Cairo,
Believe to Me!
Oleh
: Billal HB
Pagi
itu saat sarapan. Ada aku, Mama, dan juga Ayah. Ini rutinitas yang sering
mempertemukan kami selain shalat subuh berjemaah ketika pagi. Mama menuang air
minum ke dalam gelasku yang masih kosong sembari berkata, “beberapa bulan lagi
kamu akan menghadapi Ujian Nasional, lebih giat belajar, Nda. Dan mulai
tetapkan pilihan mau masuk universitas mana.”
Aku
mengangguk sambil terus mengunyah sarapan dengan teratur, menyelipkan senyuman
diantaranya membuat Mama senang karena aku mendengarnya.
“Mama
sih maunya kamu masuk ke Al-Azhar di Kairo,” ujar Mama.
Aku
tersentak juga nyaris tersedak. Segera kuteguk minum untuk melegakan. Kupandang
Mama yang masih memancarkan senyumannya yang lembut.
“Di
Indonesia kan banyak universitas, Ma. Kenapa harus ke Kairo?”
“Mama
mau kamu belajar banyak di sana. Ilmu agama dan banyak pengetahuan tentunya,”
jawab Mama.
“Ma,
teman-teman Nanda tidak ada yang masuk Al-Azhar,” kataku cepat-cepat. “Kalau
Nanda ke sana, tidak ada teman dong. Lagipula kalau mereka tahu Nanda ke Mesir,
nanti dibilang gak setia sama persahabatan karena meninggalkan mereka.”
“Memangnya
teman-temanmu itu akan selalu bersamamu? Kalau mereka memilih meninggalkanmu
apa kamu mau bilang mereka juga tidak setia? Ingat Nak, tiap orang punya
impiannya masing-masing.”
Aku
terdiam mendengar ucapan mama. Kutelaah dan kupahami. Benar juga. Impian semua
orang berbeda.
“Tapi
itu terserah kamu, Nda,” kata Ayah menyela. “Mama hanya menyarankan, berharap
kamu bisa mewujudkan impian mama yang ingin punya anak mengerti lebih banyak
ilmu agama yang nanti bisa diamalkan kalau sudah lulus. Apalagi kamu kan juara
pidato bahasa arab dan bagus baca Qur’annya.” Ayah mengakhiri ucapannya dengan
senyum pujian.
“Iya,
Yah. Nanti Nanda pikirkan,” kataku. “Sekarang Nanda mau ke sekolah dulu ya.”
Dengan
sedikit kikuk aku beranjak dari kursi dan mencium tangan kedua orangtuaku untuk
berpamitan. Mengucapkan salam lalu
bergegas menuju pintu depan, meminta Om Priyo, sopir pribadi keluarga kami,
untuk segera mengantarku ke sekolah.
Di
dalam mobil aku diam saja, tak seperti biasa mengajak ngobrol Om Priyo yang
khas dengan aksen Jawanya, yang kadang membuat aku terbahak. Karena kedua orang
tuaku sama sekali bukan keturunan Jawa.
“Kenapa
mas Nanda, kok mukanya seperti kurang sehat?” tanya Om Priyo akhirnya. “Sakit?”
“Gak
Om. Sehat kok,” jawabku, agak canggung.
“Tapi
mukanya gak enak dilihat, Mas. Kayak jeruk asem,” canda Om Priyo, memancing
semangatku. “Udah cerita saja sama saya, Mas. Kayak sama orang baru kenal kalau
diam terus, hehe.”
“Aku cuma heran saja melihat Mama.”
“Loh
kenapa Ibu mas Nanda?”
“Gini
loh Om. Pertama, Mama ngelarang aku buat naik motor ke sekolah. Padahal aku kan
udah kelas 3 SMA. Hari gini kan lagi trend pake motor gede ya Om. Nah yang
kedua, pagi ini Mama bilang supaya aku masuk Al-Azhar di Kairo kalau nanti udah
lulus,” kataku menyandarkan punggung dengan mendesah.
Om
Priyo malah tersenyum dan bilang begini, “Lah, seharusnya mas Nanda itu
bersyukur punya ibu yang perhatian sama keselamatan dan masa depan anak
tunggalnya. Jangan terlalu ngikutin
trend mas, gak semuanya baik buat diri sendiri. Nah, kalau masalah kuliah ke
Al-Azhar itu saya setuju banget.”
“Gimana
sih, Om. Kan aku bukan anak-anak lagi, aku juga selalu ngikutin maunya Mama. Semua yang Mama mau, belum tentu baik buat
aku kan.”
“Tapi
semua Ibu tahu yang terbaik buat anaknya, Mas. Hehe,” sela Om Priyo. “Gini saja
mas. Lebih baik pikirkan dulu. Karena menurut
saya, Ibu pasti ingin anaknya menjadi lebih baik dari dirinya. Baik dari
ilmu agama maupun yang lainnya. Gitu toh?”
“Iya
deh, Om. Aku pikirkan lagi,” jawabku datar.
Entah
kenapa hari ini pun di kelas juga membicarakan topik yang dibahas Mama. Tentang
apa yang akan dilakukan setelah lulus sekolah. Ada yang ingin masuk universitas
negeri dan swasta, ada juga yang ingin masuk kedokteran atau kebidanan bagi
yang perempuan, ada juga yang memilih kursus saja. Mereka bersemangat meski ada
juga yang tak mau ambil bagian. Memilih tak banyak bicara masalah kuliah karena
mereka memutuskan untuk kerja dulu. Dan ketika temanku Ardan menanyaiku, aku
mulai lagi. Merasa canggung.
“Kemana,
Nda?” timpal Restu, temanku yang agak agresif atau tepatnya lumayan bandel
dengan logat bataknya.
“Ehm…
Aku…”
“Kenapa
sih?” tanya Ardan kembali selagi yang lain terus memperhatikanku. “Memang mau
kemana?” desaknya.
“Saran
Mamaku sih ke Al-Azhar Kairo,”kataku cepat. Antara lega dan penat, aku menghela
napas.
“Hah?
Kairo?” dengus Mamun. “Jauh buanget,
Nda!”
“Mau
jadi ustaz kau, Nda?” timpal Restu.
“Ntar
bukunya keluar dengan judul Ayat-Ayat Nanda. Haha!” Ade terbahak
Mereka
tertawa. Aku tak tahu mereka senang, memuji, atau mengejek. Aku tetap canggung
sudah mengatakannya. Memilih untuk pura-pura gembira saja.
Jam
istirahat aku pergi ke perpustakaan. Berusaha menghindar sebentar dari yang
lain. Aku tak mau mereka kembali membahas tujuanku setlah lulus sekolah, Kairo.
Aku
memang bukan pelajar yang aktif di keagamaan seperti teman-temanku yang giat di
Kerohanian Islam. Menjadi soleh, bagiku, adalah privasi yang biar Tuhan saja
yang tahu. Kadang aku juga merasa menjadi remaja yang usil, bagiku itu hal yang
wajar selama masih dalam batasan akhlak. Dan syukurku tetap terhimpun karena
berhasil menjadi juara pidato se-kabupaten.
Aku
hening di dalam kotak baca. Mengambil buku Geografi dan membuka halaman yang
membahas tentang negara Mesir. Aku hikmat memahami tiap kata yang tertera.
Meski ada penolakan di dalam hati, aku tetap mengagumi negeri piramida
tersebut. Sampai aku terkejut oleh suara seseorang. Suara perempuan yang
kukenal, teman sekelasku.
“Mesir?”
“Eh,
Elsa,” kataku terkejut pada siswi berjilbab yang sudah berdiri di belakangku
itu. Dia malah tersenyum sembari menarik tempat duduk lebih dekat denganku.
“Aku
juga kagum kok sama Mesir. Apalagi kalau bisa kuliah ke Al-Azhar. Duh,
senangnya,” katanya.
“Eh,
kok bahas Al-Azhar? Kamu….”
“Gak
nyindir kamu kok. Aku kan cuma dengar kamu di kelas tadi.”
Aku
hanya tersenyum. Dan Elsa mulai bicara lagi.
“Kamu
seharusnya senang, Nda. Jangan dipikirin apa kata teman-teman. Mamamu hebat.”
“Iya
sih, El. Tapi aku malah jadi kurang semangat.”
“Kenapa?
Karena teman-teman? Udah biarin aja. Suatu saat nanti mereka pasti paham kok.
Sekarang aja mereka anggap lucu. Kalau nanti kamu bisa berhasil, toh mereka
juga akan bangga,”kata Elsa. “Aku tahu
kamu pasti bisa, Nda. Semangat!”
Elsa
membuat kebisingan sedikit, ketika ia mengatakan semangat dengan mengepalkan
tangan, sikunya menghantam kotak baca yang terbuat dari triplek. Ia mengaduh
tapi kami lantas tertawa kecil. Kami pun berbincang menghabiskan waktu
istirahat dengan saling bertukar cerita.
“Kamu
ternyata baik banget ya, El. Sayang banget kita kemarin gak terlalu akrab.
Andai waktu bisa berputar, aku pasti cerita banyak ke kamu juga.”
“Ah,
kamu bisa aja, Nda,” kata Elsa agak malu. “Aku juga senang bisa kenal lebih
dekat sekarang.”
“Terima
kasih ya sudah mau kasih semangat juga doa.”
“Sama-sama,
Nda,” Elsa tersenyum. “Yakinkan terus diri kamu, Kairo pasti juga akan percaya
sama kamu. Benar kata Mamamu, tiap orang punya impiannya masing-masing. Toh
kamu juga orang yang pandai bergaul.”
Mendengar
ucapan Elsa aku menjadi lebih percaya diri. Api semangatku mulai hangat. Walau
ujian akhir masih lebih dari seratus hari lagi, aku mulai menguatkan hati untuk
giat belajar agar tak mengecewakan Mama dan teman yang baru saja menjadi akrab,
Elsa. Ia mengalirkan energi buatku.
“Kairo,
percayalah padaku,” kataku dalam hati sambil mengusap gambar piramida di
halaman buku.
Bel
masuk berbunyi. Aku dan Elsa bergegas menuju kelas. Beberapa teman merasa agak
lain melihatku. Karena aku bersama Elsa, teman yang tak pernah bersamaku
kecuali di dalam kelas. Teman yang menguatkanku untuk memercayai Kairo setelah
Mama.
***
Lirik, 31Juli 2016