Biografi dan Puisi-Puisi
Sapardi Djoko Damono
Bersumber dari Wikipedia Indonesia
Sapardi Djoko Damono
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Sapardi Djoko Damono
|
|
Nama lahir
|
Sapardi Djoko
Damono
|
Lahir
|
|
Pekerjaan
|
|
Tahun aktif
|
1958
- sekarang
|
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940;
umur 77 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia dikenal melalui berbagai puisi-puisinya
yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat
populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum.
Daftar isi
Riwayat hidup
Masa
mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955
dan SMA Negeri 2 Surakarta
tahun 1958). Pada masa ini ia sudah menulis sejumlah
karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang
saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. Sejak tahun
1974 ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia,
namun kini telah pensiun. Ia pernah menjadi dekan
di sana dan juga menjadi guru besar. Pada masa
tersebut ia juga menjadi redaktur pada majalah "Horison",
"Basis", dan "Kalam".
Sapardi
Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada tahun 1986
SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia
juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah
seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia
menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Karya-karya
Sajak-sajak
SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa,
termasuk bahasa daerah. Ia
tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan
berbagai karya penulis asing, menulis esei,
serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan
banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali
dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada
Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di
Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi
terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana
(tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan
interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut
adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi), serta beberapa esei.
Fiksi (Puisi dan Prosa)
- "Duka-Mu Abadi", Bandung (1969)
- "Lelaki Tua dan Laut" (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
- "Mata Pisau" (1974)
- "Sepilihan Sajak George Seferis" (1975; terjemahan karya George Seferis)
- "Puisi Klasik Cina" (1976; terjemahan)
- "Lirik Klasik Parsi" (1977; terjemahan)
- "Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak" (1982, Pustaka Jaya)
- "Perahu Kertas" (1983)
- "Sihir Hujan" (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
- "Water Color Poems" (1986; translated by J.H. McGlynn)
- "Suddenly the night: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (1988; translated by J.H. McGlynn)
- "Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
- "Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia" (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
- "Hujan Bulan Juni" (1994)
- "Black Magic Rain" (translated by Harry G Aveling)
- "Arloji" (1998)
- "Ayat-ayat Api" (2000)
- "Pengarang Telah Mati" (2001; kumpulan cerpen)
- "Mata Jendela" (2002)
- "Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro?" (2002)
- "Membunuh Orang Gila" (2003; kumpulan cerpen)
- "Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia periode awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
- "Mantra Orang Jawa" (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
- "Before Dawn: the poetry of Sapardi Djoko Damono" (2005; translated by J.H. McGlynn)
- "Kolam" (2009; kumpulan puisi)
- "Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita" (2012)
- "Namaku Sita" (2012; kumpulan puisi)
- "The Birth of I Lagaligo" (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
- "Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak" (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
- "Trilogi Soekram" (2015; novel)
- "Hujan Bulan Juni" (2015; novel)
Selain
menerjemahkan beberapa karya Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi ke dalam bahasa Indonesia,
Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawa dan
manuskrip I La Galigo. kobe
Musikalisasi Puisi
Musikalisasi
puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu
program Pusat Bahasa, membuat
musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia, dalam upaya
mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.
Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags. Arya Dipayana dan Hujan
Bulan Juni oleh H. Umar Muslim. Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang
oleh Dwiki Dharmawan dan
menjadi bagian dari "Soundtrack Cinta dalam Sepotong
Roti" (1991), dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Beberapa
tahun kemudian lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang
seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet
Reda Gaudiamo dan Ari Malibu merupakan salah satu dari sejumlah penyanyi lain,
yang adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Album "Hujan
Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang
sama.
Sebagai
tindak lanjut atas banyaknya permintaan, album "Gadis Kecil" (2006)
diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri dari Reda Gaudiamo dan Tatyana
dirilis, dilanjutkan oleh album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda
dan Ari Malibu. Ananda Sukarlan
pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria"
yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair
lain.
Nonfiksi
- "Sastra Lisan Indonesia" (1983), ditulis bersama Subagio Sastrowardoyo dan A. Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
- "Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan"
- "Dimensi Mistik dalam Islam" (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel "Mystical Dimension of Islam", salah seorang penulis.
- "Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia" (2004), salah seorang penulis.
- "Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas" (1978).
- "Politik ideologi dan sastra hibrida" (1999).
- "Pegangan Penelitian Sastra Bandingan" (2005).
- "Babad Tanah Jawi" (2005; penyunting bersama Sonya Sondakh, terjemahan bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
- "Bilang Begini, Maksudnya Begitu" (2014), buku apresiasi puisi.
Berikut adalah puisi-puisi terkenal milik Sapardi Djoko Damono
ANGIN, 1
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
angin yang diciptakan untuk senantiasa
bergerak dari sudut ke
sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar
suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, “hei
siapa ini yang mendadak di depanku?”
sudut dunia ini pernah pada suatu hari berhenti ketika mendengar
suara nabi kita Adam menyapa istrinya untuk pertama kali, “hei
siapa ini yang mendadak di depanku?”
angin itu tersentak kembali ketika
kemudian terdengar jerit wanita
untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh
lagi
untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh
lagi
— sampai pagi tadi:
ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di
tengah bising-bising ini tanpa Hawa
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak, 1982.
ketika kau bagai terpesona sebab tiba-tiba merasa scorang diri di
tengah bising-bising ini tanpa Hawa
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak, 1982.
ANGIN, 2
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Angin pagi menerbangkan sisa-sisa
unggun api yang terbakar
semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,1982.
semalaman.
Seekor ular lewat, menghindar.
Lelaki itu masih tidur.
Ia bermimpi bahwa perigi tua yang tertutup ilalang panjang
di pekarangan belakang rumah itu tiba-tiba berair kembali.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,1982.
ANGIN, 3
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
“Seandainya aku bukan ……
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut
kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
“Seandainya aku . . . ., .”
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang
perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
“Seandainya ……
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Tapi kau angin!
Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut
kamar,
menyusup celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu.
“Seandainya aku . . . ., .”
Tapi kau angin!
Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang
perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga.
“Seandainya ……
Tapi kau angin!
Jangan menjerit:
semerbakmu memekakkanku.Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
AKU INGIN
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
AKULAH SI TELAGA
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
akulah si telaga: berlayarlah di
atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak, 1982.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 1
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.
Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik
kalian saja, para manusia. Aku
ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
ini si bunga rumput, pilihan dewata!”
(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia kembang di sela-sela geraham
batu-batu gua pada suatu pagi,
dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua
itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm
dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan
hutan terbakar dan setelah api ….
dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua
itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm
dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan
hutan terbakar dan setelah api ….
Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi
kalian saja, para
manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.
manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!”
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,
1982.
BUNGA, 2
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
mawar itu tersirap dan hampir berkata
jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya — tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,1982.
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya — tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,1982.
BUNGA, 3
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
seuntai kuntum melati yang di ranjang
itu sudah berwarna coklat
ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di
empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika
terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema “hai, siapa gerangan yang telah
membawa pergi jasadku?”
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,1982.
ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di
empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika
terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema “hai, siapa gerangan yang telah
membawa pergi jasadku?”
Perahu Kertas,Kumpulan Sajak,1982.
BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Oleh : Sapardi Djoko Damono
waktu berjalan ke barat di waktu pagi
hari matahari mengikutiku di
belakang
belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku
sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar
tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa di antara
kami yang harus berjalan di depan
kami yang harus berjalan di depan
HUJAN BULAN JUNI
oleh : Sapardi Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Di Atas Batu
oleh : Sapardi Djoko Damono
ia duduk di atas batu
dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali…
ia gerak-gerakkan kaki-kakinya di air
sehingga memercik ke sana ke mari…
ia pandang sekeliling :
matahari yang hilang – timbul di sela
goyang daun-daunan,
jalan setapak yang mendaki tebing kali,
beberapa ekor capung
— ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
beberapa ekor capung
— ia ingin yakin bahwa benar-benar berada di sini
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,1982.
Kumpulan Sajak,1982.
No comments:
Post a Comment