Bayi Dalam Toples Kaca
Oleh : Billal HB
Aku dibangunkan paksa oleh Mak.
Berulangkali Mak menyingkap kordeng penutup pintu kamar. Padahal semalaman aku
tak tidur karena bisul yang tumbuh di tengkukku luarbiasa menyiksa. Pagi ini
sakitnya agak berkurang dan mataku terasa berat oleh kantuk yang sudah tertahan
jauh sebelum matahari menampakkan rupanya.
Kupikir Mak menyuruhku agar cepat
berobat ke rumah bidan kampung agar bisulku cepat diobati, tapi ternyata tidak.
Mak ikut geger karena orang-orang kampung beramai-ramai ke sana karena sesuatu
telah terjadi. Percakapan tiap orang yang lewat membuat Mak gelisah, ingin
tahu.
“Kau cepatlah ke sana, Harun. Apa kau
tak dengar orang-orang yang lewat terus bicara. Tengok, kata mereka di rumah
Bidan Ambar ditemukan bayi.”
Awalnya aku tak kaget, kupikir itu hal
yang wajar. Tentu saja di rumah bidan praktek ditemukan bayi. Perempuan hamil
di kampung ini pasti ada yang melahirkan. Aku hanya menjawab nanti pada Mak.
Karena aku benar-benar mengantuk. Membuat Mak agak kecewa lalu ia keluar kamar
sambil menggerutu terus memaksaku. Aku yakin, kalau asam uratnya sedang tak
kambuh ia pasti sudah cincing sarung ke sana.
“Oi Mak, lah dengar di rumah Bidan
Ambar ada bayi?
Kudengar suara identik Kak Mesti,
pedagang kue keliling, lantang memberitahu Mak ketika membuka pintu depan.
Suara-suara yang lain juga terdengar cemas dan tak percaya.
“Iye, bayi siape Mes?” tanya Mak ingin
tahu.
“Entah Mak, sebab bayi tuh dalam toples
kaca!”
Spontan Mak beristighfar. Terlebih
setelah Kak Mesti melanjutkan ceritanya. Menjelaskan kalau bayi tersebut sudah
meninggal. Dan yang lebih mengerikan lagi, bayi itu ditemukan dalam toples kaca
berisi cairan spritus. Mak semakin banyak mengucap. Intonasinya penuh getar.
Mendengar penjelasan Kak Mesti aku juga
langsung tersentak. Berjingkat melempar sarung lalu mengenakan celana panjang.
Jantungku berdegup deras. Aku lupa kalau aku sedang mengantuk dan menahan sakit
karena bisul di tengkukku yang membuat merana sejak sepekan lalu. Rasa
penasaran itu yang membuatku ingin menyaksikan langsung kebenarannya. Maka
kuminta Kak Mesti menemani Mak di rumah dulu sebentar.
Kugesa langkahku. Di sepanjang jalan
kampung ramai. Mereka terus berbincang. Berita menyebar dengan cepat. Tampaknya
hanya aku yang terlambat mendengar kabar ini di Minggu pagi. Sesampainya di
sana bahkan jauh lebih ramai, melebihi saat orang-orang kampung menonton kuda
lumping yang disewa di perhelatan entah kawinan atau khitanan.
Polisi sudah tanggap menangani kejadian
ini. Pita bergaris kuning hitam telah terentang panjang. Mungkin mengelilingi
rumah ini. Itu artinya tidak diperbolehkan siapapun untuk melintas agar
penyidikan mudah dilakukan. Sekedar melihat tak masalah asal jangan mengacau
dan terlalu ingin tahu. Sebab ini bukan masalah sepele. Di zaman yang semakin
cerdas, kekerasan terhadap anak sangat dilarang. Apalagi membunuh balita yang
baru lahir dengan cara yang sadis. Itu pelanggaran hak asasi manusia yang amat
berat.
Namun aku tak melihat Bidan Ambar di
sana. Kata orang-orang ia sangat shock dan terus saja menangis bahkan sampai
tak sadarkan diri. Ia tak menyangka ada
yang berbuat demikian di depan rumahnya. Tentu saja itu menyangkut nama baik.
Meski bukan Bidan Ambar yang melakukan perbuatan tersebut, tapi siapapun dalam
keadaan seperti ini akan menjadi detektif dadakan. Semua berspekulasi, mencoba
menganalisa, mengingat-ingat, dan mengaitkan sesuatu dengan hal lainnya. Itu
hal yang manusiawi. Karena aku pun demikian.
Sama shocknya, sama ingin tahunya, dan
sama menduga-duganya. Akan tetapi di antara kengerian dan kebisingan
bisik-bisik orang di sekitarku, aku melihat sesuatu yang tak asing bagiku. Di
sana, di tengah teras itu. Ya, pada toples itu. Toples berisi bayi merah yang
kaku oleh spritus. Aku menangkap ingatan pada tulisan yang tertera di permukaan
toples itu.
“Es Merah”
Sebelum akhirnya toples itu diangkat
oleh salah seorang dari petugas medis aku terus berusaha mengingat kejadian
yang berhubungan dengan kata “Es Merah” pada toples itu. Hingga aku merasa
bisulku teramat sakit menjalar sampai otakku. Aku mengingatnya. Mengingatnya
dengan jelas. Tapi bisul ini terus menyiksaku.
***
Kalau
aku tak membelokkan stang motor ke tepi jalan dengan sigap, mungkin aku sudah
jatuh dan tergilas truk besar bermuatan sawit yang ada di belakangku. Tamat.
Begitu yang ditulis tiap akhir sebuah film. Dan Mak akan menangis setiap hari
sampai ia menyusulku di alam baka. Karena aku adalah satu-satunya anak yang
dipunyai Mak. Ayahku sudah meninggal tiga tahun yang lalu, terserang jantung
koroner waktu kabut pekat menghantui daerah kami. Maka dari itu, meski Mak
terkadang cerewet aku selalu berusaha yang terbaik untukknya.
Aku
bersyukur masih diberi kesempatan selamat. Tapi aku juga mengumpat dalam hati
pada diriku sendiri dan orang lain. Aku terlalu buru-buru ingin cepat sampai di
rumah karena hari semakin sore. Tapi lubang di tengah jalan menurun itu,
bagaimana bisa orang-orang dan
pemerintah di sini begitu cuek. Membiarkannya terus menganga. Apakah menunggu
lubang itu melahap nyawa seseorang baru akan di perbaiki? Beruntung aku selamat
dan tidak menjadi santapan pertama lubang itu meski tetap saja ban depan
motorku bocor karena tertusuk batu yang runcing.
Takut
senja lebih dulu datang sebelum aku sampai di rumah, kutuntun motorku dengan
agak terburu untuk mencari bengkel terdekat. Rasanya melelahkan. Punggungku
serasa kaku.
Akan tetapi belum sampai ke dekat
bengkel, masih berjarak seratus meter lagi aku dikejutkan oleh sebuah kejadian
yang mendebarkan.
Seorang perempuan berdaster dengan perut
buncit yang semula duduk termangu di balik gerobak es campurnya, tiba-tiba
berlari ke tengah jalan. Saat itu dari arah berlawanan denganku, melaju sebuah
mobil tangki. Aku tersentak, ingin berteriak memperingatkannya tapi mulutku
seperti terkunci. Lagi-lagi seseorang beruntung dari maut, mobil itu mengerem
mendadak sembari menyalakan klasksonnya keras-keras, memperingatkan kendaraan
yang ada di belakangnya untuk mengurangi kecepatan.
“Woi, kau mau mati!” teriak sopir
tangki geram.
Seorang laki-laki muda dari bengkel
segera berlari menarik perempuan yang pucat itu ke tepi. Kutuntun lebih cepat
motorku. Tak peduli betapa lelahnya sambil terus memperhatikan akibat kekacauan
yang diperbuat perempuan yang tengah mengandung itu. Orang-orang yang berjalan
memandangi perempuan itu dengan heran dan agak sinis. Bahkan seseorang yang
mungkin saja kenal dengannya pun tampak kaget.
Walau arus jalanan sudah kembali
normal, namun masih ada ketegangan di sana. Akhirnya dengan bersusah payah aku
sampai di bengkel dan melihat wanita itu dari dekat. Kulihat ia membisu dengan
pandangan beku duduk menatap jalanan di balik gerobak es campurnya di sisi
bengkel. Tak ada seorangpun yang ada di dekatnya. Entah takut atau sengaja
membiarkan perempuan itu menenangkan dirinya sendiri. Sampai seorang pemuda
berkulit hitam yang bekerja di bengkel mendekatiku yang sudah terengah dan
berkeringat, mengalihkan pikiranku sejenak tentang perempuan tersebut.
“Bocor ya Mas bannya?” tanyanya sembari
membantuku menuntun sepeda motorku ke sudut perbaikan ban bocor.
“Kenapa mbak yang itu tadi, Bang?”
tanyaku pada lelaki itu pelan ingin tahu. “Tadi kulihat dia mau menabrakkan
diri ke mobil tangki.”
“Entah. Saya juga tidak tahu maksudnya.
Saya pun tidak kenal. Dia baru dua hari dagang di situ. Tidak banyak omong orangnya,” jawabnya. Sesekali aku
dan pekerja bengkel itu melirik ke arahnya. “Kaget pas dia lari ke tengah jalan.”
Aku mengangguk. Sedikit mengerti tapi
tak paham. Dan tak tertarik untuk terus
menanyai pekerja bengkel tersebut layaknnya wartawan yang tengah mencari
liputan menarik. Kubiarkan ia meneruskan pekerjaannya menambal ban dan aku
memilih duduk di bangku kayu.
Tapi hatiku seperti terserang
gatal-gatal. Rasa penasaranku harus digaruk untuk mengurangi gatalnya. Maka
perlahan aku berjalan mendekati perempuan itu. Aku akan membeli es campurnya
dengan alasan haus.
“Mbak, beli esnya sebungkus ya.”
Perempuan itu cuma mengangguk kaku dan
mulai mencampur semua yang diperlukan ke dalam plastik. Sesudahnya ia
mengulurkan es campurnya padaku. Kuraih dengan tersenyum sambil berkata, “boleh
duduk di sini mbak?” dan ia mengangguk.
Aku mulai canggung sebenarnya. Tapi aku
malah iba padanya. Dari caranya memandang jalanan yang mulai sepi ia seperti
seseorang yang penuh tekanan. Kulihat matanya berkaca-kaca. Jeda kalimatku hanya
setengah menit.
“Mbak seperti kurang sehat. Kenapa
memaksa dagang?” tanyaku. “Lagipula sudah sore.”
Lama ia diam sampai ia menjawab,
“sebentar lagi.”
Aku lega karena ia akhirnya mulai bisa
berkomunikasi. Meski matanya tak pernah lepas dari jalanan. Ada banyak hal yang
ingin kutanyakan padanya sebenarnya. Namun terlalu ingin tahu masalah orang
lain akan mendatangkan masalah yang baru. Aku tak mau itu malah membuatku
terjebak situasi. Aku cuma menghela napas dan meneliti apa-apa yang ada pada
gerobak dorongnya.
Perempuan ini seorang pembuat es yang
hebat sebenarnya. Rasa es yang ia buat sangat enak dan menyegarkan. Kupikir ia
juga jujur. Karena aku yang sangat sensitif dengan air es, biasanya mengerti
apakah seorang pedagang es menggunakan air mentah yang dibekukan atau air yang
sudah matang. Buktinya aku tak langsung terserang flu. Selain itu ia juga
pembersih. Semua benda yang berjejer di atas gerobak itu mengilap termasuk
gerobaknya sendiri yang dicat biru muda. Ada nama “Es Merah” ditulis dengan
menggunakan cat merah pada sisi kiri gerobaknya. Termasuk satu-satunya toples
paling besar yang kosong di sana diberi tulisan itu. Aku ingin tahu apa
maksudnya tapi tak berani mengajukan pertanyaan.
Aku dan perempuan itu hanya duduk
bersebelahan saling diam. Hanya angin yang bertingkah mengusir gerah. Mungkin
karena aku tak kenal padanya dan begitu sebaliknya. Aneh jika mendadak dua
orang yang hanya bertemu sebagai pedang dan pembeli menjadi akrab. Semua yang
ingin aku tahu sudah kutelan sampai perutku. Lelaki tukang bengkel itu pun
sudah memanggilku. Memberitahu bahwa motorku sudah bisa digunakan.
Namun ketika aku hendak pamit
meninggalkan perempuan itu, ia malah mengatakan sesuatu sambil tersenyum untuk
pertama kalinya. Entah apa maksudnya.
“Dua minggu lagi saya akan melahirkan.
Saya hanya berjualan dua hari saja. Kalau kamu lewat sini lagi saya sudah tidak
ada. Tapi kamu kenal dua orang yang akan menerima anak ini. Seorang perempuan
yang menolak dan seorang pembeli yang ingin tahu.”
Ia tersenyum dan kembali membuang
pandangannya yang dingin ke jalan. Membuatku menjadi bingung dan merinding.
Menumbuhkan sulur pertanyaan baru yang seakan mencuat dari kepalaku. Apa aku
pernah bertemu dengannya sebelumnya?
Aku tidak mengerti dan memilih untuk
tidak ingin mengerti. Bertanya pun aku tak akan mendapatkan jawabannya. Yang
aku simpulkan perempuan itu memang benar-benar sedang tertekan atau memang tak
waras. Ia bahkan seperti hantu yang meninggalkan pesan ganjil.
Entahlah, kutinggalkan dia seraya mengangguk
seolah aku paham. Tanpa perlu
berlama-lama lagi segera kunyalakan mesin motorku. Sambil berlalu kulihat perempuan
berperut buncit itu terakhir kali. Ia masih
terus membeku menatap jalanan yang semakin sepi dan redup.
***
Tamat
No comments:
Post a Comment