“Kau lebih tau akan jadi apa. Dan
orang-orang di sekitarmu bukan orang jahat. Kau adalah cermin bagi dirimu
sendiri. hanya ada dua hal dalam dirimu. Dia akan ke luar saat waktu itu
terjadi. Kau memilih membakar atau dibakar, putuskan saja sendiri.”
***
Maka
aku akan menjauh dari keramaian dan segala bentuk percakapan. Duniaku selalu
mendung. Tapi hujan tak juga turun untuk memberi jawaban. Menatap baris
pepohonan, petak-petak kuning sawah , jalan kampung yang mengular seperti pita
cokelat, dan atap-atap rumah yang menguap dari atas bukit di sisi makam leluhur
kampung, adalah hal paling logis yang bisa aku lakukan. Entah, apakah ini
bentuk intuisi atau sekedar lampiasan emosi. Aku tersengal oleh garis hidup
yang berzig-zag yang sudut runcingnya selalu menusuk bagian paling vitalku.
Jantungku hancur terurai namun masih bisa berdetak untuk mengirimkan pesan pada
syaraf otakku tentang sebuah rasa. Rasa sakit yang tak terkira.
Apakah
aku harus menangis untuk mengurangi perihnya? Apakah lebih baik aku terjun dari
sisi bukit paling tinggi dan curam sembari menutup mata? Apakah bunuh diri
benar-benar dapat menyelesaikan masalah? Kupikir dalam sambil mereguk udara
yang juga tak berpihak kepadaku. Ah, kebodohan dari jenis apa ini, aku membiarkan
diriku sendiri terus disakiti oleh keadaan yang kubuat sendiri. Bukankah aku
adalah seorang laki-laki, dan air mata itu tak layak untuk ditumpahkan.
Keberanian adalah bara api dari tungku dapur Ibu yang selalu tulus menjerang
air di pagi buta untuk secangkir kopi untuk Ayah yang bersiap menuju sawah. Aku
adalah seorang anak dari kedua orangtua yang tak pernah berhenti menyayangiku.
Akulah yang salah karena terlalu sering menyalahkan keadaan.
Angin
berhembus. Bukit makam ini juga tak hening. Serangga bukit saling bersahut.
Meski di sini ada seratus lebih orang mati yang terpendam di dalam tanah dan
nisan-nisan mereka tertanam kuat, aku merasa mereka sebenarnya masih hidup dan
beraktivitas seperti kami yang masih bergerak dengan kaki, memegang dengan
tangan, dan melihat dengan mata. Hanya saja aku yang tak melihat mereka. Karena
aku masih hidup. Ya, masih hidup. Jika tadi aku mati, mungkin aku akan tahu
kebenarnnya akan kegaiban itu.
Aku
masih saja duduk menatap ke depan. Ada gelombang tinggi yang menghantam dadaku.
Terasa sesak sampai aku ingin teriak. Meneriaki Tuhan bilaperlu. Aku ingin
bertanya pada-Nya perihal nikmat-Nya yang selalu ia firmankan di dalam kitab
suci. Ataukah Dia akan memaafkanku untuk pertanyaan ini?
Aku
terus diam meski matahari perlahan condong ke Barat. Sampai pada detik
berikutnya sebuah ranting kering terjatuh memukul bahuku yang kurus dan
seseorang berdeham di belakangku. Aku kaget dan menoleh sambil memungut ranting
itu dan bertanya sendiri. Apakah ranting itu benar terjatuh dari atas pohon
ataukah orang itu yang melempariku dengan ranting?
Pria
itu sama kurusnya denganku. Hanya saja matanya sipit dan perutnya buncit.
Semula kupikir dia hantu yang bangkit dari salah satu kuburan di sini. Tapi
kulihat dia punya bayangan dan kakinya menyentuh tanah. Tentu saja dia manusia,
pikirku. Lelaki itu hanya mengenakan kaos yang pudar warnanya dan celana pendek
dengan sandal jepit yang nyaris putus.
“Apa
kau yang melemparku dengan ranting ini?” tanyaku.
Lelaki
itu hanya diam tapi bergerak perlahan menujuku. Aku tak tahu berapa usianya.
Tapi dia masih muda, sama denganku. Kulihat ada kesamaan pada diri kami. Di
tangan kanannya ia menggenggam sesuatu dengan erat. Seikat jerami kering yang
entah ia dapat darimana.
Aku
mulai takut. Apakah lelaki ini orang gila yang lewat atau apa aku tak tahu.
Tapi ia terus mendekatiku dan duduk begitu saja di sebelahku tanpa menoleh
samasekali. Dan diantara kami hanya tercipta kebisuan. Aku benar-benar tidak
mengerti.
“Boleh
aku bertanya?” tanyaku memberanikan diri.
Ia
menoleh dan kulihat air matanya mengalir tanpa sebab.
“Ini
hari apa?” tanyanya lirih.
“Jum’at.”
“Ini
hari pengakuan, bukankah?”
“Maksudmu?
Kita tidak saling mengenal, bagaimana bisa bicara seperti itu.”
“Apakah
butuh keakraban untuk saling mengerti tanpa pengakuan yang jujur? Apakah bisa
memahami jika kebohongan itu tersimpan rapat? Apakah butuh undangan untuk
datang dan menemukan penyelesaian masalah.”
Aku
mulai tak nyaman dengan lelaki ini. Selain karena ia datang tanpa sebab dan tanpa
diundang ia juga mengganggu kesendirianku. Ia juga berbicara hal yang tak
kumengerti. Aku juga punya masalah hidup. Tapi tak datang tiba-tiba pada orang
belum dikenal.
“Mungkin
kita perlu bicara dan saling mengenal untuk sama-sama tahu apa yang kita
alami,” kataku.
Ia
mengangguk seraya berkata, “Aku ingin kita berbicara tentang dosa-dosa yang
telah kita lakukan.”
Aku
tersentak, diam terus memandangainya.
“Tentang
dosa?” tanyaku. “Tapi, bolehkah kita terlebih dahulu berkenalan….”
Belum
sempat aku bertanya lagi, lelaki ini langsung menjelaskan masalah dan
dosa-dosanya. Aku benar-benar bingung juga sedih melihat lelaki yang seumuran
denganku ini.
“Aku
seorang pendosa. Dan ibuku hanya memberiku seikat jerami dan sepotong ranting
yang kulemparkan padamu. Aku pergi dari rumah, mencari makam orang-orang yang
juga penuh dosa, “ katanya seraya menatapku dan matanya mulai berkaca-kaca
lagi. “Aku menyimpan Tuhan di dalam saku celanaku dan membiarkanNya tetap di
sana. Aku bosan dengan segala aturan dan rukun-rukunNya. Tidak bisakah kita
hidup tanpa larangan? Kebebasan jiwa dibutuhkan untuk meraih keinginan.
Orang-orang yang menasihatiku seperti udara yang menguap dari cerobong
pembuangan di luar kamar mandi, apa peduli mereka jika hanya memberi nasihat? Apakah
mereka, orangtuaku, saudaraku, sahabat-sahabatku, para ustaz bahkan, mengerti
apa yang aku rasakan. Sebuah derita yang mengerikan.”
“Kau
tahu, aku seperi penjaja harga diri di tempat yang gelap dan pulang dengan
seikat uang tak berarti. Aku seperti pengeluh yang hina, hanya memaki dan
menganggap hidup tak adil. Aku seperti……….”
Lelaki
itu terisak menahan tangis, tak sanggup melanjutkan ceritanya. Meski aku belum
paham pada kisahnya, tapi aku mengerti akan kesedihan yang mendera batinnya.
Tak jauh berbeda denganku. Sama menderitanya. Serba kekurangan. Sakit-sakitan. Ijazah
tertinggi yang kudapat juga seperti tak ada harganya meski aku seorang yang
mengerti agama.
“Meski
aku berusaha mengusir diriku sendiri dari kehidupan ini,” ia melanjutkan lagi
sembari mengelap ingusnya yang meleleh. “Nyatanya bukan pada takdirNya.
Kehidupan kotor masih mengikutiku dari belakang. Aku berusaha kuat untuk
terbebas darinya, ia justru semakin kuat. Aku tak punya ruang bahkan untuk
merangkak dan meratap.”
“Hanya
pada ibu aku berani mengakui kesalahanku. Aku belum berani mengakuinya pada
Ayah atau bahkan Tuhan. Aku masih takut. Ayah mungkin akan langsung melemparku
ke dalam dian jerami yang ia bakar. Tapi Tuhan, aku takut ia akan langsung
melemparkanku ke dalam kerak neraka hidup-hidup sebagai bahan bakar paling
nyata. Aku menyesal….. Aku sangat menyesal….. “ isaknya.
Entah
pada bagian yang mana yang membuatku tersentuh. Tiba-tiba air mataku juga ikut
terjatuh. Ia meremas jerami yang ia pegang sejak tadi. Ini bagian yang membuatku
penasaran. Dan akan segera kutanyakan padanya.
“Hey
kau, lantas kenapa ibumu hanya memberimu sepotong ranting dan seikat jerami
kering? Apa dia mengusirmu dan membiarkanmu mati dalam kesalahan yang kaubuat?”
“Kau
seorang guru, bukankah?”
Bukannya
menjawab pertanyaanku ia malah balik bertanya padaku. Membuatku sedikit kesal.
Aku menjawab pertanyaannya hanya dengan sekali anggukan. Tak berguna membahas
profesi. Apa aku bertanya apa pekerjaannya atau asalnya. Tapi, darimana ia tahu
bahwa aku seorang guru yang hanya mendapat penghasilan pas-pasan dari pekerjaan
rumit setiap harinya. Mendengar ocehan, tekanan, juga ketidakacuhan. Aku jadi
geram bila mengingat itu.
“Jadi
apa?” tanyaku lagi.
“Kau
lebih tahu daripada aku. Sebab aku tak bisa membaca. Membaca alur hidup adalah
yang paling membosankan! Bagaimana tidak, menunggu tiap hari nikmat Tuham tapi
tak juga kunjung datang kepadaku. Kau tahu, hidup ini mengerikan. Jauh lebih
mengerikan dari orang-orang mati di sini!”
“Tidakkah
kau mengerti pada akhirnya? Jika aku membakar bukit makam ini hanya dengan
sepotong ranting dan seikat jerami kering yang tak ada artinya kau dan aku akan
sama-sama mati terbakar. Apa yang bisa kau lakukan untuk selamat? Memadamkannya
ataukah berteriak meminta bantuan yang tak akan pernah datang kepadamu yang
penuh dosa? ”
Aku
tersentak. Merenungi tiap kalimat yang ia katakan. Ada ketidakmengertian yang
memukul-mukul pikiranku. Tapi kupikir pasti ada kebenaran dari apa yang ia
ucapkan.
“Ibuku
bilang,” katanya lagi, sekarang ia sedih kembali. “Ranting dan jerami adalah
benda mati dari yang hidup sebelumnya. Ia bisa lenyap hanya dalam sekali
lahapan api. Hanya saja ranting lebih lama bertahan dari jerami yang rapuh. Keduanya
berguna bagi kita yang hidup.Tak perlu
kujelaskan bagaimana kegunaannya. Sekarang hanya ada dua pilihan, menjadi
ranting atau menjadi jerami. Menurutmu?”
“Hmm…
menurutku tidak menjadi keduanya.” Jawabku tercekat. “Untuk apa memilih, jika
keduanya hangus terbakar.”
Ia
tersenyum sekarang. Senyuman yang cukup aneh menurutku.
“Dengarkan
aku,”katanya lagi. “Aku tidak bilang mereka akan terbakar bukan? Api tidak
datang dengan sendirinya. Meski aku orang yang bodoh, tapi aku tahu api adalah
sebuah reaksi.”
“Sobatku,
dirimu adalah kau. Dan aku memiliki diriku. Orang-orang jahatlah api itu. Dan
orang jahat itu adalah diri kita sendiri. Ibuku bilang, Tuhan akan membakar
setiap dosa dengan kebaikan dan ketulusan hati.”
Kami
hening beberapa jenak. Dalam pendalaman itu ada sesuatu yang membuatku gamang.
Aku tak bisa mengutarakannya, namun begitu keras berteriak dalam lembah dalam
hatiku. Lelaki itu menatapku dalam senyumnya yang hambar. Kemudian dia menarik
tanganku. Mengajakku berdiri dan kami saling berhadapan. Sepertinya dia
memikirkan sesuatu tentang diriku.
“Aku
tak akan bertanya apa dosa terbesarmu. Karena aku sudah tahu semua tentang
dirimu. Bahkan bukit makam ini pun juga sama tahunya denganku. Aku hanya ingin
menawarimu sebuah tantangan.”
Aku
mengernyitkan dahiku. Mengerti atau tidak sama kacaunya. Mungkin dia peramal
gila. Kuhela napas dan kukatakan, “Tantangan apa?”
“Ini,”
katanya sambil mengangkat kedua tangannya yang masing-masing menggenggam jerami
dan ranting. “Aku ingin kau membakar keduanya. Dan aku ingin tahu seberapa mengerti
kau pada maksudku.”
Kuiyakan
tantangannya. Kuambil jerami dan ranting dari tangannya. Kemudian ia
mengeluarkan korek dari kantong celananya. “Apa kau siap, wahai Guru?”
Kemudian
dengan sekali gesek korek itu memercik dan menyala.Ia tersenyum, sementara aku gugup seraya mengangguk.
“Inilah
maksudku.”
Aku
terkejut juga sangat panik. Apa yang ia lakukan selanjutnya benar-benar diluar
dugaan. Korek yang masih menyala itu justru ia lemparkan ke arah tubuhnya. Dan
dalam sekejap tiba-tiba saja api menjadi besar membakar tubuhnya. Berkobar. Aku
ingin berteriak dan mencari bantuan untuk memadamkan api itu. Tapi mulut dan
kakiku tak bisa bergerak.Sementara dia
tetap diam tanpa rasa sakit dalam api yang terus membesar tersebut. Mataku
panas. Ingin menangis. Karena pemandangan itu begitu mengerikan. Sampai aku
sadar bahwa lelaki yang terbakar itu mendekati dan dengan cepat memelukku. Aku
merasa sakit dan terluka. Api itu mulai membakarku perlahan dan semakin
berkobar sampai membakar dahan pohon di atas kami. Aku pasti mati. Dan dia
benar, bantuan tak akan pernah datang bila kita yang membuatnya tak pernah
datang. Tuhan, selamatkan aku……
No comments:
Post a Comment