Abdul,
Anakku
Oleh: Hijrah
BillaLogica
Tiap kali usai
salat berjemaah di mesjid maka pulangnya Abdul, anakku, akan memintaku untuk
menggendongnya sampai tiba di rumah. Dengan gembira dia akan sangat erat
memelukku dan menciumi pipiku atau bahkan dengan usil ia akan mempermainkkan
jenggot tipis yang tumbuh di daguku. Sesekali aku akan membalas ciumannya
dengan hangat.
Abdul, anakku, Usianya
memang masih kecil. Empat tahun lebih tiga bulan. Tapi aku sangat bahagia dan
bangga terhadap anakku itu. Ia selalu sangat bersemangat saat kuajak dirinya
salat berjemaah di mesjid. Apalagi dia tidak seperti kebanyakkan anak-anak
lainnya yang selalu berisik dengan kenakalan mereka. Abdul lebih memilih duduk
manis dan patuh dengan bahasa yang kuisyaratkan padanya. Di mesjid, kita sangat
dilarang untuk ribut. Allah sangat tidak menyukainya.
Tapi aku sangat
menyadarinya kenapa Abdul sangat berbeda dari anak-anak sebayanya. Bahkan
perbedaan itu pulalah yang membuat Abdul tidak suka bermain di luar rumah. Ia
hanya menghabiskan waktu siang harinya dengan menggambar, merangkai kata
sederhana dari huruf-huruf alfabet, berhitung dari satu sampai sepuluh,
melafalkan beberapa huruf hijaiyah yang terdapat dalam juz ama atau
bersenandung dengan irama tak beraturan. Itu pun hanya aku dan istriku yang
dapat mengajarinya demikian. Melalui gerak tubuh dan bibir kami. Karena Abdul, anakku, terlahir sebagai
seorang tuna rungu. Sejak lahir ia tidak dapat mendengar apapun. Kecuali suara
hatinya sendiri. Dokter mengatakan bahwa anakku tidak akan bisa mendengar
sampai Tuhan memberikan keajaiban padanya. Sebab struktur telinga dalam Abdul mengalami
kerusakan yang parah. Aku dan istriku tidak telalu paham akan hal itu. Kami
tidak mengerti penyebab kelainan Abdul.
Akan tetapi, meski
Abdul berbeda tapi ia tetaplah anugerah terindah dalam keluarga kecil kami. Dia
adalah lentera yang menerangi kegelapan hati kami. Senyum, tangis dan tawanya
adalah pelangi yang membuat semakin indah kehidupan kami. Selalu bersyukur pada
keindahan yang diberikan oleh Tuhan. Walau tak bisa dipungkiri kami sesekali
menitikkan air mata melihat Abdul, tatkala ia menutup kedua telinganya sambil
menggeleng lalu melepaskan tangannya sambil mengangkat bahu. Kami tahu, Abdul
sedang berkata bahwa ia tidak bisa mendengar apapun.
Maka sebagai ayah
dan ibunya, kami senantiasa berusaha untuk membahagiakan Abdul. Tidak ingin
membuatnya bersedih dan tampak berbeda. Aku selalu berusaha membantunya
mewujudkan keinginan-keinginan kecilnya. Seperti membelikannya mobil-mobilan,
buku gambar dan pensil warna, atau sekedar menonton film kartun yang dia hanya
dapat menikmati visualnya saja tanpa mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh
tokoh-tokohnya. Namun, Satu hal penting yang perlu diketahui banyak orang,
Abdul memang seorang tuna rungu tetapi ia dapat dengan cepat mengerti sesuatu
jika kami menuliskan sebuah kata pada selembar kertas. Misalkan kami menulis
kata “Buku” maka ia akan paham bahwa kami sedang membicarakan tentang buku. Begitu
seterusnya kami dengan perlahan tanpa marah mengajari Abdul nama-nama benda di
sekitarnya.
Sampai pada suatu
siang, ketika aku pulang kerja dan menemui Abdul yang sedang asyik menggambar,
aku dibuat terkejut olehnya. Dia menghampiriku sambil tersenyum dan berkata
berat terbata, “Ay-yah, gamh-bhar.” Kuusap kepalanya dan kucium pipinya sambil
berkata dengan pola bibir yang sengaja kulebarkan agar dia mengerti apa yang
aku ucapkan, “Te-ri-ma ka-sih Ab-dul.” Abdul pun akan amat senang dan langsung
memelukku.
Namun, siang itu apa
yang digambar Abdul berbeda. Biasanya dia hanya menggambar tokoh animasi
kesukaannya, Upin dan Ipin berupa dua bulatan besar sebagai kepala dan beberapa
garis bergerigi sebagai kaki dan tangannya atau dia akan menggambar banyak mobil
yang ukurannya bermacam-macam dan berwarna-warni. Tapi kali ini Abdul
menggambar sebuah mesjid berwarna hijau dengan kubah yang miring dan seorang
lelaki yang berdiri di depan mesjid tersebut dengan sikap tubuh seperti hendak
mengumandangkan azan. Buatku, itu adalah sebuah gambar yang luar biasa indah.
Aku terpaku
memandangi hasil karya tangan dan imajinasi anakku. Aku tidak pernah menyangka
Abdul dapat menggambar mesjid apalagi orang yang sedang azan. Itu sebuah
anugerah baru yang kudapat disiang hari ini dari Abdul, anakku tersayang.
Dengan apa yang tertera pada gambar itu aku bisa paham bahwa Abdul sangat
menyukai mesjid dan orang azan.
Selagi aku
memandangi gambarnya tiba-tiba saja Abdul mempraktekkan orang yang sedang
serius azan di hadapanku dengan irama azan yang mirip dengan para muazin yang
biasanya mengumandangkan azan di mesjid. Membuat hatiku bergetar dan tubuhku
merinding. “Bagaimana mungkin Abdul bisa menirukan suara muazin padahal ia
samasekali tidak pernah bisa mendengar?” tanyaku dalam hati. Aku jadi sangat
antusias memandangi wajah anakku yang lugu. Apakah ini sebuah keajaiban Tuhan
yang dimaksud itu? Aku tersenyum dan air mataku menitik.
Maka membalas
semangatnya aku meraih pensil warna yang ada di tangannya dan kutuliskan
besar-besar di dekat dua gambar itu agar ia mengerti apa yang ia telah gambar.
“Mesjid” dan “Azan”. Dan segera saja ia langsung serius mencoba membaca dua
kata sederhana tersebut sampai akhirnya kudengar suara azan benar-benar
berkumandang dari mesjid dengan begitu merdu dan mendamaikan hati. Ah, Abdul
Anakku, semoga kelak engkaupun menjadi seorang Bilal.
Aku tidak pernah
berhenti berdoa untuk kebahagiaan Abdul dan kesabaran kami sebagai orang
tuanya. Wajah Abdul selalu terbayang di pelupuk mataku. Selalu menjadi obat di
kala sakit, menjadi senyum saat murung, menjadi bara semangat saat aku sedang
lemah dan menuju putus asa. Setiap malam aku bersimpuh, bermunajah kepada Allah
yang Maha Mengetahui. Dalam lirih aku berdoa,
“ Ya Allah,
kuserahkan segalanya padaMu. Apa yang terjadi pada hari ini, esok, dan
seterusnya. Semuanya adalah KetetapanMu. Hamba hanya memohon keselamatan ,
kesabaran, keberkahan, dan kebaikan dariMu. Semoga kami selalu berada pada
jalan yang lurus. Ya Allah, dengarlah suara hati hamba yang teramat dalam ini,
jadikanlah Abdul anak yang soleh, yang selalu taqwa terhadap perintahMu dan
patuh kepada Ibu Ayahnya serta kelak berguna bagi banyak orang. Sesungguhnya
hanya KepadaMu-lah kami menyembah dan memohon pertolongan. Amin Ya Robbal
Alamin.”
Dan setiap malam
pula seusai tahajud, sebelum kembali tidur kukecup kedua pipi Abdul dan
berharap Abdul selalu mendapat mimpi yang indah.
***
Lirik, 30 Juni 2014