CERPEN

Friday, August 19, 2016

CERPEN 2014; Puisi Bapak oleh Billal Zain


Puisi Bapak


Lelaki itu. Selalu saja di sana. Di bawah teduh ketapang, duduk di bangku kayu panjang dengan segenap imajinasinya sementara jemarinya yang mulai keriput cukup lihai merangkai dedaunan dari semak belukar yang tumbuh tak terurus di samping kanan rumah lalu menempelnya  di atas lembaran buku gambar besar yang sengaja kubelikan untuk menemani kesendiriannya.

Dia tidak sendiri sebenarnya. Ada aku yang sangat menyayanginya. Walaupun dia cukup kesulitan untuk memahami bagaimana makna perasaan sayangku kepadanya. Bapakku itu, lelaki menuju senja yang telah divonis dokter kehilangan sembilan puluh persen ingatannya di masa lalu. Bahkan beliaupun samasekali tidak mengenali siapa aku. Faisal Marwan, putra satu-satunya yang tersisa semenjak peristiwa kecelakaan dua tahun silam. Yang juga merenggut kehidupan ibu dan adik laki-lakiku. Dimana sepeda motor yang dikendarai oleh bapakku ditabrak oleh sebuah truk bermuatan yang sedang melaju kencang sementara saat itu aku sedang berada di sekolah.  Beberapa orang kampungku menjemputku dan mengabarkan padaku bahwa telah terjadi musibah kecelakaan yang menimpa keluargaku. Seketika itu juga jantungku seakan meledak dan kepalaku dihujani batu-batu besar. Aku tidak bisa menahan kesedihan besar itu. Hanya meratap sembari berdoa. Berharap peristiwa itu tidak pernah terjadi dan aku sedang berada di alam mimpi.

Namun kenyataannya parah. Tuhan memang benar-benar menghadapkanku pada masa panjang yang membuatku harus bertahan memerangi perasaan sedih, kecewa dan rindu. Berusaha sekuat mungkin untuk tegar dan ikhlas pada segala hal yang mendera hidupku. Karena apapun itu, yang terjadi di jagat raya ini adalah atas kehendakNya. Tiada suatu apapun dapat menghindar dari KetetapanNya. Tuhan mungkin memiliki beberapa rencana mengejutkan untukku pada hari-hari berikutnya. Aku hanya perlu meneguhkan hati dan tidak berhenti untuk memercayaiNya. Cobaan hidup adalah wujud cinta Tuhan yang lain. Sebab, Tuhan tidak akan memberikan ujian melebihi kesanggupan hambaNya. Maka tiap saat, tiap usai salat aku senantiasa bermunajah kepadaNya.

“Ya Allah, Maha Agung yang seisi jagat raya tertunduk di bawah kursiMu. Anugerahilah selalu kesabaran dan keikhlasan pada sepotong hati hamba yang kecil ini. Sesungguhnya kesedihan dan kerinduan ini sangat dahsyat mendera. Namun rasa cinta kepadaMu melerai segala bentuk perasaan yang membuat risau. Maka jadikanlah hamba  termasuk dalam golongan orang-orang mukmin yang tersenyum di surga kelak. Amin.”

Dan pagi ini pun masih saja sama seperti pagi-pagi sebelumnya semenjak ratusan hari yang lewat. Selepas membuat sarapan dan mandi, aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Lelaki amnesia yang amat kucintai. Entah apa yang tersirat dibenaknya, seakan pohon ketapang itulah yang paling bisa memahami dirinya.

“Pak, nanti kalau bapak mau sarapan dan mandi, semuanya sudah Fais siapkan,” kataku sambil mengenakan kaus kaki. “Tapi seperti biasa, bapak tidak boleh pergi kemana-mana sebelum Fais pulang dari sekolah.”

Lelaki itu hanya menoleh dan mengangguk sebentar ke arahku dengan tatapan hampa seolah dia hanya tahu tetapi tidak mengerti. Dulu, sebelum peristiwa itu, aku selalu melihat api semangat di mata bapak. Dia selalu tersenyum secerah langit biru dan pelukannya sehangat matahari pagi. Tetapi, hanya dengan menoleh dan mengangguk saja setiap paginya sudah cukup bagiku. Artinya bapak sudah berusaha memahami keberadaanku. Aku sangat bahagia akan hal itu. Apalagi bapak tidak berulah yang aneh dan membahayakan bagi orang-orang di kampungku. Bahkan, orang-orang jadi lebih banyak menyebut bapak sebagai lelaki ketapang, karena aktifitas barunya setelah kecelakaan itu adalah merangkai dan menempel daun-daun dan bunga pada buku gambar di bawah pohon ketapang yang dulu di tanam oleh ibuku. Beliau hanya sesekali berbicara. Itu pun jika ia benar-benar membutuhkan bantuanku.

“Oh iya, Pak. Hari ini Fais mungkin pulang sekolah agak lambat. Soalnya Fais akan mengikuti perlombaan, mewakili sekolah di tingkat kabupaten sampai pengumuman selesai,” kataku tersenyum kepadanya.

Selagi aku membungkuk mengikat tali sepatu, aku mendengar bapak bertanya, “Mau lomba apa?”

Sungguh itu sebuah kejutan baru pagi ini. Jantungku berdebar. Bapak membalas ucapanku. Itu tidak pernah terjadi selama ratusan pagi. Terima kasih Ya Allah, itu adalah  anugerah yang sangat hebat.

“Lombanya ada banyak sih, cuma Fais terpilih untuk  mengikuti lomba deklamasi puisi, Pak. Bapak kan tahu Fais suka sekali dengan puisi,” jawabku tersenyum senang. “Makanya Fais mohon doanya dari bapak. Doakan supaya Fais bisa menang.”

Sekali lagi lelaki teduh itu menoleh kepadaku. Kali ini tatapannya lebih terang. Seakan awan tebal yang menutupi matanya sudah berpendar dan membiarkan cahaya menembusnya. Kupikir akan berbicara dan menyampaikan nasehatnya seperti dulu, bapak hanya mengulum senyum samar padaku lalu beralih lagi pada benda-benda itu. Tapi sudahlah, bukankah senyum itu pada pagi Selasa ini telah membuat bapakku semakin terlihat tampan.
Aku masih memandangi bapak dengan seksama dan rasa bahagia yang tak terkira, ketika kudengar suara perempuan memanggil namaku.

“Fais, yuk berangkat!”

Gadis berkerudung putih dengan seragam yang sama denganku tersenyum manis di atas sepeda berwarna biru muda di depan rumahku. Hasanah namanya. Sahabat karibku sejak kecil. Sangat mengerti tentang kehidupan pribadiku. Putri kedua Ustaz Hamid, sekaligus guru mengajiku dulu. Rumahnya berjarak lima ratus meter dari rumahku. Namun tiap pagi, tak kenal cuaca kecuali apabila dia sakit, dia selalu saja menghampiriku. Berharap kami bisa selalu bersama saat berangkat sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler atau bahkan jika kegiatan itu hanyalah sekedar bersepeda mengelilingi kampung dan menyeberangi jalan tanah sepanjang padang ilalang di kampung kami.  Hasanah adalah gadis soleha pemberani dan punya semangat yang luar biasa.

Dia amat mengagumi Jalaluddin Rumi. Dia akan berdendang syair sang Rumi tiap kali bersamaku. “Hari ini, seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun, janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepadaNya.” Ah, Hasanah, sahabat yang hebat untukku.

“Iya, sebentar ya, Nah” jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah meraih tas dan mengeluarkan sepeda bututku.

Kemudian kucium punggung tangan bapak dan diikuti oleh Hasanah sambil kuingatkan bapak akan beberapa hal. “Jangan pergi kemana-mana ya , Pak. Tunggu Fais pulang. Semuanya sudah Fais siapkan di dalam rumah. Assalamualaikum.”

Lelaki amnesia itu, bapakku, menjawab dengan suara serak yang lantas membuat hatiku bertambah bahagia, “Walaikumsalaam”

Aku dan Hasanah tersenyum. Lalu kami mulai mengayuh sepeda kami dengan riang. Menuju sekolah kami yang berjarak tiga kilometer. Menuruni jalan kampung dengan deras dan bebas dari kendaraan. Berteriak lantang tentang mimpi dan harapan menembus kabut pagi. Hasanah berteriak menyemangatiku, “Semoga menang Fais. Allah bersama orang-orang yang punya mimpi dan harapan besar. Man Jadda Wajada!”
***

Tiba-tiba saja, menjelang tampil di atas panggung aula besar itu perasaanku jadi serba salah. Gairah puisiku seperti diaduk. Aku gugup. Jantungku berdebar. Badanku panas dingin. sementara semakin sering aku mendengar bisik-bisik komentar, deru penyemangat, dan tepuk tangan meriah hadirin kepada peserta yang sudah tampil dengan beragam performa mereka.

Pak Zafran, guru Bahasa Indonesia sekaligus pembimbing memotivasiku dan temanku, Elsa Putri, yang juga mewakili sekolah dilomba pidato. “Kalian itu harus fokus. Gugup itu manusiawi. Tapi ingat, biarkan setiap kata yang kalian lafalkan nantinya meresap kedalam hati, lalu emosi jiwa akan membawa kalian pada pendalaman materi yang sesungguhnya.”

Kami mengangguk paham. Berusaha untuk semangat dan percaya diri. Meski perasaanku tetap saja ganjil karena dibayang-bayangi kegagalan dan rasa kecewa. Memang, ini  bukan kali pertama aku menjadi peserta lomba deklamasi puisi. Bahkan di sekolah aku sering mendapat juara apabila diadakan Class Meeting bulanan. Akan tetapi kegugupan tak berarah ini sungguh parah menderaku. Sampai aku nyaris tersedak napasku sendiri ketika namaku disebut oleh panitia lomba dengan mikrofon dan bergema di dalam aula.

“Faisal Marwan dari SMA Negeri 1 Lirik.”

Belum apa-apa keringatku sudah membasahi wajahku. Lalu aku berdiri dan berjalan menyeberangi deretan siswa dan guru pembimbing yang juga peserta lomba. Mata mereka mengikuti setiap gerak tubuhku sampai aku berdiri di tengah-tengah panggung dan memandang semua hadirin. Aku melihat Elsa tersenyum memberi semangat. Sementara Pak Zafran hanya mengangguk yakin. Kemudian aku  menunduk sejenak. Menutup mata seraya mengatur napas. Berusaha mengendalikan diri melawan gugup yang menggila. Lalu  kubuka mata. Merasa lebih yakin dan percaya, kudekatkan bibirku pada mikrofon. Dengan lirih dan tegas aku melafalkan judul puisi.

“Gugur karya WS Rendra”

Semua diam. Menatapku ingin tahu. Kuhela napas, kelepaskan tiap kata yang ada  dalam puisi. Dengan segenap keberanian, aku menguasai emosi jiwaku. Seperti apa yang dikatakan Pak Zafran. Semua larut dalam gairah puisiku. Mengikuti setiap alunan nada jiwa yang kulantunkan.  Hingga tak kusadari puisiku berakhir dan orang-orang memberi tepuk tangan sangat meriah kepadaku. Aku tersenyum. Kulihat Pak Zafran mengacungkan kedua ibu jarinya kepadaku.
***

Seperti biasa, sebelum aku berada di rumah maka pintu rumah tak akan pernah terkunci. Meski sudah kuingatkan berulang kali kepada bapak untuk mengunci pintu ketika aku tak berada di rumah.

“Assalamualaikum.”

Aku memberi salam dengan nada riang dan tersenyum ketika masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Tak ada jawaban. Setengah lima sore. Aku terlalu lama meninggalkan bapak sendirian. Penasaran. Sebab bapak tidak sedang bersama dedaunan, buku gambar dan lem di bawah teduh kekasihnya ketapang. Kemudian aku bergegas melangkah menuju kamar bapak. Aku ingin bercerita banyak tentang hari ini padanya. Tentang kebahagiaanku. Tentang apa yang sedang kugenggam.

Kusibak tirai penutup pintu. Kulihat bapak sedang tertidur pulas membelakangiku. Hanya dengkur itu yang tidak amnesia. Selalu sama ketika bapak sedang terlelap. Mungkin beliau kelelahan. Aku berusaha untuk bersabar. Kutatap tubuhnya yang kurus tidak sekekar dulu.  Lalu aku memandang ke sekeliling ruangan dan sangat terkejut ketika melihat apa yang tertera di dinding kamar. Sebuah kalimat sederhana yang tiap hurufnya dibuat dari dedaunan pada tiap lembar kertas berjajar rapi. Kalimat itu membuat hatiku bergetar. Tanpa sadar air mataku berlinang. “FAIS, BAPAK TERIMA KASIH.” Sungguh, itu adalah sebaris puisi sederhana yang luar biasa indah dari seorang lelaki amnesia. Bapakku.

Hari ini Allah terus memberiku kejutan tak terduga. Aku sangat bahagia dan aku harus bersyukur kepadaNya. Kuusap air mata kuhampiri bapak dan kudekap beliau dengan penuh rasa cinta bersama piala kemenangan yang kuraih dari perlombaan. Semakin erat hingga bapak terbangun dan berkata serak, “Fais sudah pulang?”
***
Lirik, 22 Juni 2014

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate