CERPEN

Sunday, January 31, 2016

CERPEN BILLAL_A Cup of Zam Zam



Cerpen ini tergabung dalam antologi "Kupenuhi Panggilan-Mu" ( 2014 )

A Cup of Zam Zam
Oleh : Hijrah BillaLogica
Ketika jemariku menyentuh dinding Ka’bah, darahku bergejolak. Jantungku berdebar kencang. Di antara orang-orang bertakbir yang berhimpitan aku merasa sebuah kelapangan hati namun basah oleh penyesalan yang mengguyur deras seolah hujan sedang terjatuh di atas Masjidil Haram. Dan air mataku tumpah. Aku teramat berdosa. Bayangan peristiwa di masa lalu berkelebatan dalam pikiranku. Dan hal itu membuatku semakin takut namun merasa yakin bahwa Allah Maha Mengampuni. Sebab bisa sedekat ini dengan kubus suci yang di kelilingi puluhan ribu umat manusia dari berbagai penjuru dunia, benar-benar membuatku melihat dosa dan penyesalan itu seperti apa tapi teramat sulit kugambarkan bentuknya.
Aku. Jamhari. 41 tahun. Seorang petugas kebersihan di sebuah sekolah menengah atas. Mempunyai sepasang anak rupawan yang patuh dan taat ibadah bernama Hasan dan Annisa. Aku sangat bersyukur dan bahagia  memiliki mereka. Istriku, Juleha, adalah buruh cuci dari pintu ke pintu di komplek perumahan. Ia perempuan yang amat cantik dan setia yang pernah kukenal. Bahkan ketika dulu aku adalah seorang pecundang yang hanya mengandalkan emosi, ia sangat sabar menghadapi sikapku yang kekanakkan. Aku adalah lelaki dan suami yang telah banyak melakukan kesalahan pada keluarga yang kubangun sendiri. Dan aku, sangat-sangat-sangat menyesal, Ya Tuhan.
Aku pernah menampar Leha tepat di pipinya hingga memar. Aku pernah memukuli anak-anakku dengan gagang sapu dan menendangnya hingga terpental dan berujung di puskesmas hanya karena masalah sepele. Aku pernah amat gemar berkelahi di pasar bila sebuah permasalahan tidak tuntas dengan lisan. Aku juga pernah mencuri, entah itu berupa barang ataupun ternak milik tetangga. Aku pernah. Pernah melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam hidupku. Hingga akhirnya aku terjebak pada sebuah situasi yang mana aku tidak melakukan kesalahan tapi menjadi korban penghianatan orang lain. Semacam karma. Aku diringkus polisi dan mendekam ratusan hari di balik ruang berjeruji. Di sanalah, di ruang sepi itu aku mulai mengoreksi hati dan membuka mata selebar-lebarnya. Mengenal apa yang orang-orang soleh sebut sebagai dosa.
Tiga puluh bulan aku tidak bertemu istri dan kedua anakku. Melewatkan banyak kisah yang seharusnya terjadi dengan indah di dalam rumah kami. Aku sangat merindukan mereka. Leha dilarang orangtuanya menemuiku selama di penjara. Bahkan mereka memaksa Leha untuk minta cerai dariku. Tapi Leha mantap dan akan sabar menunggu kepulanganku. Entah kenapa dia begitu yakin pada kesetiaan yang ikhlas akan berbuah keberkahan. Padahal jika dia ingin, dia bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari diriku. Duhai, penyesalanku makin bertambah-tambah ketika cinta Leha mengalir hangat ke dalam tubuhku yang telah lama beku. Aku berjanji tidak ingin membuatnya tersakiti lagi. Demi Allah.
Tetapi, meski Leha dan kedua anakku amat bahagia dengan kepulanganku, itu tidak berlaku bagi yang lain. Tentu saja, aku paham akan hal itu. Kebanyakan orang muak dan benci bahkan ada yang takut dengan keberadaanku di kampung meski aku sudah berusaha sepenuh hati meminta maaf kepada mereka. Seakan aku tidak patut melebur kembali sebagai penduduk, mereka lebih sering menghindar jika bertemu denganku. Itulah akibat perbuatan buruk dan mengingkari kepercayaan. Sulit bagiku mendapat keyakinan dari mereka lagi. Aku hanya bisa bersabar dan terus memohon ampunan kepada Allah yang Maha Bijaksana.
Bagiku, Mesjid adalah tempat paling menenangkan. Aku menghabiskan banyak waktu di sana sebelum aku mendapat pekerjaan sebagai petugas kebersihan sekolah dari seorang teman guru yang akhirnya kembali membuka hatinya untukku. Aku tidak peduli akan banyak orang yang membicarakan tentang salatku di dalam mesjid. Biarlah, aku merasa harus menerima kenyataan itu. Yang kuharapkan kelak mereka akan memberiku maaf dan kembali menganggapku ada.
Mengenal Allah lebih dekat, aku merasa damai. Kutata kembali segala kerusakan yang pernah membekas di dalam dan luar rumah kami. Aku ingin menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab dan imam yang baik untuk mereka. Ya Allah, jika pada suatu ketika aku mati, aku ingin mati dalam keikhlasan meninggalkan mereka, tidak pada penyesalan yang bisa membakarku di dalam kubur. Begitulah doa dan harapanku tiap memandang keluarga kecilku dalam sebuah kebersamaan yang sempat tertunda.
Aku bergegas dan terus bergerak semangat menyelami hari-hariku. Lebih berani menghadapi kenyataan meski rasanya teramat pahit bahkan jika kedua anak tersayangku sempat mencicipinya. Tidak, biar aku saja yang merasakannya. Aku harus belajar mengerti bahwa keikhlasan memang seperti rumus matematika. Kemarahan dan kesedihan dikurangi dengan  kesabaran ditambah kebahagiaan dan ditambah lagi dengan senyuman yang tulus hasilnya adalah keikhlasan yang penuh berkah. Ya begitulah menurut otakku yang sederhana. Sesakit apapun itu, Allah samasekali tidak pernah melukai. Jikalaupun itu sudah terlampau batas merisaukan hatiku, aku lebih memilih menyendiri, membaca Al-Qur’an sembari memandangi gambar Ka’bah yang suci di dinding kamar. Entahlah, tiap kali membaca Qur’an sambil memandangi Ka’bah dua dimensi, aku merasa merindukan sesuatu yang berseru-seru di dalamnya. Dan itu sangat membuat hatiku tenang dan kembali dapat menjaga amarah. Ya Allah, perkenankanlah hamba berdiri di sisi kesucianMu itu, lirihku dalam hati.
Hingga pada hari-hari sesudahnya, minggu berganti dan lembaran kalender terus dibalik ke arah belakang dan kedua anakku beranjak lebih besar. Aku semakin mendapati keyakinan akan cinta yang Agung. Ya, cinta kepada Allah dan Rasul, cinta kepada keluargaku kecilku, cinta pada orangtua, dan cinta pada orang-orang terkasih yang telah memberiku tempat dalam kehidupan mereka. Aku sangat bersyukur. Sampai pada suatu siang yang cerah di bulan Dzulhijjah, selepas kami mengunjungi rumah seorang ustaz tempat istriku bekerja sebagai tukang cuci di sana, yang baru saja pulang dari menunaikan ibadah haji, istriku menuangkan secangkir air zam zam pemberian ustaz dan menyuguhkannya padaku seraya berkata, “Insha Allah, Ayah mudah-mudahan bisa pergi ke tanah suci juga seperti impian Ayah selama ini. Amin.”
Aku tersentak menatap senyuman Leha, istriku yang sangat setia. Air mataku pun terjatuh dalam senyuman, ikut mengaminkannya. Aku percaya, Allah selalu memberi kesempatan pada tiap-tiap yang bersabar dan bertahan dalam menghadapi cobaan. Meskipun aku ataupun kau adalah orang-orang yang pernah terjebak dalam kesesatan.
***
Lirik, 18 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate