CERPEN

Monday, April 3, 2017

Novel Incredible of Zain Bab. 2 oleh M.Z



       The INCREDIBLE OF
ZAIN

_Egg Tales_
( Kisah-kisah dari telur )











M.Z. Billal

 
1.          Lelaki Puisi dan Penabur Hijau

Namaku Zain. Tidak ada perpanjangan nama di belakang namaku. Seperti nama belakang ayah atau nama besar keluarga sebelumnya.  Entah kenapa ayah dan ibuku memberikanku nama cukup dengan empat huruf saja. Ibu bilang, nama yang sederhana itu diambil dari Bahasa Arab juga merupakan huruf hijaiyah ke sebelas. Nama yang indah dan dapat memberi pengaruh juga inspirasi. Semoga Tuhan mengabulkan harapan mereka.
Hal yang identik dari diriku adalah mata sipit dan berkulit sawo matang. Namun yang paling khas dari fisikku adalah bentuk kepalaku yang bulat dan rambut kecokelatanku yang tipis. Malu rasanya membahas ini. Karena itulah teman-temanku memberi julukan untukku, Si Kepala Labu. Tidak rasional rasanya menyamakan kepalaku dengan labu yang gepeng. Ibu tertawa saat kuceritakan itu padanya. Ia malah bercerita kenyataannya. Bahwa sejak kecil rambutku memang sulit tumbuh, meski sudah mencoba banyak cara untuk menumbuhkannya. Namun, ibu selalu menyemangatiku dengan bilang bahwa itu bukanlah kekurangan, melainkan keistimewaan yang membuatku tampak berbeda.
Umurku, pada 15 Mei nanti tepat berusia 15 tahun. Ini adalah bulan ke empat semester pertama aku di kelas tiga SMP. Aku bukan seorang periang, bukan seorang yang jenius, bukan juga seorang introvert. Maka dari itu aku sulit mendapatkan teman yang cocok denganku. Hanya pria kecil bertubuh kurus dan lebih tinggi sedikit dariku dengan kacamata bundar itu yang pas dengan hatiku. Hadi Atmaja. Dia penggila sejati puisi yang pernah kutemui.
Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Sajidah. Dia adalah perempuan berhati separuh malaikat yang luar biasa berarti untuk kehidupanku di masa lalu, kini, dan nanti selamanya. Tanpanya aku pasti sudah hancur dan lenyap menjadi debu yang tak ada harganya. Sementara ayahku? Seperti yang sudah pernah kuceritakan sebelumnya, dia tak pernah kembali. Dan itu membuatku resmi menyandang gelar anak yatim. Tanpa kehadirannya selama dua belas tahun, aku terbiasa menumpuk lembaran rindu di setiap hariku. Berharap kelak dia akan datang menemui kami, aku dan ibuku.
Dan pagi ini hujan sudah reda, digantikan lembar-lembar cahaya matahari yang hangat. Membuat bunga-bunga bakung merah dan bunga zinnia tampak merona di sekitar cemara kipas di dalam sepetak taman kelas. Aku merasa gembira setelah mendapat nilai tertinggi ke tiga pada ujian praktek menyanyi. Itu bukan prestasi yang hebat atau aku punya suara yang merdu, tapi setidaknya aku mampu membius guru seniku dan yang lain karena keberanianku menyanyikan lagu nasional favoritku Garuda Pancasila dengan penuh semangat dan ekspresif. Ibu pasti senang mendengar ceritaku nanti.
Pada jam istirahat aku memilih bergegas ke perpustakaan. Menemui Lelaki Puisi. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Bahkan selama enam tahun di SD, keempatbelas teman-teman sekelasku dulu memilih sekedar berlalu di kehidupanku yang sekarang. Mereka cenderung kaku lalu menjadi sombong.
Aku mengenal Hadi saat hari pertama Masa Orientasi Sekolah. Dia tampak tak peduli sekitar. Menghabiskan waktu luang dengan membaca buku di bawah beringin rindang dan menuruti segala perintah kakak kelas meski hal itu adalah yang memalukan sekalipun. Kupikir dia idiot awalnya. Tapi ternyata, obrolan pertama kami telah merubah pemikiranku tentangnya. Setidaknya aku mengenal buku-buku sastra sepanjang masa bahkan yang belum pernah kubaca sekali pun. Meski aku hanya membaca judul-judul itu pada punggung buku yang tersusun rapi di rak buku koleksi Ayah. Intinya kami menjadi tersambung satu sama lain. Lalu sangat gembira ketika tahu kami berada dalam kelas yang sama. Namun sayangnya, di penghujung SMP ini kami malah terpisah setelah dua tahun bersama. Aku di kelas B dan dia berada di kelas E. Tapi itu tak lantas membuat kami berpisah. Karena kami telah memutuskan dengan sebuah janji akan selalu bersama, dalam suka yang dapat melupakan ataupun duka yang paling menghancurkan.
“Hey,” bisikku sembari mengetukkan jemari ke kaca jendela perpustakaan yang tak ditutupi gorden. Aku tahu Hadi selalu berada di sana. Di tempat duduk yang sama, dan ia tak punya alasan lain untuk itu kecuali suka tempat itu.
Dia hanya mengangkat kepalanya sebentar dan tersenyum lalu menunduk lagi. Hanya itu. Lalu kupercepat langkah memasuki perpustakaan dan duduk di sebelahnya. Dia tengah membaca dan menghayati syair Kahlil Gibran.
“Beri aku satu kutipan bijaknya!” kataku bersemangat.
Hadi menarik napas dalam-dalam dan menaikkan kacamata dengan telunjukknya lalu mulai mengurai sajak dengan kemerduannya seakan-akan ia adalah penyair terkenal, “Kita selalu mendengar kerinduan karena itu hati kita membuka penutupnya untuk mencukur kesedihan lalu bangun menari-nari di antara tulang rusuk-tulang rusuk, karena kerinduan adalah nyanyian gembira yang membuat orang melupakan kedukaannya sehingga ia merasa nyaman dan meminum nyanyian itu dengan kelezatan yang aneh dan ia menambah lagi seolah-olah dia tahu bahwa anggur yang membuat gembira itu berlomba dengan kelezatan itu sampai menguasai akal kesadarannya…..”
Dia menunduk lalu terbahak, membuat gempar suasana dan berujung mendapat peringatan dari Bu Raida, penjaga perpustakaan yang sebenarnya amat ramah dan murah senyum. Aku ikut terbahak dengan hati terpaksa sebenarnya karena aku samasekali tak ada niat melakukan itu. Apa yang dilantunkan Hadi lewat sajaknya terasa amat pas dengan suasana hatiku yang merindukan Ayah dan apa yang hendak kuceritakan soal peristiwa yang kualami tadi pagi.
Dia masih senyum-senyum sendiri dan sesekali melirikku. Aku sering melihat ia tertawa tapi tidak seperti ini. Kali ini ia tampak panas dan bergembira meski musim hujan sudah berlangsung sejak awal September lalu hingga Januari atau Februari mendatang. Aku terus memandanginya, membuat ia jadi tampak aneh.
“Apa, Zain? Apa ada yang salah? Apa di gigiku ada cabainya?” tanyanya seraya menunjukkan gigi-giginya yang rapi padaku. Aku hanya tersenyum bodoh mendengar tanggapannya.
“Tidak ada apa-apa kok, Cuma kamu tampak gila pagi ini,” jawabku tertawa kecil lalu memukul kepalanya dengan buku tipis yang ada di dekatku. Aku sudah memutuskan untuk menunda keinginanku untuk bercerita. Aku sahabatnya. Dan tawanya adalah kebahagiaanku juga. Tidak untuk bercerita hal sedih yang mengacaukan hatinya, meski aku tahu dia akan sangat ingin mendengarkan ceritaku.
Bel berbunyi. Itu artinya kami harus berpisah hingga pada lima belas menit istirahat berikutnya. Jam-jam di kelas menyenangkan hari ini. Guru biologi menggunakan proyektor saat menjelaskan tentang materi perbedaan hewan-hewan Invertebrata atau hewan-hewan tak bertulang belakang. Gambar-gambar indah yang kulihat saat hewan-hewan lunak itu bergerak di papan tulis membuatku semakin bersemangat. Akhir pelajaran hari ini lebih spektakuler oleh Pak Dhimas, guru sejarah.  Tidak biasanya ia menggunakan kostum pejuang kemerdekaan saat ia menguraikan sejarah kemerdekaan negara ini. Aku cuma bisa bilang bahwa dia keren hari ini dengan wajah yang dicoreng-moreng.
Aku melewati gerbang sekolah dengan buru-buru. Barun mengepalkan tinjunya di atas meja dan mengetuknya sesekali saat aku melihatnya sebentar. Mungkin ia masih ingat kejadian tadi pagi. Tapi gugupku segera mereda saat Hadi telah berada di sampingku.
“Mana sepedamu?” tanyanya.
“Aku tidak pakai sepeda hari ini. Ibu melarang.”
“Lalu? Pulang dengan jalan kaki saja tidak ada jemputan?”
“Apa pernah lihat aku dijemput?” jawabku balik bertanya padanya dan menghela napas lalu mengangguk. Kuharap Hadi segera ingat.
“Oke, kalau begitu ikut denganku saja lagi. Sepeda motor ayahku selalu siap mengantarmu pulang, Zain.” Ia tersenyum dan menepuk bahuku.
“Tapi….” Aku agak sungkan. “Ayahmu kan harus kembali ke bengkel dengan cepat.”
“Ah, kamu ini. Tidak baik menolak kebaikan.”
“Benar, Zain,” sahut Ayah Hadi. Rupanya ia mendengar sedikit percakapan kami. “Paman ini pemilik bengkel itu, dan mengantarmu pulang dengan selamat juga menjadi tanggung jawab. Ayolah segera naik!”
Aku bersyukur bisa mengenal ayah Hadi dengan dekat. Ia sudah tahu bahwa aku  sudah tak memiliki ayah. Bahkan keluargaku, maksudku cuma ibuku pernah bertemu dengan keluarga Hadi di sebuah pesta perayaan. Mereka sangat ramah dan bersimpati pada kami. Itulah kenapa aku sangat menghargai persahabatan bahkan bisa disebut persaudaraan ini.
Aku memilih duduk paling belakang. Memegangi payung dan merasakan perlawanan angin. Rambutku dan rambut Hadi berkibar-kibar. Kami tertawa dalam bisik-bisik kecil. Sementara Ayah Hadi hanya tersenyum dan tetap fokus.
Aku lantas meminta berhenti di persimpangan jalan masuk desaku.  Kupikir, sampai di sini sudah sangat baik. Aku menolak sopan tawaran untuk diantar sampai ke rumah. Rumah mereka masih jauh, dan aku tak mau waktu mereka terbuang hanya untukkku. Kuucapkan terima kasih disertai senyum dan lambaian tangan, mereka lalu  melanjutkan perjalanan pulang. Aku berbalik dan meneruskan langkahku menuju rumah. Melihat gapura beton kokoh yang dibuat mirip dua batang pohon akasia sejajar di dua sisi jalan, yang telah ditumbuhi tanaman rambat berbunga kuning cerah bertuliskan nama desa pada lima lengkungan logam yang menghubungan dua tiangnya.
Selamat Datang di Penabur Hijau”
Penabur Hijau. Ya itu negeri luas yang menjadi saksi dimana aku tumbuh lebih besar, tapi bukan tempat aku dilahirkan. Karena aku dilahirkan di rumah sakit setelah ibu mengalami perdarahan hebat akibat aku lahir  tak normal alias sungsang. Kata Ibu, kaki nakal kananku meraih udara segar lebih dahulu. Ibu terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat kekurangan banyak darah. Sejak kecil ternyata aku telah nyaris merenggut nyawa Ibu. Maafkan aku Ibu.
Kali ini akan kuceritakan tentang desaku yang indah ini. Penabur Hijau. Kondisi dan suasana desa yang tak akan bisa ditemui di tempat lain membuat desa ini menyimpan banyak cerita dan rahasia. Bisa juga disebut misterius.  Ya, misterius. Karena dahulunya, berdasarkan cerita yang kudengar selama bertahun-tahun desa ini tak seindah dan sehijau sekarang. Sebelum Penabur Hijau desa ini bernama Sesembahan Kemarau. Tahu artinya apa? Desa ini dikenal angker dan terkutuk. Gersang, lebih banyak tanaman beracun yang tumbuh ketimbang yang dapat dikonsumsi manusia. Itu sebabnya banyak penduduk perlahan meninggalkan desa ini untuk menghindari kutukannya. Namun sekarang, desa ini perlahan menjadi tersohor karena keasriannya. Cerita seram tentang kutukan sudah musnah hanya menjadi cerita turun temurun. Akan tetapi yang jadi pertanyaan dan sulit dijawab banyak orang adalah apa yang membuat desa ini berubah begitu drastis? Hmmm… Ibuku hanya berkata begini padaku saat menuntaskan kisahnya, “Itu Keajaiban Tuhan yang tak bisa dimengerti oleh manusia manapun.” Aku meng-iya-kan meski hati bergemeringsing lebih kencang untuk rasa ingin tahu yang meluap-luap tentang masa rahasia Penabur Hijau.
Ada lima kawasan yang menjadi bagian dari Penabur Hijau. Dan masing-masing kawasan itu memiliki karakter alamnya masing-masing. Terdengar aneh bagi pengunjung mulanya. Tapi mereka percaya sesudah menjelajahinya sendiri.
Dimulai dari Kawasan Tanah Ternak yang  berada di dekat hutan karet luas dan tepat di dekat jalan raya. Itu tempat tinggalku sebagai kawasan pertama dan Gapura Nomor Satu. Tak banyak yang tinggal di kawasan ini. Hanya sekitar lima puluh rumah saja yang berjauhan. Dan rumahku adalah rumah ke dua setelah rumah pertama yang berdiri dua puluh meter dari gapura. Itu pun jaraknya lima puluh meter dari rumahku karena dipisahkan oleh padang rumput hijau dan pohon-pohon teduh tempat anak-anak dari Kawasan Tanah Ternak menggembalakan ternak mereka sekaligus sebagai tempat bermain bola kaki atau yang lainnya. Kawasan ini identik dengan suasana perkebunan karena banyaknya kebun buah dan sayur yang digarap penduduknya. Termasuk aku yang punya kebun sayur di belakang rumah.
Lalu beralih kepada kawasan kedua yang dipisahkan oleh kanal lebar berair jernih dan jembatan penghubung. Kawasan ini ada di sisi kanan Kawasan Tanah Ternak, ialah Kawasan Kalembrong.
Aku tak pernah paham tentang makna Kalembrong, ibuku juga tidak atau keturunan baru penduduk desa ini sekalipun. Yang aku tahu, Kawasan Kalembrong seperti suasana desa pada umumnya. Berpenduduk terbanyak, lebih dari dua ratus rumah berjajar rapi sepanjang jalan aspal yang mengular, ada warung-warung sembako dan identik dengan suasana perdagangan. Aku dan Ibuku sering  mengunjungi Kalembrong dengan bersepeda jika kami sedang membutuhkan bahan makanan yang habis. Ibuku akrab dengan seorang wanita pedagang bernama Seruni di sana. Tapi perlu diketahui, Di Kalembronglah didirikan bangunan Sekolah Dasar yang besar dan bertingkat.
Kemudian ada kawasan ke tiga. Kawasan yang tepat berada di tengah-tengah empat kawasan yang mengelilinginya. Ialah Kawasan Majat.  Kawasan yang tak berpenghuni, bentuknya seperti seperempat lingkaran jika dilihat dari atas. Banyak ditumbuhi tanaman obat, tanaman berduri, belukar, dan pohon-bohon besar . Ya seperti hutan kecil yang jarang dijamah kecuali oleh pemburu. Karena di Majat masih banyak hewan buruan. Seperti kancil, babi, tupai, burung-burung liar berbulu indah, dan masih banyak lagi. Ada sebuah danau kecil di sana. Satu hal yang tidak kusuka adalah babi-babi dari Majat sering bermigrasi pada malam hari untuk mencari makanan menuju Tanah Ternak dan menghancurkan kebun buah dan sayur kami. Kelak aku akan memberanikan diri memburu mereka.
Kemudian beralih kepada kawasan ke empat. Yang letaknya bersebelahan dengan Kawasan Tanah Ternak . Kawasan Bunga Riang. Tapi penduduk di sana lebih sering menyebut kawasan mereka sebagai Happy Flowers Hills. Mungkin kedengaran lebih keren jika disebutkan dalam bahasa inggris. Maklum saja, kawasan itu dihuni oleh orang-orang kaya yang bekerja di perusahaan minyak milik pemerintah di daerahku. Kawasan Bunga Riang lebih mirip kompleks mewah dengan rumah-rumah besar berornamen dan mobil-mobil mahal yang terpajang dalam garasi-garasi kokoh mereka. Bunga Riang identik dengan suasana bisnis.
Di sinilah terdapat Gapura Nomor Dua berada yang jalannya langsung menghubungkan dengan perusahaan minyak yang kumaksud. Kontur tanah berbukit-bukit dan banyak bunga-bunga cantik berwarna cerah yang tersebar di sana, membuat kawasan ini menjadi tampak elegan dan menawarkan keindahan tersendiri. Namun sayangnya, orang-orang di Happy Flowers Hills kurang bersahabat. Mereka cenderung memisah dan menganggap diri mereka berbeda. Bahkan mereka sempat ingin memisahkan diri dari Penabur Hijau dengan membangun tembok beton setinggi dua meter di seluruh tepi kawasannya sebagai bukti pemisahan. Beruntung seorang tua bernama Gunadi yang sudah puluhan tahun menetap di sana bahkan generasi sebelum dia, menentang tindakan tersebut. Ia sangat murka dan berjanji akan melaporkan tindakan orang-orang sombong di sana sebagai bentuk pemberontakan bukan pemekaran wilayah. Hmm…Sebal dan membosankan saat harus kuceritakan tentang Happy Flowers Hills. Semenyebalkan Keluarga Harris yang sombong yang juga menjadi bagian dari mereka. Aku menyebut Harris sebagai teman hanya karena dia pernah menjadi teman sekelasku yang egois dan angkuh. Selebihnya tidak akan. Bahkan walaupun Bunga Riang seperti mini metropolitan pun aku tidak tertarik untuk ke sana kecuali karena sebuah alasan yang mengharuskan.
Berikutnya yang akan kuceritakan adalah kawasan terakhir yang melengkapi keunikan Penabur Hijau, adalah Kawasan Rawa Hantu namanya. Terdengar sangat menyeramkan, tapi menurutku sendiri kawasan ini memang cukup menyeramkan. Dengan penduduk yang masih bertuah terhadap keyakinan kerabat dan leluhur mereka terdahulu. Adat istiadat masih sangat terjaga di sana. Butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan mereka, bahwa mereka butuh perkembangan agar bisa maju. Bayangkan saja, hanya sedikit sekali orangtua yang berpikir bahwa anak-anak mereka perlu sekolah agar bisa berpikir lebih cerdas.
Aku pernah mengunjungi kawasan ini beberapa kali. Dulu waktu masih SD. Rawa Hantu benar-benar adalah rawa-rawa gelap yang banyak ditumbuhi pandan berduri  dan sebagian lagi adalah bambu. Rumah-rumah panggung beratap daun pandan berduri  yang dikeringkan dan dianyam berlapis-lapis adalah pemandangan berbeda dari kawasan lainnya. Apalagi kawasan ini tanpa listrik. Benar-benar sebuah sensasi pedalaman di antara hiruk pikuk kota berkembang. Kawasan Rawa Hantu identik dengan suasana karya seni. Banyak dari mereka yang menjual hasil kerajinan tangan dari bahan alami ke luar kawasan. Ibuku pernah membeli sebuah vas bunga anyaman dari seorang ibu tua dari Rawa Hantu yang mengunjungi rumah kami. Harus kuakui dia wanita kuat yang sanggup berjalan sejauh itu.
Dan pada akhirnya semua kawasan itu adalah bagian dari dari keutuhan Penabur Hijau. Meski banyak sekali perbedaan di tempat ini, aku akan selalu bersyukur menjadi bagian di dalamnya untuk tumbuh dewasa dan tua.
Aku sudah berada di depan halaman rumah, hanya dipagari asoka rimbun berbunga merah dan kuning. Tiap kali libur ibu rajin memangkas rapi dan meratakannya setinggi delapan puluh sentimeter. Ia akan sangat semangat, sama seperti nama bunga asoka yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti tanpa kesedihan.
Kali ini, entah kenapa aku menikmati perjalanan menuju rumah. Rumah yang menjadi saksi banyak kisah antara aku, ibuku, dan juga ayahku.
Rumah kami adalah rumah tua. Sebenarnya kami bukan pemilik asli. Aku hanya mendengar kisah aslinya dari ibu ketika aku masih kelas lima SD. Dulu, setelah menikah ayah dan ibu tinggal di sebuah perumahan elit. Tapi karena perusahaan tempat ayah bekerja mengalami krisis, ayah menjadi salah satu karyawan yang diputuskan hubungan kerjanya.Maka dari itu ayah lantas membeli rumah dan tanah ini dengan uang yang ditabungnya sejak lama, dari seorang pria paruh baya yang merupakan anak sulung dari pemilik resmi rumah ini yang sudah lama meninggal. Rumah ini hendak dirobohkan dan dijadikan lahan pertanian karena dianggap tidak ada yang menempati lagi. Tapi berkat perawatan dan perbaikan yang dilakukan ayah dan ibu di sana-sini,  rumah ini menjadi nyaman dan menyenangkan.
Memasuki halaman rumah yang hijau, mengikuti jalan berkerikil, di salah satu sisinya tumbuh rindang bugenvil ungu yang tak penah berhenti berbunga dan bunga pisang kipas atau Crane Plant. Ibu meletakkan bangku taman di sana. Jadi agak mirip taman sakura di Jepang. Sementara di sisi yang lain, sepuluh meter dari jalan kerikil tumbuh berdampingan dua batang kelapa puyuh, dan tak jauh di kirinya ada pohon rambutan hasil cangkokkan ayah dulu yang kini sudah tumbuh besar dan berbuah berkali-kali. Dan melangkah lebih dekat menuju rumah, di kanan-kiri jalan kerikil selebar satu meter  ada Sansevieria Trifasciata yang tumbuh seperti pedang-pedang melengkung yang gagangnya ditanam ke dalam tanah. Lalu ada pot-pot penuh bunga warna-warni yang pada hari ini tengah bermekaran. Diletakkan di atas rak tingkat seperti tangga ataupun digantung di teras rumah.
Ibuku gemar menanam dan merawat bunga. Sementara aku gemar berkebun di belakang rumah. Ada banyak sayur di sana, seperti kacang panjang, kangkung darat, bayam, sawi, terong, cabai, tomat, dan masih banyak lagi. Ibu sangat mendukung kegiatan berkebunku. Ia bilang sangat bermanfaat. Selain tidak menyulitkan ibu jika kehabisan sayur, juga dapat menghemat biaya belanja. Namun sayangnya ibu melarangku untuk beternak meski kami tinggal di Kawasan Tanah Ternak. Ibu tidak mau repot dengan ternak-ternak yang suka buang kotoran sembarangan.
Akan tetapi, dari keseluruhan bangunan rumah beserta halamannnya, hanya ada dua yang selalu menjadi misteri buatku. Ialah sumur tua yang dikunci rapat di samping kanan rumah dan celah sempit lima belas sentimeter yang terdapat di antara kamar ibu dan ruang perkakas. Aku tidak tahu tentang sumur itu meski aku sering melewatinya. Karena ibu hanya bilang itu cuma sumur tua kering yang tidak bisa dimanfaatkan lagi. Sementara tentang celah sempit itu, ibu cuma menjelaskan bahwa itu kemungkinan kesalahan fatal saat membangun masing-masing ruangan. Alasan yang cukup masuk akal tetapi menimbulkan dugaan-dugaan yang lain.
Setelah sampai di depan pintu, kuraih kunci yang ada di saku celanaku dan bergegas masuk ke dalam. Kunci ini adalah salah satu dari tiga kunci pintu depan rumah ini. Ibu mulai memberiku satu kunci sejak aku SMP. Mungkin karena jadwal pulang sekolah berbeda dari SD dan ibu selalu pulang jam  lima sore. Dan Sebelum ibu pulang, hanya ada aku dan benda-benda mati ini. Siaran televisi tidak mengurangi kesepianku. Maka dari itu, sembari menunggu ibu pulang aku terbiasa berkebun lalu bermain bersama anak-anak gembala di padang rumput. Bersama mereka aku bisa tertawa dan berlarian untuk mengusir kesendirian yang menakutkan. Merasa sangat bebas menikmati hidup.
***

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate