The INCREDIBLE OF
ZAIN
_Egg
Tales_
(
Kisah-kisah dari telur )
M.Z. Billal
|
1.
Lelaki Puisi dan Penabur Hijau
Namaku Zain. Tidak ada perpanjangan nama di belakang namaku. Seperti
nama belakang ayah atau nama besar keluarga sebelumnya. Entah kenapa ayah dan ibuku memberikanku nama
cukup dengan empat huruf saja. Ibu bilang, nama yang sederhana itu diambil dari
Bahasa Arab juga merupakan huruf hijaiyah ke sebelas. Nama yang indah dan dapat
memberi pengaruh juga inspirasi. Semoga Tuhan mengabulkan harapan mereka.
Hal yang identik dari diriku adalah mata sipit dan berkulit sawo
matang. Namun yang paling khas dari fisikku adalah bentuk kepalaku yang bulat
dan rambut kecokelatanku yang tipis. Malu rasanya membahas ini. Karena itulah
teman-temanku memberi julukan untukku, Si Kepala Labu. Tidak rasional rasanya
menyamakan kepalaku dengan labu yang gepeng. Ibu tertawa saat kuceritakan itu
padanya. Ia malah bercerita kenyataannya. Bahwa sejak kecil rambutku memang
sulit tumbuh, meski sudah mencoba banyak cara untuk menumbuhkannya. Namun, ibu
selalu menyemangatiku dengan bilang bahwa itu bukanlah kekurangan, melainkan
keistimewaan yang membuatku tampak berbeda.
Umurku, pada 15 Mei nanti tepat berusia 15 tahun. Ini adalah bulan
ke empat semester pertama aku di kelas tiga SMP. Aku bukan seorang periang,
bukan seorang yang jenius, bukan juga seorang introvert. Maka dari itu aku
sulit mendapatkan teman yang cocok denganku. Hanya pria kecil bertubuh kurus dan
lebih tinggi sedikit dariku dengan kacamata bundar itu yang pas dengan hatiku. Hadi
Atmaja. Dia penggila sejati puisi yang pernah kutemui.
Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Sajidah. Dia adalah
perempuan berhati separuh malaikat yang luar biasa berarti untuk kehidupanku di
masa lalu, kini, dan nanti selamanya. Tanpanya aku pasti sudah hancur dan
lenyap menjadi debu yang tak ada harganya. Sementara ayahku? Seperti yang sudah
pernah kuceritakan sebelumnya, dia tak pernah kembali. Dan itu membuatku resmi
menyandang gelar anak yatim. Tanpa kehadirannya selama dua belas tahun, aku
terbiasa menumpuk lembaran rindu di setiap hariku. Berharap kelak dia akan
datang menemui kami, aku dan ibuku.
Dan pagi ini hujan sudah reda, digantikan lembar-lembar cahaya
matahari yang hangat. Membuat bunga-bunga bakung merah dan bunga zinnia tampak
merona di sekitar cemara kipas di dalam sepetak taman kelas. Aku merasa gembira
setelah mendapat nilai tertinggi ke tiga pada ujian praktek menyanyi. Itu bukan
prestasi yang hebat atau aku punya suara yang merdu, tapi setidaknya aku mampu
membius guru seniku dan yang lain karena keberanianku menyanyikan lagu nasional
favoritku Garuda Pancasila dengan penuh semangat dan ekspresif. Ibu pasti
senang mendengar ceritaku nanti.
Pada jam istirahat aku memilih bergegas ke perpustakaan. Menemui
Lelaki Puisi. Sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Bahkan selama enam tahun di
SD, keempatbelas teman-teman sekelasku dulu memilih sekedar berlalu di
kehidupanku yang sekarang. Mereka cenderung kaku lalu menjadi sombong.
Aku mengenal Hadi saat hari pertama Masa Orientasi Sekolah. Dia
tampak tak peduli sekitar. Menghabiskan waktu luang dengan membaca buku di
bawah beringin rindang dan menuruti segala perintah kakak kelas meski hal itu
adalah yang memalukan sekalipun. Kupikir dia idiot awalnya. Tapi ternyata,
obrolan pertama kami telah merubah pemikiranku tentangnya. Setidaknya aku
mengenal buku-buku sastra sepanjang masa bahkan yang belum pernah kubaca sekali
pun. Meski aku hanya membaca judul-judul itu pada punggung buku yang tersusun
rapi di rak buku koleksi Ayah. Intinya kami menjadi tersambung satu sama lain.
Lalu sangat gembira ketika tahu kami berada dalam kelas yang sama. Namun
sayangnya, di penghujung SMP ini kami malah terpisah setelah dua tahun bersama.
Aku di kelas B dan dia berada di kelas E. Tapi itu tak lantas membuat kami
berpisah. Karena kami telah memutuskan dengan sebuah janji akan selalu bersama,
dalam suka yang dapat melupakan ataupun duka yang paling menghancurkan.
“Hey,” bisikku sembari mengetukkan jemari ke kaca jendela
perpustakaan yang tak ditutupi gorden. Aku tahu Hadi selalu berada di sana. Di
tempat duduk yang sama, dan ia tak punya alasan lain untuk itu kecuali suka
tempat itu.
Dia hanya mengangkat kepalanya sebentar dan tersenyum lalu menunduk
lagi. Hanya itu. Lalu kupercepat langkah memasuki perpustakaan dan duduk di
sebelahnya. Dia tengah membaca dan menghayati syair Kahlil Gibran.
“Beri aku satu kutipan bijaknya!” kataku bersemangat.
Hadi menarik napas dalam-dalam dan menaikkan kacamata dengan
telunjukknya lalu mulai mengurai sajak dengan kemerduannya seakan-akan ia
adalah penyair terkenal, “Kita selalu mendengar kerinduan karena itu hati
kita membuka penutupnya untuk mencukur kesedihan lalu bangun menari-nari di
antara tulang rusuk-tulang rusuk, karena kerinduan adalah nyanyian gembira yang
membuat orang melupakan kedukaannya sehingga ia merasa nyaman dan meminum
nyanyian itu dengan kelezatan yang aneh dan ia menambah lagi seolah-olah dia
tahu bahwa anggur yang membuat gembira itu berlomba dengan kelezatan itu sampai
menguasai akal kesadarannya…..”
Dia menunduk lalu terbahak, membuat gempar suasana dan berujung
mendapat peringatan dari Bu Raida, penjaga perpustakaan yang sebenarnya amat
ramah dan murah senyum. Aku ikut terbahak dengan hati terpaksa sebenarnya
karena aku samasekali tak ada niat melakukan itu. Apa yang dilantunkan Hadi
lewat sajaknya terasa amat pas dengan suasana hatiku yang merindukan Ayah dan
apa yang hendak kuceritakan soal peristiwa yang kualami tadi pagi.
Dia masih senyum-senyum sendiri dan sesekali melirikku. Aku sering
melihat ia tertawa tapi tidak seperti ini. Kali ini ia tampak panas dan
bergembira meski musim hujan sudah berlangsung sejak awal September lalu hingga
Januari atau Februari mendatang. Aku terus memandanginya, membuat ia jadi
tampak aneh.
“Apa, Zain? Apa ada yang salah? Apa di gigiku ada cabainya?”
tanyanya seraya menunjukkan gigi-giginya yang rapi padaku. Aku hanya tersenyum
bodoh mendengar tanggapannya.
“Tidak ada apa-apa kok, Cuma kamu tampak gila pagi ini,” jawabku
tertawa kecil lalu memukul kepalanya dengan buku tipis yang ada di dekatku. Aku
sudah memutuskan untuk menunda keinginanku untuk bercerita. Aku sahabatnya. Dan
tawanya adalah kebahagiaanku juga. Tidak untuk bercerita hal sedih yang
mengacaukan hatinya, meski aku tahu dia akan sangat ingin mendengarkan
ceritaku.
Bel berbunyi. Itu artinya kami harus berpisah hingga pada lima
belas menit istirahat berikutnya. Jam-jam di kelas menyenangkan hari ini. Guru
biologi menggunakan proyektor saat menjelaskan tentang materi perbedaan
hewan-hewan Invertebrata atau hewan-hewan tak bertulang belakang. Gambar-gambar
indah yang kulihat saat hewan-hewan lunak itu bergerak di papan tulis membuatku
semakin bersemangat. Akhir pelajaran hari ini lebih spektakuler oleh Pak
Dhimas, guru sejarah. Tidak biasanya ia
menggunakan kostum pejuang kemerdekaan saat ia menguraikan sejarah kemerdekaan
negara ini. Aku cuma bisa bilang bahwa dia keren hari ini dengan wajah yang
dicoreng-moreng.
Aku melewati gerbang sekolah dengan buru-buru. Barun mengepalkan
tinjunya di atas meja dan mengetuknya sesekali saat aku melihatnya sebentar.
Mungkin ia masih ingat kejadian tadi pagi. Tapi gugupku segera mereda saat Hadi
telah berada di sampingku.
“Mana sepedamu?” tanyanya.
“Aku tidak pakai sepeda hari ini. Ibu melarang.”
“Lalu? Pulang dengan jalan kaki saja tidak ada jemputan?”
“Apa pernah lihat aku dijemput?” jawabku balik bertanya padanya dan
menghela napas lalu mengangguk. Kuharap Hadi segera ingat.
“Oke, kalau begitu ikut denganku saja lagi. Sepeda motor ayahku
selalu siap mengantarmu pulang, Zain.” Ia tersenyum dan menepuk bahuku.
“Tapi….” Aku agak sungkan. “Ayahmu kan harus kembali ke bengkel
dengan cepat.”
“Ah, kamu ini. Tidak baik menolak kebaikan.”
“Benar, Zain,” sahut Ayah Hadi. Rupanya ia mendengar sedikit
percakapan kami. “Paman ini pemilik bengkel itu, dan mengantarmu pulang dengan
selamat juga menjadi tanggung jawab. Ayolah segera naik!”
Aku bersyukur bisa mengenal ayah Hadi dengan dekat. Ia sudah tahu bahwa
aku sudah tak memiliki ayah. Bahkan
keluargaku, maksudku cuma ibuku pernah bertemu dengan keluarga Hadi di sebuah
pesta perayaan. Mereka sangat ramah dan bersimpati pada kami. Itulah kenapa aku
sangat menghargai persahabatan bahkan bisa disebut persaudaraan ini.
Aku memilih duduk paling belakang. Memegangi payung dan merasakan
perlawanan angin. Rambutku dan rambut Hadi berkibar-kibar. Kami tertawa dalam
bisik-bisik kecil. Sementara Ayah Hadi hanya tersenyum dan tetap fokus.
Aku lantas meminta berhenti di persimpangan jalan masuk
desaku. Kupikir, sampai di sini sudah
sangat baik. Aku menolak sopan tawaran untuk diantar sampai ke rumah. Rumah
mereka masih jauh, dan aku tak mau waktu mereka terbuang hanya untukkku.
Kuucapkan terima kasih disertai senyum dan lambaian tangan, mereka lalu melanjutkan perjalanan pulang. Aku berbalik
dan meneruskan langkahku menuju rumah. Melihat gapura beton kokoh yang dibuat
mirip dua batang pohon akasia sejajar di dua sisi jalan, yang telah ditumbuhi
tanaman rambat berbunga kuning cerah bertuliskan nama desa pada lima lengkungan
logam yang menghubungan dua tiangnya.
“Selamat Datang di Penabur
Hijau”
Penabur Hijau. Ya itu negeri luas yang menjadi saksi dimana aku
tumbuh lebih besar, tapi bukan tempat aku dilahirkan. Karena aku dilahirkan di
rumah sakit setelah ibu mengalami perdarahan hebat akibat aku lahir tak normal alias sungsang. Kata Ibu, kaki
nakal kananku meraih udara segar lebih dahulu. Ibu terpaksa dilarikan ke rumah
sakit akibat kekurangan banyak darah. Sejak kecil ternyata aku telah nyaris
merenggut nyawa Ibu. Maafkan aku Ibu.
Kali ini akan kuceritakan tentang desaku yang indah ini. Penabur
Hijau. Kondisi dan suasana desa yang tak akan bisa ditemui di tempat lain
membuat desa ini menyimpan banyak cerita dan rahasia. Bisa juga disebut
misterius. Ya, misterius. Karena dahulunya,
berdasarkan cerita yang kudengar selama bertahun-tahun desa ini tak seindah dan
sehijau sekarang. Sebelum Penabur Hijau desa ini bernama Sesembahan Kemarau.
Tahu artinya apa? Desa ini dikenal angker dan terkutuk. Gersang, lebih banyak
tanaman beracun yang tumbuh ketimbang yang dapat dikonsumsi manusia. Itu
sebabnya banyak penduduk perlahan meninggalkan desa ini untuk menghindari
kutukannya. Namun sekarang, desa ini perlahan menjadi tersohor karena
keasriannya. Cerita seram tentang kutukan sudah musnah hanya menjadi cerita
turun temurun. Akan tetapi yang jadi pertanyaan dan sulit dijawab banyak orang
adalah apa yang membuat desa ini berubah begitu drastis? Hmmm… Ibuku hanya
berkata begini padaku saat menuntaskan kisahnya, “Itu Keajaiban Tuhan yang tak
bisa dimengerti oleh manusia manapun.” Aku meng-iya-kan meski hati
bergemeringsing lebih kencang untuk rasa ingin tahu yang meluap-luap tentang
masa rahasia Penabur Hijau.
Ada lima kawasan yang menjadi bagian dari Penabur Hijau. Dan
masing-masing kawasan itu memiliki karakter alamnya masing-masing. Terdengar
aneh bagi pengunjung mulanya. Tapi mereka percaya sesudah menjelajahinya
sendiri.
Dimulai dari Kawasan Tanah Ternak yang berada di dekat hutan karet luas dan tepat di
dekat jalan raya. Itu tempat tinggalku sebagai kawasan pertama dan Gapura Nomor
Satu. Tak banyak yang tinggal di kawasan ini. Hanya sekitar lima puluh rumah
saja yang berjauhan. Dan rumahku adalah rumah ke dua setelah rumah pertama yang
berdiri dua puluh meter dari gapura. Itu pun jaraknya lima puluh meter dari
rumahku karena dipisahkan oleh padang rumput hijau dan pohon-pohon teduh tempat
anak-anak dari Kawasan Tanah Ternak menggembalakan ternak mereka sekaligus
sebagai tempat bermain bola kaki atau yang lainnya. Kawasan ini identik dengan
suasana perkebunan karena banyaknya kebun buah dan sayur yang digarap
penduduknya. Termasuk aku yang punya kebun sayur di belakang rumah.
Lalu beralih kepada kawasan kedua yang dipisahkan oleh kanal lebar
berair jernih dan jembatan penghubung. Kawasan ini ada di sisi kanan Kawasan
Tanah Ternak, ialah Kawasan Kalembrong.
Aku tak pernah paham tentang makna Kalembrong, ibuku juga tidak
atau keturunan baru penduduk desa ini sekalipun. Yang aku tahu, Kawasan
Kalembrong seperti suasana desa pada umumnya. Berpenduduk terbanyak, lebih dari
dua ratus rumah berjajar rapi sepanjang jalan aspal yang mengular, ada
warung-warung sembako dan identik dengan suasana perdagangan. Aku dan Ibuku sering
mengunjungi Kalembrong dengan bersepeda jika
kami sedang membutuhkan bahan makanan yang habis. Ibuku akrab dengan seorang
wanita pedagang bernama Seruni di sana. Tapi perlu diketahui, Di Kalembronglah
didirikan bangunan Sekolah Dasar yang besar dan bertingkat.
Kemudian ada kawasan ke tiga. Kawasan yang tepat berada di tengah-tengah
empat kawasan yang mengelilinginya. Ialah Kawasan Majat. Kawasan yang tak berpenghuni, bentuknya
seperti seperempat lingkaran jika dilihat dari atas. Banyak ditumbuhi tanaman
obat, tanaman berduri, belukar, dan pohon-bohon besar . Ya seperti hutan kecil
yang jarang dijamah kecuali oleh pemburu. Karena di Majat masih banyak hewan buruan.
Seperti kancil, babi, tupai, burung-burung liar berbulu indah, dan masih banyak
lagi. Ada sebuah danau kecil di sana. Satu hal yang tidak kusuka adalah
babi-babi dari Majat sering bermigrasi pada malam hari untuk mencari makanan menuju
Tanah Ternak dan menghancurkan kebun buah dan sayur kami. Kelak aku akan
memberanikan diri memburu mereka.
Kemudian beralih kepada kawasan ke empat. Yang letaknya
bersebelahan dengan Kawasan Tanah Ternak . Kawasan Bunga Riang. Tapi penduduk
di sana lebih sering menyebut kawasan mereka sebagai Happy Flowers Hills.
Mungkin kedengaran lebih keren jika disebutkan dalam bahasa inggris. Maklum
saja, kawasan itu dihuni oleh orang-orang kaya yang bekerja di perusahaan
minyak milik pemerintah di daerahku. Kawasan Bunga Riang lebih mirip kompleks
mewah dengan rumah-rumah besar berornamen dan mobil-mobil mahal yang terpajang
dalam garasi-garasi kokoh mereka. Bunga Riang identik dengan suasana bisnis.
Di sinilah terdapat Gapura Nomor Dua berada yang jalannya langsung
menghubungkan dengan perusahaan minyak yang kumaksud. Kontur tanah
berbukit-bukit dan banyak bunga-bunga cantik berwarna cerah yang tersebar di
sana, membuat kawasan ini menjadi tampak elegan dan menawarkan keindahan
tersendiri. Namun sayangnya, orang-orang di Happy Flowers Hills kurang
bersahabat. Mereka cenderung memisah dan menganggap diri mereka berbeda. Bahkan
mereka sempat ingin memisahkan diri dari Penabur Hijau dengan membangun tembok
beton setinggi dua meter di seluruh tepi kawasannya sebagai bukti pemisahan.
Beruntung seorang tua bernama Gunadi yang sudah puluhan tahun menetap di sana
bahkan generasi sebelum dia, menentang tindakan tersebut. Ia sangat murka dan
berjanji akan melaporkan tindakan orang-orang sombong di sana sebagai bentuk
pemberontakan bukan pemekaran wilayah. Hmm…Sebal dan membosankan saat harus
kuceritakan tentang Happy Flowers Hills. Semenyebalkan Keluarga Harris
yang sombong yang juga menjadi bagian dari mereka. Aku menyebut Harris sebagai
teman hanya karena dia pernah menjadi teman sekelasku yang egois dan angkuh.
Selebihnya tidak akan. Bahkan walaupun Bunga Riang seperti mini metropolitan
pun aku tidak tertarik untuk ke sana kecuali karena sebuah alasan yang
mengharuskan.
Berikutnya yang akan kuceritakan adalah kawasan terakhir yang
melengkapi keunikan Penabur Hijau, adalah Kawasan Rawa Hantu namanya. Terdengar
sangat menyeramkan, tapi menurutku sendiri kawasan ini memang cukup
menyeramkan. Dengan penduduk yang masih bertuah terhadap keyakinan kerabat dan
leluhur mereka terdahulu. Adat istiadat masih sangat terjaga di sana. Butuh
waktu lebih lama untuk meyakinkan mereka, bahwa mereka butuh perkembangan agar
bisa maju. Bayangkan saja, hanya sedikit sekali orangtua yang berpikir bahwa
anak-anak mereka perlu sekolah agar bisa berpikir lebih cerdas.
Aku pernah mengunjungi kawasan ini beberapa kali. Dulu waktu masih
SD. Rawa Hantu benar-benar adalah rawa-rawa gelap yang banyak ditumbuhi pandan
berduri dan sebagian lagi adalah bambu.
Rumah-rumah panggung beratap daun pandan berduri yang dikeringkan dan dianyam berlapis-lapis
adalah pemandangan berbeda dari kawasan lainnya. Apalagi kawasan ini tanpa
listrik. Benar-benar sebuah sensasi pedalaman di antara hiruk pikuk kota
berkembang. Kawasan Rawa Hantu identik dengan suasana karya seni. Banyak dari
mereka yang menjual hasil kerajinan tangan dari bahan alami ke luar kawasan.
Ibuku pernah membeli sebuah vas bunga anyaman dari seorang ibu tua dari Rawa
Hantu yang mengunjungi rumah kami. Harus kuakui dia wanita kuat yang sanggup
berjalan sejauh itu.
Dan pada akhirnya semua kawasan itu adalah bagian dari dari
keutuhan Penabur Hijau. Meski banyak sekali perbedaan di tempat ini, aku akan
selalu bersyukur menjadi bagian di dalamnya untuk tumbuh dewasa dan tua.
Aku sudah berada di depan halaman rumah, hanya dipagari asoka
rimbun berbunga merah dan kuning. Tiap kali libur ibu rajin memangkas rapi dan
meratakannya setinggi delapan puluh sentimeter. Ia akan sangat semangat, sama
seperti nama bunga asoka yang berasal dari bahasa sansekerta yang berarti tanpa
kesedihan.
Kali ini, entah kenapa aku menikmati perjalanan menuju rumah. Rumah
yang menjadi saksi banyak kisah antara aku, ibuku, dan juga ayahku.
Rumah kami adalah rumah tua. Sebenarnya kami bukan pemilik asli.
Aku hanya mendengar kisah aslinya dari ibu ketika aku masih kelas lima SD.
Dulu, setelah menikah ayah dan ibu tinggal di sebuah perumahan elit. Tapi
karena perusahaan tempat ayah bekerja mengalami krisis, ayah menjadi salah satu
karyawan yang diputuskan hubungan kerjanya.Maka dari itu ayah lantas membeli
rumah dan tanah ini dengan uang yang ditabungnya sejak lama, dari seorang pria
paruh baya yang merupakan anak sulung dari pemilik resmi rumah ini yang sudah
lama meninggal. Rumah ini hendak dirobohkan dan dijadikan lahan pertanian
karena dianggap tidak ada yang menempati lagi. Tapi berkat perawatan dan
perbaikan yang dilakukan ayah dan ibu di sana-sini, rumah ini menjadi nyaman dan menyenangkan.
Memasuki halaman rumah yang hijau, mengikuti jalan berkerikil, di
salah satu sisinya tumbuh rindang bugenvil ungu yang tak penah berhenti
berbunga dan bunga pisang kipas atau Crane Plant. Ibu meletakkan bangku
taman di sana. Jadi agak mirip taman sakura di Jepang. Sementara di sisi yang
lain, sepuluh meter dari jalan kerikil tumbuh berdampingan dua batang kelapa
puyuh, dan tak jauh di kirinya ada pohon rambutan hasil cangkokkan ayah dulu
yang kini sudah tumbuh besar dan berbuah berkali-kali. Dan melangkah lebih
dekat menuju rumah, di kanan-kiri jalan kerikil selebar satu meter ada Sansevieria Trifasciata yang
tumbuh seperti pedang-pedang melengkung yang gagangnya ditanam ke dalam tanah.
Lalu ada pot-pot penuh bunga warna-warni yang pada hari ini tengah bermekaran.
Diletakkan di atas rak tingkat seperti tangga ataupun digantung di teras rumah.
Ibuku gemar menanam dan merawat bunga. Sementara aku gemar berkebun
di belakang rumah. Ada banyak sayur di sana, seperti kacang panjang, kangkung
darat, bayam, sawi, terong, cabai, tomat, dan masih banyak lagi. Ibu sangat mendukung
kegiatan berkebunku. Ia bilang sangat bermanfaat. Selain tidak menyulitkan ibu
jika kehabisan sayur, juga dapat menghemat biaya belanja. Namun sayangnya ibu
melarangku untuk beternak meski kami tinggal di Kawasan Tanah Ternak. Ibu tidak
mau repot dengan ternak-ternak yang suka buang kotoran sembarangan.
Akan tetapi, dari keseluruhan bangunan rumah beserta halamannnya,
hanya ada dua yang selalu menjadi misteri buatku. Ialah sumur tua yang dikunci
rapat di samping kanan rumah dan celah sempit lima belas sentimeter yang
terdapat di antara kamar ibu dan ruang perkakas. Aku tidak tahu tentang sumur
itu meski aku sering melewatinya. Karena ibu hanya bilang itu cuma sumur tua
kering yang tidak bisa dimanfaatkan lagi. Sementara tentang celah sempit itu,
ibu cuma menjelaskan bahwa itu kemungkinan kesalahan fatal saat membangun
masing-masing ruangan. Alasan yang cukup masuk akal tetapi menimbulkan
dugaan-dugaan yang lain.
Setelah sampai di depan pintu, kuraih kunci yang ada di saku
celanaku dan bergegas masuk ke dalam. Kunci ini adalah salah satu dari tiga
kunci pintu depan rumah ini. Ibu mulai memberiku satu kunci sejak aku SMP.
Mungkin karena jadwal pulang sekolah berbeda dari SD dan ibu selalu pulang
jam lima sore. Dan Sebelum ibu pulang,
hanya ada aku dan benda-benda mati ini. Siaran televisi tidak mengurangi kesepianku.
Maka dari itu, sembari menunggu ibu pulang aku terbiasa berkebun lalu bermain
bersama anak-anak gembala di padang rumput. Bersama mereka aku bisa tertawa dan
berlarian untuk mengusir kesendirian yang menakutkan. Merasa sangat bebas
menikmati hidup.
***
No comments:
Post a Comment