datang
tiap kali kesalahan dan kegagalan terjadi. Tuhan memercayai ucapannya.
Dia berteriak lantang ketika udara kebebasan memenuhi
paru-parunya. Membiarkan tubuh manusianya tetap terapung sembari memandangi
langit biru yang luas. Dan membiarkan tiap penyesalan membuatnya menangis.
***
“Induk penyu selalu ingin bertemu anak-anaknya
meski tak mungkin terjadi dalam hidupnya.”
_Billal HB_
Lirik, 16 Juli 2015 15:27 wib
No comments:
Post a Comment