CERPEN

Tuesday, May 24, 2016

CERPEN Hijrah BillaLogica_Tentang Sahabat


Tentang Sahabat
:untuk seorang teman

Pelajaran sangat berharga hari ini:
“Jangan pernah katakan ‘terserah’ pada harapan sahabatmu sementara ia baru saja mengaminkan dan antusias pada harapanmu. Meski dalam gurauan terkadang itu cukup menyakitkan. Ia sadar dan tahu kamu memiliki banyak teman terbaik, tapi ia tak pernah salah memilihmu sebagai sahabat. Meski berdasarkan urutan ia berada di urutan terbawah pada harapanmu, tapi ia meletakkanmu di urutan teratas pada harapannya. Sayang sekali tak sempat terucap karena kata-katanya terpenggal oleh ‘terserah’mu. Mungkin nanti ia tak bisa sesukses dirimu, tapi ia akan selalu menghargai dan percaya padamu. Lebih dewasa agar kelak ketika kamu terjatuh dari harapan yang tinggi ia bisa menjadi tempat yang nyaman, terlebih ketika dunia sedang tak berpihak kepadamu.”

Untuk seorang teman.
          “Aku pun begitu, kalau nanti aku sukses, aku juga………………”
          “Kalau kesuksesan dan harapan orang lain sih terserah! Tidak peduli. Yang penting aku saja. Kalau mereka berhasil ya syukurlah, kalau tidak ya terserah tidak ada pengaruh buatku!” Kau memotong cepat sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
          Aku tercekat. Jantungku tersentak. Tanganku langsung dingin. Mendengar kata-katamu aku tak sanggup menyelesaikan kalimatku. Padahal kupikir awalnya kau akan sama antusiasnya seperti aku ketika kita membicarakan tentang banyak harapan. Cuaca hari ini panas, tapi kalimatmu mendatangkan musim dingin yang beku buatku. Aku tidak menyangka bahwa kau mengabaikan harapanku. Bukankah kita teman yang pernah berjanji saling berbagi?
          Dulu, pertama kali kita saling mengenal, kau datang kepadaku. Bercerita tentang rumitnya hidupmu dan menumpahkan segenap air mata yang membuatku juga tak mampu menahannya. Kau bilang begini, “Aku menyimpang, dan aku butuh teman untuk berbagi, terima kasih sudah menjadi pendengar yang baik dan memberiku nasehat yang membuatku merasa lebih nyaman.”
          Aku selalu mendengarmu. Telingaku tak pernah bosan mendengar segala yang keluar dari bibirmu. Ketika kau sedih, aku pun merasakan kesedihan itu. Ketika kau sakit, tubuhku pun seperti meradang juga. Ketika kau bahagia, aku tertawa gembira. Ketika kau terjebak hal rumit, aku berusaha mendampingimu. Karena aku ingin selalu ada buatmu. Dan persahabatan kita mulai bertunas. Berharap kelak tumbuh menjadi seteduh pohon kenangan.
          Dan waktu pun bergulir. Semua perangkap mulai sigap kau hancurkan dengan keberanianmu. Kau beraksi lebih percaya diri. Kau mampu menggambarkan ketenangan lewat metafora yang kreatif. Kau cerdas sekarang. Namun, aku tak menyangka bahwa itulah awal dimana kau perlahan menarik diri dariku. Percakapan kita berkurang, hanya sekejap dan hilang dalam tiupan angin. Dan saat musibah datang menderaku, kau tak pernah tampak padahal saat itu aku membutuhkanmu. Mungkin kau bersama teman yang lain, pikirku.
          Kusenandungkan sebuah lagu berbahasa inggris tentang sahabat sebagai pelipur lara saat jingga sore memasuki jendela kamarku yang menghadap ke Barat.
          “The world come to life, and everythings is bright
            From beginning to end, when you have a friend by your side
            To help you to find, the beauty you are
            When you open your heart and believing
            A gift of a friend…………..”

Teman, dimanakah keberadaanmu?
***

          Dan lagi, pada suatu ketika kau datang kepadaku. Dan aku menerimamu. Meski seperti dicampakkan aku tak perlu marah. Karena aku berpendapat, tiap orang berhak pergi dan kembali. Kali ini kau meneleponku. Suaramu mengalun dari seberang.
          Saat itu kau sedang sakit. Suaramu parau dan sesekali kau seperti ingin muntah. Aku agak cemas tapi tak terlalu kutampakkan. Karena aku tak mau dianggap berlebihan. Bicaramu agak meracau dan terdengar sedih.
          “Kenapa sekarang aku ingin mati. Hidup tak baik. Aku selalu mendapat masalah buruk. Tapi aku terus berusaha ikhlas. Aku sekarang terbayang orang-orang baik yang kukenal.”
          “Jangan bilang begitu,” jawabku. “ Apa mati membuatmu merasa tenang?”
          “Daripada aku harus begini terus.”
          “Kalau mati itu pilihanmu, lakukanlah. Tapi aku percaya kau tahu mana yang terbaik.”
          Dia diam. Tapi aku bisa mendengar dia sedih. Napasnya tertarik perlahan lalu dilepaskan dengan berat.
          “Kalau aku mati, apa kau sedih?” tiba-tiba ia bertanya begitu kepadaku.
          Aku diam sejenak dan kujawab, “Tentu saja jika memang telah ditakdirkan. Tapi jika kau mati dengan menjadi orang lain aku hanya bisa berdoa kau ditempatkan bersama orang-orang yang baik pula. Hmmm… Sudahlah, kenapa kita berbicara tentang mati?” Aku tak mau membalikkan pertanyaan yang sama padanya. Karena itu akan memperpanjang pembicaraan tentang mati. “Kau akan baik-baik saja.”
          “Terima kasih ya, maaf kalau aku sudah berbuat salah padamu.”
          “Semua orang berhak melakukan sesuatu. Aku akan selalu percaya. Dan tak ada yang perlu dimaafkan. Karena tak ada yang salah.”
          Aku senang ia kembali menjadi dirinya sendiri. Tapi aku masih tak mengerti, ia kerap kembali padaku hanya ketika ia sakit. Walau aku bahagia, aku tak mau keadaan seperti yang dahulu pernah terjadi beberapa kali. Aku meyakinkan diri saja.
          Sekarang kudengar ia sudah sembuh. Dari temannya yang lain yang kebetulan juga kenal denganku. Tapi lagi-lagi ia tak memberi kabar padaku. Tidak masalah sebenarnya, tapi aku hanya ingin tahu kebenarannya. Maka kusapa ia melalui pesan singkat. Beberapa jam kemudian, saat itu siang hari, ia menelponku. Bicaranya sangat semangat. Tawa dan candanya renyah. Aku agak kelimpungan dengannya. Tapi karena sejak awal kami memang sahabat yang gila, maka semua kepahitan dan kesedihan itu seperti sirna. Dunia seperti penuh lengkungan pelangi. Dan aku sangat merindukan momen seperti ini.
          Namun, tak pernah kusangka kebahagiaan itu hanya selintas dari apa yang kuharapakan. Itulah saat dimana ia mengatakan ‘terserah’nya padaku. Padahal dengan penuh perhatian kudengar semua harapannya di masa yang akan datang. Ia masih bicara dengan lantang. Tapi aku membeku dengan tidak percaya. Sampai ia memanggilku beberapa kali, lalu kami mengakhiri percakapan.
          Kukirim sebuah pesan padanya lewat telepon seluler,
          “Teman, seharusnya kau tidak katakan ‘terserah’ pada harapan yang belum kujabarkan. Kenapa itu terdengar menyakitkan ya, padahal aku baru saja bahagia saat apa yang kurindukan kembali pada satu waktu yang hebat? Kupikir kau akan sama antusiasnya denganku. Seorang ibu bijak yang dulu pernah kita kenal dengan akrab sebagai tempat berbagi suka dan duka kita bilang padaku begini, “biarkan saja, kehidupan tiap orang berbeda. Kesuksesan yang didengar oleh diri sendiri akan membawa kita kepada kesuksesan yang lebih tinggi.”

          Setelah kukirim pesan itu, ia tak pernah lagi membalasnya ataupun menghubungiku. Sekali sebelum aku akhirnya memilih untuk menarik diri dan menjalani hidup seperti dulu aku tidak pernah mengenalnya, aku melihatnya di media sosial facebook. Dan semuanya usai. Apakah ia akan kembali? Aku tak pernah tahu, dan aku tak lagi berharap.
          Tentang Sahabat. Tidak ada yang salah pada pilihan, mungkin hanya keliru. Kurasa kau akan baik-baik saja. Aku mendoakan kau mendapat lebih banyak lagi kebaikan.
***

Lirik, 13 April 2016

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate