CERPEN

Tuesday, May 24, 2016

CERPEN ANAK_Hijrah BillaLogica_ Little Grasshopper ( Belalang Kecil )



Little Grasshopper ( Belalang Kecil )
         
          Pada suatu pagi di hari Minggu yang cerah. Matahari bersinar hangat, meski semalam hujan turun deras. Kami keluarga jangkrik bersiap-siap hendak mencari makanan. Aku, Ibu, dan kakak laki-lakiku. Kami tinggal di pohon nangka di sebelah rumah yang cukup besar. Sedang asyik menikmati daun nangka yang empuk, aku mendengar seorang gadis cilik bernyanyi dengan suara yang merdu.

“Bu, aku ingin punya suara yang merdu seperti manusia itu,” kataku sembari melompat ke ranting yang lebih tinggi agar semakin dekat dengan jendela. Meninggalkan Ibu di bawah, demi menyaksikan gadis kecil yang tengah lincah menari dan menyanyi ke sana kemari di dalam kamarnya yang berwarna merah jambu.

            “Kita bukan manusia. Sadari itu. Tuhan menciptakan keindahan setiap makhluk berbeda-beda. Jika kau ingin bermusik, belajar saja pada keluarga jangkrik. Manusia sulit ditebak. Ia bisa jahat dalam kebaikannya,” jawab Ibu datar. Membuatku sedikit kesal. Ia samasekali tidak mendukung bakat dan keinginanku. Ia malah menyuruhku belajar pada jangkrik.

            Aku melompat ke daun yang menjuntai paling dekat dengan jendela ketika Kakakku meneriakiku dari pucuk paling atas. “Jangan dekati jendela! Gadis kecil itu berbahaya!”

            Aku mendesah kesal. Membosankan. Ada apa sih? Apa kehidupan belalang yang singkat ini harus dilalui dengan cara yang membosankan juga? Aku pura-pura tidak mendengar ketika Ibu mengajakku ke dahan yang lain untuk menjauhi jendela. Memilih bersenandung mengikuti irama merdu yang dilantunkan gadis kecil yang tengah memeluk piala atas kemenangannya di kompetisi bernyanyi dan mulai berjalan pelan mendekati jendela, mendekatiku.

            Suaranya yang indah semakin terdengar jelas. Senyumnya semakin manis ketika ia memainkan rambutnya dan menurunkan pandangannnya. Ia tampak ramah dan penuh kasih. Aku tertarik pada jemarinya yang mendarat tepat di hadapanku. Kudekati, dan ia mengusap-usap sayapku sambil terus bernyanyi.

            Kemudian Kakakku kembali meneriakiku lalu disusul ibuku, “Kau seharusnya tidak di sana! Melompatlah selagi kau bisa!”

            “Ibu tidak mau kau dalam bahaya. Cepatlah, Nak.”    
 
          Mereka menyebalkan. Ayolah, ini menyenangankan! gumamku sembari melompat ke telapak tangan gadis kecil itu. Gadis kecil itu terus bernyanyi. Namun mendadak ia membuatku gugup ketika telapak tangannya yang lain dikatupkan di atas telapak tangan tempatku berada. Menyisakan kegelapan bias merah dengan celah sempit cahaya.

            Kemudian gadis kecil itu berhenti bernyanyi. Dan tiba-tiba tubuhku terguncang terlempar dan berputar dalam tangkupan tangannya. Aku benar-benar merasa sangat pusing dan ketakutan. Seharusnya aku mendengar kata Ibu dan Kakakku tadi. Aku menyesal. Ketika ia membuka tangannya, aku melihat wajahnya sangat dekat. Ia tidak bernyanyi lagi dengan wajahnya yang manis. Melainkan geraman dan seringai mengerikan sambil berkata, “ Hama bodoh sepertimu lebih baik jadi sarapan pagi Lady, ikanku yang cantik.”

            Tangannya sudah berada di atas akurium berisi seekor ikan cantik berwarna biru berkilau yang mulutnya sudah menganga-nganga menantikanku jatuh ke dalamnya. Aku sangat gugup dan takut. Namun, ketika gadis kecil itu membalikkan tangannnya aku segera melompat dan mendarat tepat di hidungnya. Rasa marah menyulut ketakutanku dalam bara emosi. Kugigit sekeras yang aku bisa, membuat ia memekik dan memukul wajahnya sendiri. Aku berhasil selamat. Melompat secepat mungkin menuju jendela dan keluar dengan bebas ketika detik berikutnya ia memukul dengan sapu dan memaki keras, “Kau hama sialan! Lihat saja, kau masuk lagi akan hancur!” Kemudian ia bernyanyi lagi dengan emosi dan meninggalkan jendela.

            Ibu benar, bahwa Tuhan menciptakan keindahan makhluk berbeda-beda, dan manusia adalah makhluk yang sulit ditebak. Mereka bisa jahat dalam kebaikannya. Aku jadi menangis dan ingin segera memeluk Ibu.

***

“Hidup yang diberikan Tuhan untukmu adalah yang terbaik untuk kamu jalani.”
_Billal HB_

Lirik, 23 Juli 2015   12.12 wib

CERPEN Hijrah BillaLogica_Bangunlah dan Katakan Sesuatu

Bangunlah, dan Katakan Sesuatu

          Ia merasa tak seperti biasanya. Kini hangat, nyaman, dan sangat ringan. Seperti mengambang di antara jaring-jaring lentur yang berdenyut. Ia tak bisa melihat apapun karena matanya tak dapat dibuka. Tapi ia tahu, ia telanjang. Ia juga merasakan denyut dan degup cepat yang lain di sekitarnya
.
Dan beberapa waktu berikutnya terjadi pergerakan yang terus berlanjut. Bunyi-bunyi retak semakin terdengar jelas. Ia berguling ke sisi yang lain ketika ia merasa sesuatu yang basah dan lengket menekannya ke luar jaring-jaring. Suasana tak senyaman tadi meski masih terasa hangat. Bergegas merangkak cepat di antara timbunan bulir-bulir kasar yang menggores kulitnya yang masih baru. Ada rasa kesal tapi juga riang ketika tahu bahwa tak hanya dirinya yang bergerak dalam kegelapan ini. Namun hal inilah yang membuat tanya besar dalam hatinya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia dan yang lain harus bergerak dalam kegelepan ini?

          Mereka terus begerak naik. Perlahan, ia mulai merasakan udara sejuk masuk melalui hidungnya  dan titik-titik cahaya yang bertambah terang menembus rongga matanya yang terkatup. Dan betapa terkejutnya dia ketika sampai di atas permukaan dan membuka mata untuk pertama kalinya, melihat dirinya sendiri. Ia adalah seekor bayi penyu rapuh di antara ratusan yang menetas.

          Dia terdiam selagi saudara-saudaranya terus merangkak menuju laut yang berombak. Cahaya matahari yang bersinar terang dan angin pantai yang berhembus deras membuatnya semakin tak mengerti. Ia bukan tidak bersyukur, tapi ini adalah kenyataan yang jauh berbeda, yang justru membuatnya sangat takut. Memandang kawanan elang mulai berkulik tepat di bawah matahari dengan cakar tajamnya dan segera menukik lalu mulai menerkam bayi-bayi penyu malang yang belum sampai ke laut. Ini lanskap yang mengerikan. Ia tidak tahan dan mulai menangis keras meski tak ada suara yang keluar ketika sepasang kaki kokoh dengan kuku-kuku yang mengkilat berdiri di hadapan tubuhnya yang mungil. Paruh elang itu nyaris menembus cangkangnya yang masih lunak, namun ia berhasil selamat ketika sepasang kaki tajam yang lain mencengkeram erat badannya dan membawanya terbang tinggi dan semakin tinggi.

          Sekarang ia benar-benar takut. Pantai telah tertinggal di bawahnya bersama saudara-saudaranya berjuang untuk hidup.  Mungkinkah ini ajal baginya? Kelangsungan hidup memang sangat berharga meski rantai makanan adalah takdir yang tak bisa dipungkiri. Dalam takut dan air mata yang terus berlinang, ia menutup mata dan mengatakan sesuatu dengan lirih.

          “Ya Tuhan, aku sangat menyesal. Berilah aku satu kesempatan hidup untuk memperbaikinya. Bukan sebagai pencuri telur-telur penyu, melainkan membantu mereka menuju laut dan memberi tempat yang nyaman ketika mereka kembali. Dan aku bersyukur untuk hidup yang indah”

          Tiba-tiba saja elang itu melepaskan cengkeramannya dan membiarkannya terjun bebas, terhempas ke dalam laut yang dalam. Ia berenang cepat dengan empat kaki kecilnya dan mulai merasakan perubahan. Semakin cepat dan semangat ia ingin meraih permukaan laut. Kesempatan sangat baik tak datang tiap kali kesalahan dan kegagalan terjadi. Tuhan memercayai ucapannya.

          Dia berteriak lantang ketika udara kebebasan memenuhi paru-parunya. Membiarkan tubuh manusianya tetap terapung sembari memandangi langit biru yang luas. Dan membiarkan tiap penyesalan membuatnya menangis.

***

“Induk penyu selalu ingin bertemu anak-anaknya meski tak mungkin terjadi dalam hidupnya.”

_Hijrah BillaLogica_


Lirik, 16 Juli 2015    15:27 wib

CERPEN Hijrah BillaLogica_Tentang Sahabat


Tentang Sahabat
:untuk seorang teman

Pelajaran sangat berharga hari ini:
“Jangan pernah katakan ‘terserah’ pada harapan sahabatmu sementara ia baru saja mengaminkan dan antusias pada harapanmu. Meski dalam gurauan terkadang itu cukup menyakitkan. Ia sadar dan tahu kamu memiliki banyak teman terbaik, tapi ia tak pernah salah memilihmu sebagai sahabat. Meski berdasarkan urutan ia berada di urutan terbawah pada harapanmu, tapi ia meletakkanmu di urutan teratas pada harapannya. Sayang sekali tak sempat terucap karena kata-katanya terpenggal oleh ‘terserah’mu. Mungkin nanti ia tak bisa sesukses dirimu, tapi ia akan selalu menghargai dan percaya padamu. Lebih dewasa agar kelak ketika kamu terjatuh dari harapan yang tinggi ia bisa menjadi tempat yang nyaman, terlebih ketika dunia sedang tak berpihak kepadamu.”

Untuk seorang teman.
          “Aku pun begitu, kalau nanti aku sukses, aku juga………………”
          “Kalau kesuksesan dan harapan orang lain sih terserah! Tidak peduli. Yang penting aku saja. Kalau mereka berhasil ya syukurlah, kalau tidak ya terserah tidak ada pengaruh buatku!” Kau memotong cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
          Aku tercekat. Jantungku tersentak. Tanganku langsung dingin. Mendengar kata-katamu aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku. Padahal kupikir awalnya kau akan sama antusiasnya seperti aku ketika kita membicarakan tentang banyak harapan. Cuaca hari ini panas, tapi kalimatmu mendatangkan musim dingin yang beku buatku. Aku tidak menyangka bahwa kau mengabaikan harapanku. Bukankah kita teman yang pernah berjanji saling berbagi?
          Dulu, pertama kali kita saling mengenal, kau datang kepadaku. Bercerita tentang rumitnya hidupmu dan menumpahkan segenap air mata yang membuatku juga tak mampu menahannya. Kau bilang begini, “Aku menyimpang, dan aku butuh teman untuk berbagi, terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik dan memberiku nasehat yang membuatku merasa lebih nyaman.”
          Aku selalu mendengarmu. Telingaku tak pernah bosan mendengar segala yang keluar dari bibirmu. Ketika kau sedih, aku pun merasakan kesedihan itu. Ketika kau sakit, tubuhku pun seperti meradang juga. Ketika kau bahagia, aku tertawa gembira. Ketika kau terjebak hal rumit, aku berusaha mendampingimu. Karena aku ingin selalu ada buatmu. Dan persahabatan kita mulai bertunas. Berharap kelak tumbuh menjadi seteduh pohon kenangan.
          Dan waktu pun bergulir. Semua perangkap mulai sigap kau hancurkan dengan keberanianmu. Kau beraksi lebih percaya diri. Kau mampu menggambarkan ketenangan lewat metafora yang kreatif. Kau cerdas sekarang. Namun, aku tak menyangka bahwa itulah awal dimana kau perlahan menarik diri dariku. Percakapan kita berkurang, hanya sekejap dan hilang dalam tiupan angin. Dan saat musibah datang menderaku, kau tak pernah tampak padahal saat itu aku membutuhkanmu. Mungkin kau bersama teman yang lain, pikirku.
          Kusenandungkan sebuah lagu berbahasa inggris tentang sahabat sebagai pelipur lara saat jingga sore memasuki jendela kamarku yang menghadap ke Barat.
          “The world come to life, and everythings is bright
            From beginning to end, when you have a friend by your side
            To help you to find, the beauty you are
            When you open your heart and believing
            A gift of a friend…………..”

Teman, dimanakah keberadaanmu?
***

          Dan lagi, pada suatu ketika kau datang kepadaku. Dan aku menerimamu. Meski seperti dicampakkan aku tak perlu marah. Karena aku berpendapat, tiap orang berhak pergi dan kembali. Kali ini kau meneleponku. Suaramu mengalun dari seberang.
          Saat itu kau sedang sakit. Suaramu parau dan sesekali kau seperti ingin muntah. Aku agak cemas tapi tak terlalu kutampakkan. Karena aku tak mau dianggap berlebihan. Bicaramu agak meracau dan terdengar sedih.
          “Kenapa sekarang aku ingin mati. Hidup tak baik. Aku selalu mendapat masalah buruk. Tapi aku terus berusaha ikhlas. Aku sekarang terbayang orang-orang baik yang kukenal.”
          “Jangan bilang begitu,” jawabku. “ Apa mati membuatmu merasa tenang?”
          “Daripada aku harus begini terus.”
          “Kalau mati itu pilihanmu, lakukanlah. Tapi aku percaya kau tahu mana yang terbaik.”
          Dia diam. Tapi aku bisa mendengar dia sedih. Napasnya tertarik perlahan lalu dilepaskan dengan berat.
          “Kalau aku mati, apa kau sedih?” tiba-tiba ia bertanya begitu kepadaku.
          Aku diam sejenak dan kujawab, “Tentu saja jika memang telah ditakdirkan. Tapi jika kau mati dengan menjadi orang lain aku hanya bisa berdoa kau ditempatkan bersama orang-orang yang baik pula. Hmmm… Sudahlah, kenapa kita berbicara tentang mati?” Aku tak mau membalikkan pertanyaan yang sama padanya. Karena itu akan memperpanjang pembicaraan tentang mati. “Kau akan baik-baik saja.”
          “Terima kasih ya, maaf kalau aku sudah berbuat salah padamu.”
          “Semua orang berhak melakukan sesuatu. Aku akan selalu percaya. Dan tak ada yang perlu dimaafkan. Karena tak ada yang salah.”
          Aku senang ia kembali menjadi dirinya sendiri. Tapi aku masih tak mengerti, ia kerap kembali padaku hanya ketika ia sakit. Walau aku bahagia, aku tak mau keadaan seperti yang dahulu pernah terjadi beberapa kali. Aku meyakinkan diri saja.
          Sekarang kudengar ia sudah sembuh. Dari temannya yang lain yang kebetulan juga kenal denganku. Tapi lagi-lagi ia tak memberi kabar padaku. Tidak masalah sebenarnya, tapi aku hanya ingin tahu kebenarannya. Maka kusapa ia melalui pesan singkat. Beberapa jam kemudian, saat itu siang hari, ia menelponku. Bicaranya sangat semangat. Tawa dan candanya renyah. Aku agak kelimpungan dengannya. Tapi karena sejak awal kami memang sahabat yang gila, maka semua kepahitan dan kesedihan itu seperti sirna. Dunia seperti penuh lengkungan pelangi. Dan aku sangat merindukan momen seperti ini.
          Namun, tak pernah kusangka kebahagiaan itu hanya selintas dari apa yang kuharapakan. Itulah saat dimana ia mengatakan ‘terserah’nya padaku. Padahal dengan penuh perhatian kudengar semua harapannya di masa yang akan datang. Ia masih bicara dengan lantang. Tapi aku membeku dengan tidak percaya. Sampai ia memanggilku beberapa kali, lalu kami mengakhiri percakapan.
          Kukirim sebuah pesan padanya lewat telepon seluler,
          “Teman, seharusnya kau tidak katakan ‘terserah’ pada harapan yang belum kujabarkan. Kenapa itu terdengar menyakitkan ya, padahal aku baru saja bahagia saat apa yang kurindukan kembali pada satu waktu yang hebat? Kupikir kau akan sama antusiasnya denganku. Seorang ibu bijak yang dulu pernah kita kenal dengan akrab sebagai tempat berbagi suka dan duka kita bilang padaku begini, “biarkan saja, kehidupan tiap orang berbeda. Kesuksesan yang didengar oleh diri sendiri akan membawa kita kepada kesuksesan yang lebih tinggi.”

          Setelah kukirim pesan itu, ia tak pernah lagi membalasnya ataupun menghubungiku. Sekali sebelum aku akhirnya memilih untuk menarik diri dan menjalani hidup seperti dulu aku tidak pernah mengenalnya, aku melihatnya di media sosial facebook. Dan semuanya usai. Apakah ia akan kembali? Aku tak pernah tahu, dan aku tak lagi berharap.
          Tentang Sahabat. Tidak ada yang salah pada pilihan, mungkin hanya keliru. Kurasa kau akan baik-baik saja. Aku mendoakan kau mendapat lebih banyak lagi kebaikan.
***

Lirik, 13 April 2016

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate