Tentang
Sahabat
:untuk seorang teman
Pelajaran sangat berharga hari ini:
“Jangan pernah katakan ‘terserah’ pada
harapan sahabatmu sementara ia baru saja mengaminkan dan antusias pada
harapanmu. Meski dalam gurauan terkadang itu cukup menyakitkan. Ia sadar dan
tahu kamu memiliki banyak teman terbaik, tapi ia tak pernah salah memilihmu
sebagai sahabat. Meski berdasarkan urutan ia berada di urutan terbawah pada
harapanmu, tapi ia meletakkanmu di urutan teratas pada harapannya. Sayang
sekali tak sempat terucap karena kata-katanya terpenggal oleh ‘terserah’mu.
Mungkin nanti ia tak bisa sesukses dirimu, tapi ia akan selalu menghargai dan
percaya padamu. Lebih dewasa agar kelak ketika kamu terjatuh dari harapan yang
tinggi ia bisa menjadi tempat yang nyaman, terlebih ketika dunia sedang tak
berpihak kepadamu.”
Untuk seorang teman.
“Aku
pun begitu, kalau nanti aku sukses, aku juga………………”
“Kalau
kesuksesan dan harapan orang lain sih terserah! Tidak peduli. Yang penting aku
saja. Kalau mereka berhasil ya syukurlah, kalau tidak ya terserah tidak ada
pengaruh buatku!” Kau memotong cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku
tercekat. Jantungku tersentak. Tanganku langsung dingin. Mendengar kata-katamu
aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku. Padahal kupikir awalnya kau akan sama
antusiasnya seperti aku ketika kita membicarakan tentang banyak harapan. Cuaca
hari ini panas, tapi kalimatmu mendatangkan musim dingin yang beku buatku. Aku
tidak menyangka bahwa kau mengabaikan harapanku. Bukankah kita teman yang
pernah berjanji saling berbagi?
Dulu,
pertama kali kita saling mengenal, kau datang kepadaku. Bercerita tentang
rumitnya hidupmu dan menumpahkan segenap air mata yang membuatku juga tak mampu
menahannya. Kau bilang begini, “Aku menyimpang, dan aku butuh teman untuk
berbagi, terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik dan memberiku nasehat
yang membuatku merasa lebih nyaman.”
Aku
selalu mendengarmu. Telingaku tak pernah bosan mendengar segala yang keluar
dari bibirmu. Ketika kau sedih, aku pun merasakan kesedihan itu. Ketika kau
sakit, tubuhku pun seperti meradang juga. Ketika kau bahagia, aku tertawa
gembira. Ketika kau terjebak hal rumit, aku berusaha mendampingimu. Karena aku
ingin selalu ada buatmu. Dan persahabatan kita mulai bertunas. Berharap kelak
tumbuh menjadi seteduh pohon kenangan.
Dan
waktu pun bergulir. Semua perangkap mulai sigap kau hancurkan dengan
keberanianmu. Kau beraksi lebih percaya diri. Kau mampu menggambarkan
ketenangan lewat metafora yang kreatif. Kau cerdas sekarang. Namun, aku tak
menyangka bahwa itulah awal dimana kau perlahan menarik diri dariku. Percakapan
kita berkurang, hanya sekejap dan hilang dalam tiupan angin. Dan saat musibah
datang menderaku, kau tak pernah tampak padahal saat itu aku membutuhkanmu.
Mungkin kau bersama teman yang lain, pikirku.
Kusenandungkan
sebuah lagu berbahasa inggris tentang sahabat sebagai pelipur lara saat jingga
sore memasuki jendela kamarku yang menghadap ke Barat.
“The
world come to life, and everythings is bright
From beginning to end, when you have a friend
by your side
To help you to find, the beauty you are
When you open your heart and believing
A gift of a friend…………..”
Teman, dimanakah keberadaanmu?
***
Dan
lagi, pada suatu ketika kau datang kepadaku. Dan aku menerimamu. Meski seperti
dicampakkan aku tak perlu marah. Karena aku berpendapat, tiap orang berhak
pergi dan kembali. Kali ini kau meneleponku. Suaramu mengalun dari seberang.
Saat
itu kau sedang sakit. Suaramu parau dan sesekali kau seperti ingin muntah. Aku
agak cemas tapi tak terlalu kutampakkan. Karena aku tak mau dianggap
berlebihan. Bicaramu agak meracau dan terdengar sedih.
“Kenapa
sekarang aku ingin mati. Hidup tak baik. Aku selalu mendapat masalah buruk.
Tapi aku terus berusaha ikhlas. Aku sekarang terbayang orang-orang baik yang
kukenal.”
“Jangan
bilang begitu,” jawabku. “ Apa mati membuatmu merasa tenang?”
“Daripada
aku harus begini terus.”
“Kalau
mati itu pilihanmu, lakukanlah. Tapi aku percaya kau tahu mana yang terbaik.”
Dia
diam. Tapi aku bisa mendengar dia sedih. Napasnya tertarik perlahan lalu
dilepaskan dengan berat.
“Kalau
aku mati, apa kau sedih?” tiba-tiba ia bertanya begitu kepadaku.
Aku
diam sejenak dan kujawab, “Tentu saja jika memang telah ditakdirkan. Tapi jika
kau mati dengan menjadi orang lain aku hanya bisa berdoa kau ditempatkan
bersama orang-orang yang baik pula. Hmmm… Sudahlah, kenapa kita berbicara
tentang mati?” Aku tak mau membalikkan pertanyaan yang sama padanya. Karena itu
akan memperpanjang pembicaraan tentang mati. “Kau akan baik-baik saja.”
“Terima
kasih ya, maaf kalau aku sudah berbuat salah padamu.”
“Semua
orang berhak melakukan sesuatu. Aku akan selalu percaya. Dan tak ada yang perlu
dimaafkan. Karena tak ada yang salah.”
Aku
senang ia kembali menjadi dirinya sendiri. Tapi aku masih tak mengerti, ia
kerap kembali padaku hanya ketika ia sakit. Walau aku bahagia, aku tak mau
keadaan seperti yang dahulu pernah terjadi beberapa kali. Aku meyakinkan diri
saja.
Sekarang
kudengar ia sudah sembuh. Dari temannya yang lain yang kebetulan juga kenal
denganku. Tapi lagi-lagi ia tak memberi kabar padaku. Tidak masalah sebenarnya,
tapi aku hanya ingin tahu kebenarannya. Maka kusapa ia melalui pesan singkat.
Beberapa jam kemudian, saat itu siang hari, ia menelponku. Bicaranya sangat
semangat. Tawa dan candanya renyah. Aku agak kelimpungan dengannya. Tapi karena
sejak awal kami memang sahabat yang gila, maka semua kepahitan dan kesedihan
itu seperti sirna. Dunia seperti penuh lengkungan pelangi. Dan aku sangat
merindukan momen seperti ini.
Namun,
tak pernah kusangka kebahagiaan itu hanya selintas dari apa yang kuharapakan.
Itulah saat dimana ia mengatakan ‘terserah’nya padaku. Padahal dengan penuh
perhatian kudengar semua harapannya di masa yang akan datang. Ia masih bicara
dengan lantang. Tapi aku membeku dengan tidak percaya. Sampai ia memanggilku
beberapa kali, lalu kami mengakhiri percakapan.
Kukirim
sebuah pesan padanya lewat telepon seluler,
“Teman, seharusnya kau tidak katakan
‘terserah’ pada harapan yang belum kujabarkan. Kenapa itu terdengar menyakitkan
ya, padahal aku baru saja bahagia saat apa yang kurindukan kembali pada satu
waktu yang hebat? Kupikir kau akan sama antusiasnya denganku. Seorang ibu bijak
yang dulu pernah kita kenal dengan akrab sebagai tempat berbagi suka dan duka kita
bilang padaku begini, “biarkan saja, kehidupan tiap orang berbeda. Kesuksesan
yang didengar oleh diri sendiri akan membawa kita kepada kesuksesan yang lebih
tinggi.”
Setelah
kukirim pesan itu, ia tak pernah lagi membalasnya ataupun menghubungiku. Sekali
sebelum aku akhirnya memilih untuk menarik diri dan menjalani hidup seperti
dulu aku tidak pernah mengenalnya, aku melihatnya di media sosial facebook. Dan
semuanya usai. Apakah ia akan kembali? Aku tak pernah tahu, dan aku tak lagi
berharap.
Tentang
Sahabat. Tidak ada yang salah pada pilihan, mungkin hanya keliru. Kurasa kau
akan baik-baik saja. Aku mendoakan kau mendapat lebih banyak lagi kebaikan.
***
Lirik, 13 April 2016
No comments:
Post a Comment