Puisi Bapak
Lelaki
itu. Selalu saja di sana. Di bawah teduh ketapang, duduk di bangku kayu panjang
dengan segenap imajinasinya sementara jemarinya yang mulai keriput cukup lihai
merangkai dedaunan dari semak belukar yang tumbuh tak terurus di samping kanan
rumah lalu menempelnya di atas lembaran
buku gambar besar yang sengaja kubelikan untuk menemani kesendiriannya.
Dia
tidak sendiri sebenarnya. Ada aku yang sangat menyayanginya. Walaupun dia cukup
kesulitan untuk memahami bagaimana makna perasaan sayangku kepadanya. Bapakku
itu, lelaki menuju senja yang telah divonis dokter kehilangan sembilan puluh persen
ingatannya di masa lalu. Bahkan beliaupun samasekali tidak mengenali siapa aku.
Faisal Marwan, putra satu-satunya yang tersisa semenjak peristiwa kecelakaan
dua tahun silam. Yang juga merenggut kehidupan ibu dan adik laki-lakiku. Dimana
sepeda motor yang dikendarai oleh bapakku ditabrak oleh sebuah truk bermuatan
yang sedang melaju kencang sementara saat itu aku sedang berada di
sekolah. Beberapa orang kampungku
menjemputku dan mengabarkan padaku bahwa telah terjadi musibah kecelakaan yang
menimpa keluargaku. Seketika itu juga jantungku seakan meledak dan kepalaku
dihujani batu-batu besar. Aku tidak bisa menahan kesedihan besar itu. Hanya
meratap sembari berdoa. Berharap peristiwa itu tidak pernah terjadi dan aku
sedang berada di alam mimpi.
Namun
kenyataannya parah. Tuhan memang benar-benar menghadapkanku pada masa panjang yang
membuatku harus bertahan memerangi perasaan sedih, kecewa dan rindu. Berusaha
sekuat mungkin untuk tegar dan ikhlas pada segala hal yang mendera hidupku.
Karena apapun itu, yang terjadi di jagat raya ini adalah atas kehendakNya.
Tiada suatu apapun dapat menghindar dari KetetapanNya. Tuhan mungkin memiliki
beberapa rencana mengejutkan untukku pada hari-hari berikutnya. Aku hanya perlu
meneguhkan hati dan tidak berhenti untuk memercayaiNya. Cobaan hidup adalah
wujud cinta Tuhan yang lain. Sebab, Tuhan tidak akan memberikan ujian melebihi
kesanggupan hambaNya. Maka tiap saat, tiap usai salat aku senantiasa bermunajah
kepadaNya.
“Ya
Allah, Maha Agung yang seisi jagat raya tertunduk di bawah kursiMu.
Anugerahilah selalu kesabaran dan keikhlasan pada sepotong hati hamba yang
kecil ini. Sesungguhnya kesedihan dan kerinduan ini sangat dahsyat mendera.
Namun rasa cinta kepadaMu melerai segala bentuk perasaan yang membuat risau.
Maka jadikanlah hamba termasuk dalam golongan
orang-orang mukmin yang tersenyum di surga kelak. Amin.”
Dan
pagi ini pun masih saja sama seperti pagi-pagi sebelumnya semenjak ratusan hari
yang lewat. Selepas membuat sarapan dan mandi, aku menghampirinya dan duduk di
sebelahnya. Lelaki amnesia yang amat kucintai. Entah apa yang tersirat
dibenaknya, seakan pohon ketapang itulah yang paling bisa memahami dirinya.
“Pak,
nanti kalau bapak mau sarapan dan mandi, semuanya sudah Fais siapkan,” kataku
sambil mengenakan kaus kaki. “Tapi seperti biasa, bapak tidak boleh pergi
kemana-mana sebelum Fais pulang dari sekolah.”
Lelaki
itu hanya menoleh dan mengangguk sebentar ke arahku dengan tatapan hampa seolah
dia hanya tahu tetapi tidak mengerti. Dulu, sebelum peristiwa itu, aku selalu
melihat api semangat di mata bapak. Dia selalu tersenyum secerah langit biru
dan pelukannya sehangat matahari pagi. Tetapi, hanya dengan menoleh dan
mengangguk saja setiap paginya sudah cukup bagiku. Artinya bapak sudah berusaha
memahami keberadaanku. Aku sangat bahagia akan hal itu. Apalagi bapak tidak
berulah yang aneh dan membahayakan bagi orang-orang di kampungku. Bahkan,
orang-orang jadi lebih banyak menyebut bapak sebagai lelaki ketapang, karena
aktifitas barunya setelah kecelakaan itu adalah merangkai dan menempel
daun-daun dan bunga pada buku gambar di bawah pohon ketapang yang dulu di tanam
oleh ibuku. Beliau hanya sesekali berbicara. Itu pun jika ia benar-benar
membutuhkan bantuanku.
“Oh
iya, Pak. Hari ini Fais mungkin pulang sekolah agak lambat. Soalnya Fais akan
mengikuti perlombaan, mewakili sekolah di tingkat kabupaten sampai pengumuman
selesai,” kataku tersenyum kepadanya.
Selagi
aku membungkuk mengikat tali sepatu, aku mendengar bapak bertanya, “Mau lomba
apa?”
Sungguh
itu sebuah kejutan baru pagi ini. Jantungku berdebar. Bapak membalas ucapanku.
Itu tidak pernah terjadi selama ratusan pagi. Terima kasih Ya Allah, itu
adalah anugerah yang sangat hebat.
“Lombanya
ada banyak sih, cuma Fais terpilih untuk mengikuti lomba deklamasi puisi, Pak. Bapak
kan tahu Fais suka sekali dengan puisi,” jawabku tersenyum senang. “Makanya
Fais mohon doanya dari bapak. Doakan supaya Fais bisa menang.”
Sekali
lagi lelaki teduh itu menoleh kepadaku. Kali ini tatapannya lebih terang.
Seakan awan tebal yang menutupi matanya sudah berpendar dan membiarkan cahaya
menembusnya. Kupikir akan berbicara dan menyampaikan nasehatnya seperti dulu,
bapak hanya mengulum senyum samar padaku lalu beralih lagi pada benda-benda itu.
Tapi sudahlah, bukankah senyum itu pada pagi Selasa ini telah membuat bapakku
semakin terlihat tampan.
Aku
masih memandangi bapak dengan seksama dan rasa bahagia yang tak terkira, ketika
kudengar suara perempuan memanggil namaku.
“Fais,
yuk berangkat!”
Gadis
berkerudung putih dengan seragam yang sama denganku tersenyum manis di atas
sepeda berwarna biru muda di depan rumahku. Hasanah namanya. Sahabat karibku
sejak kecil. Sangat mengerti tentang kehidupan pribadiku. Putri kedua Ustaz
Hamid, sekaligus guru mengajiku dulu. Rumahnya berjarak lima ratus meter dari
rumahku. Namun tiap pagi, tak kenal cuaca kecuali apabila dia sakit, dia selalu
saja menghampiriku. Berharap kami bisa selalu bersama saat berangkat sekolah
dan kegiatan ekstrakurikuler atau bahkan jika kegiatan itu hanyalah sekedar bersepeda
mengelilingi kampung dan menyeberangi jalan tanah sepanjang padang ilalang di
kampung kami. Hasanah adalah gadis
soleha pemberani dan punya semangat yang luar biasa.
Dia
amat mengagumi Jalaluddin Rumi. Dia akan berdendang syair sang Rumi tiap kali
bersamaku. “Hari ini,
seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun,
janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa
atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal
ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan
kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepadaNya.” Ah, Hasanah,
sahabat yang hebat untukku.
“Iya, sebentar ya, Nah” jawabku
sambil beranjak masuk ke dalam rumah meraih tas dan mengeluarkan sepeda
bututku.
Kemudian kucium punggung tangan
bapak dan diikuti oleh Hasanah sambil kuingatkan bapak akan beberapa hal.
“Jangan pergi kemana-mana ya , Pak. Tunggu Fais pulang. Semuanya sudah Fais
siapkan di dalam rumah. Assalamualaikum.”
Lelaki amnesia itu, bapakku,
menjawab dengan suara serak yang lantas membuat hatiku bertambah bahagia,
“Walaikumsalaam”
Aku dan Hasanah tersenyum. Lalu kami
mulai mengayuh sepeda kami dengan riang. Menuju sekolah kami yang berjarak tiga
kilometer. Menuruni jalan kampung dengan deras dan bebas dari kendaraan.
Berteriak lantang tentang mimpi dan harapan menembus kabut pagi. Hasanah
berteriak menyemangatiku, “Semoga menang Fais. Allah bersama orang-orang yang punya
mimpi dan harapan besar. Man Jadda Wajada!”
***
Tiba-tiba saja, menjelang tampil di
atas panggung aula besar itu perasaanku jadi serba salah. Gairah puisiku
seperti diaduk. Aku gugup. Jantungku berdebar. Badanku panas dingin. sementara
semakin sering aku mendengar bisik-bisik komentar, deru penyemangat, dan tepuk
tangan meriah hadirin kepada peserta yang sudah tampil dengan beragam performa
mereka.
Pak Zafran, guru Bahasa Indonesia
sekaligus pembimbing memotivasiku dan temanku, Elsa Putri, yang juga mewakili
sekolah dilomba pidato. “Kalian itu harus fokus. Gugup itu manusiawi. Tapi
ingat, biarkan setiap kata yang kalian lafalkan nantinya meresap kedalam hati,
lalu emosi jiwa akan membawa kalian pada pendalaman materi yang sesungguhnya.”
Kami mengangguk paham. Berusaha
untuk semangat dan percaya diri. Meski perasaanku tetap saja ganjil karena
dibayang-bayangi kegagalan dan rasa kecewa. Memang, ini bukan kali pertama aku menjadi peserta lomba
deklamasi puisi. Bahkan di sekolah aku sering mendapat juara apabila diadakan
Class Meeting bulanan. Akan tetapi kegugupan tak berarah ini sungguh parah
menderaku. Sampai aku nyaris tersedak napasku sendiri ketika namaku disebut
oleh panitia lomba dengan mikrofon dan bergema di dalam aula.
“Faisal Marwan dari SMA Negeri 1
Lirik.”
Belum apa-apa keringatku sudah
membasahi wajahku. Lalu aku berdiri dan berjalan menyeberangi deretan siswa dan
guru pembimbing yang juga peserta lomba. Mata mereka mengikuti setiap gerak
tubuhku sampai aku berdiri di tengah-tengah panggung dan memandang semua
hadirin. Aku melihat Elsa tersenyum memberi semangat. Sementara Pak Zafran
hanya mengangguk yakin. Kemudian aku menunduk sejenak. Menutup mata seraya mengatur
napas. Berusaha mengendalikan diri melawan gugup yang menggila. Lalu kubuka mata. Merasa lebih yakin dan percaya,
kudekatkan bibirku pada mikrofon. Dengan lirih dan tegas aku melafalkan judul
puisi.
“Gugur
karya WS Rendra”
Semua
diam. Menatapku ingin tahu. Kuhela napas, kelepaskan tiap kata yang ada dalam puisi. Dengan segenap keberanian, aku
menguasai emosi jiwaku. Seperti apa yang dikatakan Pak Zafran. Semua larut
dalam gairah puisiku. Mengikuti setiap alunan nada jiwa yang kulantunkan. Hingga tak kusadari puisiku berakhir dan
orang-orang memberi tepuk tangan sangat meriah kepadaku. Aku tersenyum. Kulihat
Pak Zafran mengacungkan kedua ibu jarinya kepadaku.
***
Seperti
biasa, sebelum aku berada di rumah maka pintu rumah tak akan pernah terkunci.
Meski sudah kuingatkan berulang kali kepada bapak untuk mengunci pintu ketika
aku tak berada di rumah.
“Assalamualaikum.”
Aku
memberi salam dengan nada riang dan tersenyum ketika masuk ke dalam rumah dan
mengunci pintunya. Tak ada jawaban. Setengah lima sore. Aku terlalu lama
meninggalkan bapak sendirian. Penasaran. Sebab bapak tidak sedang bersama
dedaunan, buku gambar dan lem di bawah teduh kekasihnya ketapang. Kemudian aku
bergegas melangkah menuju kamar bapak. Aku ingin bercerita banyak tentang hari
ini padanya. Tentang kebahagiaanku. Tentang apa yang sedang kugenggam.
Kusibak
tirai penutup pintu. Kulihat bapak sedang tertidur pulas membelakangiku. Hanya
dengkur itu yang tidak amnesia. Selalu sama ketika bapak sedang terlelap.
Mungkin beliau kelelahan. Aku berusaha untuk bersabar. Kutatap tubuhnya yang kurus
tidak sekekar dulu. Lalu aku memandang
ke sekeliling ruangan dan sangat terkejut ketika melihat apa yang tertera di
dinding kamar. Sebuah kalimat sederhana yang tiap hurufnya dibuat dari dedaunan
pada tiap lembar kertas berjajar rapi. Kalimat itu membuat hatiku bergetar.
Tanpa sadar air mataku berlinang. “FAIS, BAPAK TERIMA KASIH.” Sungguh, itu
adalah sebaris puisi sederhana yang luar biasa indah dari seorang lelaki
amnesia. Bapakku.
Hari
ini Allah terus memberiku kejutan tak terduga. Aku sangat bahagia dan aku harus
bersyukur kepadaNya. Kuusap air mata kuhampiri bapak dan kudekap beliau dengan
penuh rasa cinta bersama piala kemenangan yang kuraih dari perlombaan. Semakin
erat hingga bapak terbangun dan berkata serak, “Fais sudah pulang?”
***
Lirik,
22 Juni 2014
No comments:
Post a Comment