CERPEN

Tuesday, November 8, 2016

CERPEN BILLAL HB_RANTING JERAMI








Ranting Jerami
Bagian : 1
Oleh Billal HB
untuk seorang teman

 


“Kau lebih tau akan jadi apa. Dan orang-orang di sekitarmu bukan orang jahat. Kau adalah cermin bagi dirimu sendiri. hanya ada dua hal dalam dirimu. Dia akan ke luar saat waktu itu terjadi. Kau memilih membakar atau dibakar, putuskan saja sendiri.”


 


***


            Maka aku akan menjauh dari keramaian dan segala bentuk percakapan. Duniaku selalu mendung. Tapi hujan tak juga turun untuk memberi jawaban. Menatap baris pepohonan, petak-petak kuning sawah , jalan kampung yang mengular seperti pita cokelat, dan atap-atap rumah yang menguap dari atas bukit di sisi makam leluhur kampung, adalah hal paling logis yang bisa aku lakukan. Entah, apakah ini bentuk intuisi atau sekedar lampiasan emosi. Aku tersengal oleh garis hidup yang berzig-zag yang sudut runcingnya selalu menusuk bagian paling vitalku. Jantungku hancur terurai namun masih bisa berdetak untuk mengirimkan pesan pada syaraf otakku tentang sebuah rasa. Rasa sakit yang tak terkira.


            Apakah aku harus menangis untuk mengurangi perihnya? Apakah lebih baik aku terjun dari sisi bukit paling tinggi dan curam sembari menutup mata? Apakah bunuh diri benar-benar dapat menyelesaikan masalah? Kupikir dalam sambil mereguk udara yang juga tak berpihak kepadaku. Ah, kebodohan dari jenis apa ini, aku membiarkan diriku sendiri terus disakiti oleh keadaan yang kubuat sendiri. Bukankah aku adalah seorang laki-laki, dan air mata itu tak layak untuk ditumpahkan. Keberanian adalah bara api dari tungku dapur Ibu yang selalu tulus menjerang air di pagi buta untuk secangkir kopi untuk Ayah yang bersiap menuju sawah. Aku adalah seorang anak dari kedua orangtua yang tak pernah berhenti menyayangiku. Akulah yang salah karena terlalu sering menyalahkan keadaan.


            Angin berhembus. Bukit makam ini juga tak hening. Serangga bukit saling bersahut. Meski di sini ada seratus lebih orang mati yang terpendam di dalam tanah dan nisan-nisan mereka tertanam kuat, aku merasa mereka sebenarnya masih hidup dan beraktivitas seperti kami yang masih bergerak dengan kaki, memegang dengan tangan, dan melihat dengan mata. Hanya saja aku yang tak melihat mereka. Karena aku masih hidup. Ya, masih hidup. Jika tadi aku mati, mungkin aku akan tahu kebenarnnya akan kegaiban itu.


            Aku masih saja duduk menatap ke depan. Ada gelombang tinggi yang menghantam dadaku. Terasa sesak sampai aku ingin teriak. Meneriaki Tuhan bilaperlu. Aku ingin bertanya pada-Nya perihal nikmat-Nya yang selalu ia firmankan di dalam kitab suci. Ataukah Dia akan memaafkanku untuk pertanyaan ini?


            Aku terus diam meski matahari perlahan condong ke Barat. Sampai pada detik berikutnya sebuah ranting kering terjatuh memukul bahuku yang kurus dan seseorang berdeham di belakangku. Aku kaget dan menoleh sambil memungut ranting itu dan bertanya sendiri. Apakah ranting itu benar terjatuh dari atas pohon ataukah orang itu yang melempariku dengan ranting?


            Pria itu sama kurusnya denganku. Hanya saja matanya sipit dan perutnya buncit. Semula kupikir dia hantu yang bangkit dari salah satu kuburan di sini. Tapi kulihat dia punya bayangan dan kakinya menyentuh tanah. Tentu saja dia manusia, pikirku. Lelaki itu hanya mengenakan kaos yang pudar warnanya dan celana pendek dengan sandal jepit yang nyaris putus.


            “Apa kau yang melemparku dengan ranting ini?” tanyaku.


            Lelaki itu hanya diam tapi bergerak perlahan menujuku. Aku tak tahu berapa usianya. Tapi dia masih muda, sama denganku. Kulihat ada kesamaan pada diri kami. Di tangan kanannya ia menggenggam sesuatu dengan erat. Seikat jerami kering yang entah ia dapat darimana.


            Aku mulai takut. Apakah lelaki ini orang gila yang lewat atau apa aku tak tahu. Tapi ia terus mendekatiku dan duduk begitu saja di sebelahku tanpa menoleh samasekali. Dan diantara kami hanya tercipta kebisuan. Aku benar-benar tidak mengerti.


            “Boleh aku bertanya?” tanyaku memberanikan diri.


            Ia menoleh dan kulihat air matanya mengalir tanpa sebab.


            “Ini hari apa?” tanyanya lirih.


            “Jum’at.”


            “Ini hari pengakuan, bukankah?”


            “Maksudmu? Kita tidak saling mengenal, bagaimana bisa bicara seperti itu.”


            “Apakah butuh keakraban untuk saling mengerti tanpa pengakuan yang jujur? Apakah bisa memahami jika kebohongan itu tersimpan rapat? Apakah butuh undangan untuk datang dan menemukan penyelesaian masalah.”


            Aku mulai tak nyaman dengan lelaki ini. Selain karena ia datang tanpa sebab dan tanpa diundang ia juga mengganggu kesendirianku. Ia juga berbicara hal yang tak kumengerti. Aku juga punya masalah hidup. Tapi tak datang tiba-tiba pada orang belum dikenal.


            “Mungkin kita perlu bicara dan saling mengenal untuk sama-sama tahu apa yang kita alami,” kataku.


            Ia mengangguk seraya berkata, “Aku ingin kita berbicara tentang dosa-dosa yang telah kita lakukan.”


            Aku tersentak, diam terus memandangainya.


            “Tentang dosa?” tanyaku. “Tapi, bolehkah kita terlebih dahulu berkenalan….”


            Belum sempat aku bertanya lagi, lelaki ini langsung menjelaskan masalah dan dosa-dosanya. Aku benar-benar bingung juga sedih melihat lelaki yang seumuran denganku ini.


            “Aku seorang pendosa. Dan ibuku hanya memberiku seikat jerami dan sepotong ranting yang kulemparkan padamu. Aku pergi dari rumah, mencari makam orang-orang yang juga penuh dosa, “ katanya seraya menatapku dan matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Aku menyimpan Tuhan di dalam saku celanaku dan membiarkanNya tetap di sana. Aku bosan dengan segala aturan dan rukun-rukunNya. Tidak bisakah kita hidup tanpa larangan? Kebebasan jiwa dibutuhkan untuk meraih keinginan. Orang-orang yang menasihatiku seperti udara yang menguap dari cerobong pembuangan di luar kamar mandi, apa peduli mereka jika hanya memberi nasihat? Apakah mereka, orangtuaku, saudaraku, sahabat-sahabatku, para ustaz bahkan, mengerti apa yang aku rasakan. Sebuah derita yang mengerikan.”


            “Kau tahu, aku seperi penjaja harga diri di tempat yang gelap dan pulang dengan seikat uang tak berarti. Aku seperti pengeluh yang hina, hanya memaki dan menganggap hidup tak adil. Aku seperti……….”


            Lelaki itu terisak menahan tangis, tak sanggup melanjutkan ceritanya. Meski aku belum paham pada kisahnya, tapi aku mengerti akan kesedihan yang mendera batinnya. Tak jauh berbeda denganku. Sama menderitanya. Serba kekurangan. Sakit-sakitan. Ijazah tertinggi yang kudapat juga seperti tak ada harganya meski aku seorang yang mengerti agama.


            “Meski aku berusaha mengusir diriku sendiri dari kehidupan ini,” ia melanjutkan lagi sembari mengelap ingusnya yang meleleh. “Nyatanya bukan pada takdirNya. Kehidupan kotor masih mengikutiku dari belakang. Aku berusaha kuat untuk terbebas darinya, ia justru semakin kuat. Aku tak punya ruang bahkan untuk merangkak dan meratap.”


            “Hanya pada ibu aku berani mengakui kesalahanku. Aku belum berani mengakuinya pada Ayah atau bahkan Tuhan. Aku masih takut. Ayah mungkin akan langsung melemparku ke dalam dian jerami yang ia bakar. Tapi Tuhan, aku takut ia akan langsung melemparkanku ke dalam kerak neraka hidup-hidup sebagai bahan bakar paling nyata. Aku menyesal….. Aku sangat menyesal….. “ isaknya.


            Entah pada bagian yang mana yang membuatku tersentuh. Tiba-tiba air mataku juga ikut terjatuh. Ia meremas jerami yang ia pegang sejak tadi. Ini bagian yang membuatku penasaran. Dan akan segera kutanyakan padanya.


            “Hey kau, lantas kenapa ibumu hanya memberimu sepotong ranting dan seikat jerami kering? Apa dia mengusirmu dan membiarkanmu mati dalam kesalahan yang kaubuat?”


            “Kau seorang guru, bukankah?”


            Bukannya menjawab pertanyaanku ia malah balik bertanya padaku. Membuatku sedikit kesal. Aku menjawab pertanyaannya hanya dengan sekali anggukan. Tak berguna membahas profesi. Apa aku bertanya apa pekerjaannya atau asalnya. Tapi, darimana ia tahu bahwa aku seorang guru yang hanya mendapat penghasilan pas-pasan dari pekerjaan rumit setiap harinya. Mendengar ocehan, tekanan, juga ketidakacuhan. Aku jadi geram bila mengingat itu.


            “Jadi apa?” tanyaku lagi.


            “Kau lebih tahu daripada aku. Sebab aku tak bisa membaca. Membaca alur hidup adalah yang paling membosankan! Bagaimana tidak, menunggu tiap hari nikmat Tuham tapi tak juga kunjung datang kepadaku. Kau tahu, hidup ini mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari orang-orang mati di sini!”


            “Tidakkah kau mengerti pada akhirnya? Jika aku membakar bukit makam ini hanya dengan sepotong ranting dan seikat jerami kering yang tak ada artinya kau dan aku akan sama-sama mati terbakar. Apa yang bisa kau lakukan untuk selamat? Memadamkannya ataukah berteriak meminta bantuan yang tak akan pernah datang kepadamu yang penuh dosa? ”


            Aku tersentak. Merenungi tiap kalimat yang ia katakan. Ada ketidakmengertian yang memukul-mukul pikiranku. Tapi kupikir pasti ada kebenaran dari apa yang ia ucapkan.


            “Ibuku bilang,” katanya lagi, sekarang ia sedih kembali. “Ranting dan jerami adalah benda mati dari yang hidup sebelumnya. Ia bisa lenyap hanya dalam sekali lahapan api. Hanya saja ranting lebih lama bertahan dari jerami yang rapuh. Keduanya berguna bagi kita yang hidup.  Tak perlu kujelaskan bagaimana kegunaannya. Sekarang hanya ada dua pilihan, menjadi ranting atau menjadi jerami. Menurutmu?”


            “Hmm… menurutku tidak menjadi keduanya.” Jawabku tercekat. “Untuk apa memilih, jika keduanya hangus terbakar.”


            Ia tersenyum sekarang. Senyuman yang cukup aneh menurutku.


            “Dengarkan aku,”katanya lagi. “Aku tidak bilang mereka akan terbakar bukan? Api tidak datang dengan sendirinya. Meski aku orang yang bodoh, tapi aku tahu api adalah sebuah reaksi.”


            “Sobatku, dirimu adalah kau. Dan aku memiliki diriku. Orang-orang jahatlah api itu. Dan orang jahat itu adalah diri kita sendiri. Ibuku bilang, Tuhan akan membakar setiap dosa dengan kebaikan dan ketulusan hati.”


            Kami hening beberapa jenak. Dalam pendalaman itu ada sesuatu yang membuatku gamang. Aku tak bisa mengutarakannya, namun begitu keras berteriak dalam lembah dalam hatiku. Lelaki itu menatapku dalam senyumnya yang hambar. Kemudian dia menarik tanganku. Mengajakku berdiri dan kami saling berhadapan. Sepertinya dia memikirkan sesuatu tentang diriku.


            “Aku tak akan bertanya apa dosa terbesarmu. Karena aku sudah tahu semua tentang dirimu. Bahkan bukit makam ini pun juga sama tahunya denganku. Aku hanya ingin menawarimu sebuah tantangan.”


            Aku mengernyitkan dahiku. Mengerti atau tidak sama kacaunya. Mungkin dia peramal gila. Kuhela napas dan kukatakan, “Tantangan apa?”


            “Ini,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya yang masing-masing menggenggam jerami dan ranting. “Aku ingin kau membakar keduanya. Dan aku ingin tahu seberapa mengerti kau pada maksudku.”


            Kuiyakan tantangannya. Kuambil jerami dan ranting dari tangannya. Kemudian ia mengeluarkan korek dari kantong celananya. “Apa kau siap, wahai Guru?”


            Kemudian dengan sekali gesek korek itu memercik dan menyala.  Ia tersenyum, sementara aku gugup seraya mengangguk.


            “Inilah maksudku.”


            Aku terkejut juga sangat panik. Apa yang ia lakukan selanjutnya benar-benar diluar dugaan. Korek yang masih menyala itu justru ia lemparkan ke arah tubuhnya. Dan dalam sekejap tiba-tiba saja api menjadi besar membakar tubuhnya. Berkobar. Aku ingin berteriak dan mencari bantuan untuk memadamkan api itu. Tapi mulut dan kakiku tak bisa bergerak.  Sementara dia tetap diam tanpa rasa sakit dalam api yang terus membesar tersebut. Mataku panas. Ingin menangis. Karena pemandangan itu begitu mengerikan. Sampai aku sadar bahwa lelaki yang terbakar itu mendekati dan dengan cepat memelukku. Aku merasa sakit dan terluka. Api itu mulai membakarku perlahan dan semakin berkobar sampai membakar dahan pohon di atas kami. Aku pasti mati. Dan dia benar, bantuan tak akan pernah datang bila kita yang membuatnya tak pernah datang. Tuhan, selamatkan aku……


***

  Bersambung….. 

Lirik, 19 Oktober 2016


         

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate