CERPEN

Thursday, November 10, 2016

CERPEN 2016 BILLAL HB_CAIRO, BELIEVE TO ME!










Cairo, Believe to Me!
Oleh : Billal HB

Pagi itu saat sarapan. Ada aku, Mama, dan juga Ayah. Ini rutinitas yang sering mempertemukan kami selain shalat subuh berjemaah ketika pagi. Mama menuang air minum ke dalam gelasku yang masih kosong sembari berkata, “beberapa bulan lagi kamu akan menghadapi Ujian Nasional, lebih giat belajar, Nda. Dan mulai tetapkan pilihan mau masuk universitas mana.”
Aku mengangguk sambil terus mengunyah sarapan dengan teratur, menyelipkan senyuman diantaranya membuat Mama senang karena aku mendengarnya.
“Mama sih maunya kamu masuk ke Al-Azhar di Kairo,” ujar Mama.
Aku tersentak juga nyaris tersedak. Segera kuteguk minum untuk melegakan. Kupandang Mama yang masih memancarkan senyumannya yang lembut.
“Di Indonesia kan banyak universitas, Ma. Kenapa harus ke Kairo?”
“Mama mau kamu belajar banyak di sana. Ilmu agama dan banyak pengetahuan tentunya,” jawab Mama.
“Ma, teman-teman Nanda tidak ada yang masuk Al-Azhar,” kataku cepat-cepat. “Kalau Nanda ke sana, tidak ada teman dong. Lagipula kalau mereka tahu Nanda ke Mesir, nanti dibilang gak setia sama persahabatan karena meninggalkan mereka.”
“Memangnya teman-temanmu itu akan selalu bersamamu? Kalau mereka memilih meninggalkanmu apa kamu mau bilang mereka juga tidak setia? Ingat Nak, tiap orang punya impiannya masing-masing.”
Aku terdiam mendengar ucapan mama. Kutelaah dan kupahami. Benar juga. Impian semua orang berbeda.
“Tapi itu terserah kamu, Nda,” kata Ayah menyela. “Mama hanya menyarankan, berharap kamu bisa mewujudkan impian mama yang ingin punya anak mengerti lebih banyak ilmu agama yang nanti bisa diamalkan kalau sudah lulus. Apalagi kamu kan juara pidato bahasa arab dan bagus baca Qur’annya.” Ayah mengakhiri ucapannya dengan senyum pujian.
“Iya, Yah. Nanti Nanda pikirkan,” kataku. “Sekarang Nanda mau ke sekolah dulu ya.”
Dengan sedikit kikuk aku beranjak dari kursi dan mencium tangan kedua orangtuaku untuk berpamitan.  Mengucapkan salam lalu bergegas menuju pintu depan, meminta Om Priyo, sopir pribadi keluarga kami, untuk segera mengantarku ke sekolah.
Di dalam mobil aku diam saja, tak seperti biasa mengajak ngobrol Om Priyo yang khas dengan aksen Jawanya, yang kadang membuat aku terbahak. Karena kedua orang tuaku sama sekali bukan keturunan Jawa.
“Kenapa mas Nanda, kok mukanya seperti kurang sehat?” tanya Om Priyo akhirnya. “Sakit?”
“Gak Om. Sehat kok,” jawabku, agak canggung.
“Tapi mukanya gak enak dilihat, Mas. Kayak jeruk asem,” canda Om Priyo, memancing semangatku. “Udah cerita saja sama saya, Mas. Kayak sama orang baru kenal kalau diam terus, hehe.”
 “Aku cuma heran saja melihat Mama.”
“Loh kenapa Ibu mas Nanda?”
“Gini loh Om. Pertama, Mama ngelarang aku buat naik motor ke sekolah. Padahal aku kan udah kelas 3 SMA. Hari gini kan lagi trend pake motor gede ya Om. Nah yang kedua, pagi ini Mama bilang supaya aku masuk Al-Azhar di Kairo kalau nanti udah lulus,” kataku menyandarkan punggung dengan mendesah.
Om Priyo malah tersenyum dan bilang begini, “Lah, seharusnya mas Nanda itu bersyukur punya ibu yang perhatian sama keselamatan dan masa depan anak tunggalnya. Jangan terlalu  ngikutin trend mas, gak semuanya baik buat diri sendiri. Nah, kalau masalah kuliah ke Al-Azhar itu saya setuju banget.”
“Gimana sih, Om. Kan aku bukan anak-anak lagi, aku juga selalu ngikutin maunya Mama.  Semua yang Mama mau, belum tentu baik buat aku kan.”
“Tapi semua Ibu tahu yang terbaik buat anaknya, Mas. Hehe,” sela Om Priyo. “Gini saja mas. Lebih baik pikirkan dulu. Karena menurut  saya, Ibu pasti ingin anaknya menjadi lebih baik dari dirinya. Baik dari ilmu agama maupun yang lainnya. Gitu toh?”
“Iya deh, Om. Aku pikirkan lagi,” jawabku datar.


Entah kenapa hari ini pun di kelas juga membicarakan topik yang dibahas Mama. Tentang apa yang akan dilakukan setelah lulus sekolah. Ada yang ingin masuk universitas negeri dan swasta, ada juga yang ingin masuk kedokteran atau kebidanan bagi yang perempuan, ada juga yang memilih kursus saja. Mereka bersemangat meski ada juga yang tak mau ambil bagian. Memilih tak banyak bicara masalah kuliah karena mereka memutuskan untuk kerja dulu. Dan ketika temanku Ardan menanyaiku, aku mulai lagi. Merasa canggung.
“Kemana, Nda?” timpal Restu, temanku yang agak agresif atau tepatnya lumayan bandel dengan logat bataknya.
“Ehm… Aku…”
“Kenapa sih?” tanya Ardan kembali selagi yang lain terus memperhatikanku. “Memang mau kemana?” desaknya.
“Saran Mamaku sih ke Al-Azhar Kairo,”kataku cepat. Antara lega dan penat, aku menghela napas.
“Hah? Kairo?” dengus  Mamun. “Jauh buanget, Nda!”
“Mau jadi ustaz kau, Nda?” timpal Restu.
“Ntar bukunya keluar dengan judul Ayat-Ayat Nanda. Haha!” Ade terbahak
Mereka tertawa. Aku tak tahu mereka senang, memuji, atau mengejek. Aku tetap canggung sudah mengatakannya. Memilih untuk pura-pura gembira saja.

Jam istirahat aku pergi ke perpustakaan. Berusaha menghindar sebentar dari yang lain. Aku tak mau mereka kembali membahas tujuanku setlah lulus sekolah, Kairo.
Aku memang bukan pelajar yang aktif di keagamaan seperti teman-temanku yang giat di Kerohanian Islam. Menjadi soleh, bagiku, adalah privasi yang biar Tuhan saja yang tahu. Kadang aku juga merasa menjadi remaja yang usil, bagiku itu hal yang wajar selama masih dalam batasan akhlak. Dan syukurku tetap terhimpun karena berhasil menjadi juara pidato se-kabupaten.
Aku hening di dalam kotak baca. Mengambil buku Geografi dan membuka halaman yang membahas tentang negara Mesir. Aku hikmat memahami tiap kata yang tertera. Meski ada penolakan di dalam hati, aku tetap mengagumi negeri piramida tersebut. Sampai aku terkejut oleh suara seseorang. Suara perempuan yang kukenal, teman sekelasku.
“Mesir?”
“Eh, Elsa,” kataku terkejut pada siswi berjilbab yang sudah berdiri di belakangku itu. Dia malah tersenyum sembari menarik tempat duduk lebih dekat denganku.
“Aku juga kagum kok sama Mesir. Apalagi kalau bisa kuliah ke Al-Azhar. Duh, senangnya,” katanya.
“Eh, kok bahas Al-Azhar? Kamu….”
“Gak nyindir kamu kok. Aku kan cuma dengar kamu di kelas tadi.”
Aku hanya tersenyum. Dan Elsa mulai bicara lagi.
“Kamu seharusnya senang, Nda. Jangan dipikirin apa kata teman-teman. Mamamu hebat.”
“Iya sih, El. Tapi aku malah jadi kurang semangat.”
“Kenapa? Karena teman-teman? Udah biarin aja. Suatu saat nanti mereka pasti paham kok. Sekarang aja mereka anggap lucu. Kalau nanti kamu bisa berhasil, toh mereka juga akan bangga,”kata Elsa. “Aku  tahu kamu pasti bisa, Nda. Semangat!”
Elsa membuat kebisingan sedikit, ketika ia mengatakan semangat dengan mengepalkan tangan, sikunya menghantam kotak baca yang terbuat dari triplek. Ia mengaduh tapi kami lantas tertawa kecil. Kami pun berbincang menghabiskan waktu istirahat dengan saling bertukar cerita.
“Kamu ternyata baik banget ya, El. Sayang banget kita kemarin gak terlalu akrab. Andai waktu bisa berputar, aku pasti cerita banyak ke kamu juga.”
“Ah, kamu bisa aja, Nda,” kata Elsa agak malu. “Aku juga senang bisa kenal lebih dekat sekarang.”
“Terima kasih ya sudah mau kasih semangat juga doa.”
“Sama-sama, Nda,” Elsa tersenyum. “Yakinkan terus diri kamu, Kairo pasti juga akan percaya sama kamu. Benar kata Mamamu, tiap orang punya impiannya masing-masing. Toh kamu juga orang yang pandai bergaul.”
Mendengar ucapan Elsa aku menjadi lebih percaya diri. Api semangatku mulai hangat. Walau ujian akhir masih lebih dari seratus hari lagi, aku mulai menguatkan hati untuk giat belajar agar tak mengecewakan Mama dan teman yang baru saja menjadi akrab, Elsa.  Ia mengalirkan energi buatku.
“Kairo, percayalah padaku,” kataku dalam hati sambil mengusap gambar piramida di halaman buku.
Bel masuk berbunyi. Aku dan Elsa bergegas menuju kelas. Beberapa teman merasa agak lain melihatku. Karena aku bersama Elsa, teman yang tak pernah bersamaku kecuali di dalam kelas. Teman yang menguatkanku untuk memercayai Kairo setelah Mama.
***
Lirik, 31Juli 2016

Tuesday, November 8, 2016

CERPEN BILLAL HB_BAYI DALAM TOPLES KACA



Bayi Dalam Toples Kaca
Oleh : Billal HB

Aku dibangunkan paksa oleh Mak. Berulangkali Mak menyingkap kordeng penutup pintu kamar. Padahal semalaman aku tak tidur karena bisul yang tumbuh di tengkukku luarbiasa menyiksa. Pagi ini sakitnya agak berkurang dan mataku terasa berat oleh kantuk yang sudah tertahan jauh sebelum matahari menampakkan rupanya.
Kupikir Mak menyuruhku agar cepat berobat ke rumah bidan kampung agar bisulku cepat diobati, tapi ternyata tidak. Mak ikut geger karena orang-orang kampung beramai-ramai ke sana karena sesuatu telah terjadi. Percakapan tiap orang yang lewat membuat Mak gelisah, ingin tahu.
“Kau cepatlah ke sana, Harun. Apa kau tak dengar orang-orang yang lewat terus bicara. Tengok, kata mereka di rumah Bidan Ambar ditemukan bayi.”
Awalnya aku tak kaget, kupikir itu hal yang wajar. Tentu saja di rumah bidan praktek ditemukan bayi. Perempuan hamil di kampung ini pasti ada yang melahirkan. Aku hanya menjawab nanti pada Mak. Karena aku benar-benar mengantuk. Membuat Mak agak kecewa lalu ia keluar kamar sambil menggerutu terus memaksaku. Aku yakin, kalau asam uratnya sedang tak kambuh ia pasti sudah cincing sarung ke sana.
“Oi Mak, lah dengar di rumah Bidan Ambar ada bayi?
Kudengar suara identik Kak Mesti, pedagang kue keliling, lantang memberitahu Mak ketika membuka pintu depan. Suara-suara yang lain juga terdengar cemas dan tak percaya.
“Iye, bayi siape Mes?” tanya Mak ingin tahu.
“Entah Mak, sebab bayi tuh dalam toples kaca!”
Spontan Mak beristighfar. Terlebih setelah Kak Mesti melanjutkan ceritanya. Menjelaskan kalau bayi tersebut sudah meninggal. Dan yang lebih mengerikan lagi, bayi itu ditemukan dalam toples kaca berisi cairan spritus. Mak semakin banyak mengucap. Intonasinya penuh getar.
Mendengar penjelasan Kak Mesti aku juga langsung tersentak. Berjingkat melempar sarung lalu mengenakan celana panjang. Jantungku berdegup deras. Aku lupa kalau aku sedang mengantuk dan menahan sakit karena bisul di tengkukku yang membuat merana sejak sepekan lalu. Rasa penasaran itu yang membuatku ingin menyaksikan langsung kebenarannya. Maka kuminta Kak Mesti menemani Mak di rumah dulu sebentar.
Kugesa langkahku. Di sepanjang jalan kampung ramai. Mereka terus berbincang. Berita menyebar dengan cepat. Tampaknya hanya aku yang terlambat mendengar kabar ini di Minggu pagi. Sesampainya di sana bahkan jauh lebih ramai, melebihi saat orang-orang kampung menonton kuda lumping yang disewa di perhelatan entah kawinan atau khitanan.
Polisi sudah tanggap menangani kejadian ini.  Pita bergaris kuning hitam  telah terentang panjang. Mungkin mengelilingi rumah ini. Itu artinya tidak diperbolehkan siapapun untuk melintas agar penyidikan mudah dilakukan. Sekedar melihat tak masalah asal jangan mengacau dan terlalu ingin tahu. Sebab ini bukan masalah sepele. Di zaman yang semakin cerdas, kekerasan terhadap anak sangat dilarang. Apalagi membunuh balita yang baru lahir dengan cara yang sadis. Itu pelanggaran hak asasi manusia yang amat berat.
Namun aku tak melihat Bidan Ambar di sana. Kata orang-orang ia sangat shock dan terus saja menangis bahkan sampai tak sadarkan diri.  Ia tak menyangka ada yang berbuat demikian di depan rumahnya. Tentu saja itu menyangkut nama baik. Meski bukan Bidan Ambar yang melakukan perbuatan tersebut, tapi siapapun dalam keadaan seperti ini akan menjadi detektif dadakan. Semua berspekulasi, mencoba menganalisa, mengingat-ingat, dan mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya. Itu hal yang manusiawi. Karena aku pun demikian.
Sama shocknya, sama ingin tahunya, dan sama menduga-duganya. Akan tetapi di antara kengerian dan kebisingan bisik-bisik orang di sekitarku, aku melihat sesuatu yang tak asing bagiku. Di sana, di tengah teras itu. Ya, pada toples itu. Toples berisi bayi merah yang kaku oleh spritus. Aku menangkap ingatan pada tulisan yang tertera di permukaan toples itu.
“Es Merah”
Sebelum akhirnya toples itu diangkat oleh salah seorang dari petugas medis aku terus berusaha mengingat kejadian yang berhubungan dengan kata “Es Merah” pada toples itu. Hingga aku merasa bisulku teramat sakit menjalar sampai otakku. Aku mengingatnya. Mengingatnya dengan jelas. Tapi bisul ini terus menyiksaku.
***

        Kalau aku tak membelokkan stang motor ke tepi jalan dengan sigap, mungkin aku sudah jatuh dan tergilas truk besar bermuatan sawit yang ada di belakangku. Tamat. Begitu yang ditulis tiap akhir sebuah film. Dan Mak akan menangis setiap hari sampai ia menyusulku di alam baka. Karena aku adalah satu-satunya anak yang dipunyai Mak. Ayahku sudah meninggal tiga tahun yang lalu, terserang jantung koroner waktu kabut pekat menghantui daerah kami. Maka dari itu, meski Mak terkadang cerewet aku selalu berusaha yang terbaik untukknya.
        Aku bersyukur masih diberi kesempatan selamat. Tapi aku juga mengumpat dalam hati pada diriku sendiri dan orang lain. Aku terlalu buru-buru ingin cepat sampai di rumah karena hari semakin sore. Tapi lubang di tengah jalan menurun itu, bagaimana bisa orang-orang  dan pemerintah di sini begitu cuek. Membiarkannya terus menganga. Apakah menunggu lubang itu melahap nyawa seseorang baru akan di perbaiki? Beruntung aku selamat dan tidak menjadi santapan pertama lubang itu meski tetap saja ban depan motorku bocor karena tertusuk batu yang runcing.
        Takut senja lebih dulu datang sebelum aku sampai di rumah, kutuntun motorku dengan agak terburu untuk mencari bengkel terdekat. Rasanya melelahkan. Punggungku serasa kaku.
Akan tetapi belum sampai ke dekat bengkel, masih berjarak seratus meter lagi aku dikejutkan oleh sebuah kejadian yang mendebarkan.
Seorang perempuan berdaster dengan perut buncit yang semula duduk termangu di balik gerobak es campurnya, tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Saat itu dari arah berlawanan denganku, melaju sebuah mobil tangki. Aku tersentak, ingin berteriak memperingatkannya tapi mulutku seperti terkunci. Lagi-lagi seseorang beruntung dari maut, mobil itu mengerem mendadak sembari menyalakan klasksonnya keras-keras, memperingatkan kendaraan yang ada di belakangnya untuk mengurangi kecepatan.
“Woi, kau mau mati!” teriak sopir tangki geram.
Seorang laki-laki muda dari bengkel segera berlari menarik perempuan yang pucat itu ke tepi. Kutuntun lebih cepat motorku. Tak peduli betapa lelahnya sambil terus memperhatikan akibat kekacauan yang diperbuat perempuan yang tengah mengandung itu. Orang-orang yang berjalan memandangi perempuan itu dengan heran dan agak sinis. Bahkan seseorang yang mungkin saja kenal dengannya pun tampak kaget.
Walau arus jalanan sudah kembali normal, namun masih ada ketegangan di sana. Akhirnya dengan bersusah payah aku sampai di bengkel dan melihat wanita itu dari dekat. Kulihat ia membisu dengan pandangan beku duduk menatap jalanan di balik gerobak es campurnya di sisi bengkel. Tak ada seorangpun yang ada di dekatnya. Entah takut atau sengaja membiarkan perempuan itu menenangkan dirinya sendiri. Sampai seorang pemuda berkulit hitam yang bekerja di bengkel mendekatiku yang sudah terengah dan berkeringat, mengalihkan pikiranku sejenak tentang perempuan tersebut.
“Bocor ya Mas bannya?” tanyanya sembari membantuku menuntun sepeda motorku ke sudut perbaikan ban bocor.
“Kenapa mbak yang itu tadi, Bang?” tanyaku pada lelaki itu pelan ingin tahu. “Tadi kulihat dia mau menabrakkan diri ke mobil tangki.”
“Entah. Saya juga tidak tahu maksudnya. Saya pun tidak kenal. Dia baru dua hari dagang di situ. Tidak  banyak omong orangnya,” jawabnya. Sesekali aku dan pekerja bengkel itu melirik ke arahnya. “Kaget pas dia lari ke tengah jalan.”
Aku mengangguk. Sedikit mengerti tapi tak paham.  Dan tak tertarik untuk terus menanyai pekerja bengkel tersebut layaknnya wartawan yang tengah mencari liputan menarik. Kubiarkan ia meneruskan pekerjaannya menambal ban dan aku memilih duduk di bangku kayu.
Tapi hatiku seperti terserang gatal-gatal. Rasa penasaranku harus digaruk untuk mengurangi gatalnya. Maka perlahan aku berjalan mendekati perempuan itu. Aku akan membeli es campurnya dengan alasan haus.
“Mbak, beli esnya sebungkus ya.”
Perempuan itu cuma mengangguk kaku dan mulai mencampur semua yang diperlukan ke dalam plastik. Sesudahnya ia mengulurkan es campurnya padaku. Kuraih dengan tersenyum sambil berkata, “boleh duduk di sini mbak?” dan ia mengangguk.
Aku mulai canggung sebenarnya. Tapi aku malah iba padanya. Dari caranya memandang jalanan yang mulai sepi ia seperti seseorang yang penuh tekanan. Kulihat matanya berkaca-kaca. Jeda kalimatku hanya setengah menit.
“Mbak seperti kurang sehat. Kenapa memaksa dagang?” tanyaku. “Lagipula sudah sore.”
Lama ia diam sampai ia menjawab, “sebentar lagi.”
Aku lega karena ia akhirnya mulai bisa berkomunikasi. Meski matanya tak pernah lepas dari jalanan. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya sebenarnya. Namun terlalu ingin tahu masalah orang lain akan mendatangkan masalah yang baru. Aku tak mau itu malah membuatku terjebak situasi. Aku cuma menghela napas dan meneliti apa-apa yang ada pada gerobak dorongnya.
Perempuan ini seorang pembuat es yang hebat sebenarnya. Rasa es yang ia buat sangat enak dan menyegarkan. Kupikir ia juga jujur. Karena aku yang sangat sensitif dengan air es, biasanya mengerti apakah seorang pedagang es menggunakan air mentah yang dibekukan atau air yang sudah matang. Buktinya aku tak langsung terserang flu. Selain itu ia juga pembersih. Semua benda yang berjejer di atas gerobak itu mengilap termasuk gerobaknya sendiri yang dicat biru muda. Ada nama “Es Merah” ditulis dengan menggunakan cat merah pada sisi kiri gerobaknya. Termasuk satu-satunya toples paling besar yang kosong di sana diberi tulisan itu. Aku ingin tahu apa maksudnya tapi tak berani mengajukan pertanyaan.
Aku dan perempuan itu hanya duduk bersebelahan saling diam. Hanya angin yang bertingkah mengusir gerah. Mungkin karena aku tak kenal padanya dan begitu sebaliknya. Aneh jika mendadak dua orang yang hanya bertemu sebagai pedang dan pembeli menjadi akrab. Semua yang ingin aku tahu sudah kutelan sampai perutku. Lelaki tukang bengkel itu pun sudah memanggilku. Memberitahu bahwa motorku sudah bisa digunakan.
Namun ketika aku hendak pamit meninggalkan perempuan itu, ia malah mengatakan sesuatu sambil tersenyum untuk pertama kalinya. Entah apa maksudnya.
“Dua minggu lagi saya akan melahirkan. Saya hanya berjualan dua hari saja. Kalau kamu lewat sini lagi saya sudah tidak ada. Tapi kamu kenal dua orang yang akan menerima anak ini. Seorang perempuan yang menolak dan seorang pembeli yang ingin tahu.”
Ia tersenyum dan kembali membuang pandangannya yang dingin ke jalan. Membuatku menjadi bingung dan merinding. Menumbuhkan sulur pertanyaan baru yang seakan mencuat dari kepalaku. Apa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya?
Aku tidak mengerti dan memilih untuk tidak ingin mengerti. Bertanya pun aku tak akan mendapatkan jawabannya. Yang aku simpulkan perempuan itu memang benar-benar sedang tertekan atau memang tak waras. Ia bahkan seperti hantu yang meninggalkan pesan ganjil.
Entahlah, kutinggalkan dia seraya mengangguk seolah aku paham.  Tanpa perlu berlama-lama lagi segera kunyalakan mesin motorku. Sambil berlalu kulihat perempuan berperut buncit itu  terakhir kali. Ia masih terus membeku menatap jalanan yang semakin sepi dan redup.
***

Tamat

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate