Cerpen ini tergabung dalam antologi "Kupenuhi Panggilan-Mu" ( 2014 )
A Cup of Zam Zam
Oleh
: Hijrah BillaLogica
Ketika
jemariku menyentuh dinding Ka’bah, darahku bergejolak. Jantungku berdebar
kencang. Di antara orang-orang bertakbir yang berhimpitan aku merasa sebuah
kelapangan hati namun basah oleh penyesalan yang mengguyur deras seolah hujan
sedang terjatuh di atas Masjidil Haram. Dan air mataku tumpah. Aku teramat
berdosa. Bayangan peristiwa di masa lalu berkelebatan dalam pikiranku. Dan hal
itu membuatku semakin takut namun merasa yakin bahwa Allah Maha Mengampuni.
Sebab bisa sedekat ini dengan kubus suci yang di kelilingi puluhan ribu umat
manusia dari berbagai penjuru dunia, benar-benar membuatku melihat dosa dan
penyesalan itu seperti apa tapi teramat sulit kugambarkan bentuknya.
Aku.
Jamhari. 41 tahun. Seorang petugas kebersihan di sebuah sekolah menengah atas.
Mempunyai sepasang anak rupawan yang patuh dan taat ibadah bernama Hasan dan
Annisa. Aku sangat bersyukur dan bahagia memiliki mereka. Istriku, Juleha, adalah buruh
cuci dari pintu ke pintu di komplek perumahan. Ia perempuan yang amat cantik
dan setia yang pernah kukenal. Bahkan ketika dulu aku adalah seorang pecundang
yang hanya mengandalkan emosi, ia sangat sabar menghadapi sikapku yang
kekanakkan. Aku adalah lelaki dan suami yang telah banyak melakukan kesalahan
pada keluarga yang kubangun sendiri. Dan aku, sangat-sangat-sangat menyesal, Ya
Tuhan.
Aku
pernah menampar Leha tepat di pipinya hingga memar. Aku pernah memukuli
anak-anakku dengan gagang sapu dan menendangnya hingga terpental dan berujung
di puskesmas hanya karena masalah sepele. Aku pernah amat gemar berkelahi di
pasar bila sebuah permasalahan tidak tuntas dengan lisan. Aku juga pernah
mencuri, entah itu berupa barang ataupun ternak milik tetangga. Aku pernah.
Pernah melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam hidupku. Hingga akhirnya aku
terjebak pada sebuah situasi yang mana aku tidak melakukan kesalahan tapi
menjadi korban penghianatan orang lain. Semacam karma. Aku diringkus polisi dan
mendekam ratusan hari di balik ruang berjeruji. Di sanalah, di ruang sepi itu
aku mulai mengoreksi hati dan membuka mata selebar-lebarnya. Mengenal apa yang
orang-orang soleh sebut sebagai dosa.
Tiga
puluh bulan aku tidak bertemu istri dan kedua anakku. Melewatkan banyak kisah
yang seharusnya terjadi dengan indah di dalam rumah kami. Aku sangat merindukan
mereka. Leha dilarang orangtuanya menemuiku selama di penjara. Bahkan mereka
memaksa Leha untuk minta cerai dariku. Tapi Leha mantap dan akan sabar menunggu
kepulanganku. Entah kenapa dia begitu yakin pada kesetiaan yang ikhlas akan
berbuah keberkahan. Padahal jika dia ingin, dia bisa mendapatkan lelaki yang
jauh lebih baik dari diriku. Duhai, penyesalanku makin bertambah-tambah ketika
cinta Leha mengalir hangat ke dalam tubuhku yang telah lama beku. Aku berjanji
tidak ingin membuatnya tersakiti lagi. Demi Allah.
Tetapi,
meski Leha dan kedua anakku amat bahagia dengan kepulanganku, itu tidak berlaku
bagi yang lain. Tentu saja, aku paham akan hal itu. Kebanyakan orang muak dan
benci bahkan ada yang takut dengan keberadaanku di kampung meski aku sudah
berusaha sepenuh hati meminta maaf kepada mereka. Seakan aku tidak patut
melebur kembali sebagai penduduk, mereka lebih sering menghindar jika bertemu
denganku. Itulah akibat perbuatan buruk dan mengingkari kepercayaan. Sulit
bagiku mendapat keyakinan dari mereka lagi. Aku hanya bisa bersabar dan terus
memohon ampunan kepada Allah yang Maha Bijaksana.
Bagiku,
Mesjid adalah tempat paling menenangkan. Aku menghabiskan banyak waktu di sana
sebelum aku mendapat pekerjaan sebagai petugas kebersihan sekolah dari seorang
teman guru yang akhirnya kembali membuka hatinya untukku. Aku tidak peduli akan
banyak orang yang membicarakan tentang salatku di dalam mesjid. Biarlah, aku
merasa harus menerima kenyataan itu. Yang kuharapkan kelak mereka akan
memberiku maaf dan kembali menganggapku ada.
Mengenal
Allah lebih dekat, aku merasa damai. Kutata kembali segala kerusakan yang
pernah membekas di dalam dan luar rumah kami. Aku ingin menjadi kepala keluarga
yang bertanggungjawab dan imam yang baik untuk mereka. Ya Allah, jika pada
suatu ketika aku mati, aku ingin mati dalam keikhlasan meninggalkan mereka,
tidak pada penyesalan yang bisa membakarku di dalam kubur. Begitulah doa dan
harapanku tiap memandang keluarga kecilku dalam sebuah kebersamaan yang sempat
tertunda.
Aku
bergegas dan terus bergerak semangat menyelami hari-hariku. Lebih berani
menghadapi kenyataan meski rasanya teramat pahit bahkan jika kedua anak
tersayangku sempat mencicipinya. Tidak, biar aku saja yang merasakannya. Aku
harus belajar mengerti bahwa keikhlasan memang seperti rumus matematika.
Kemarahan dan kesedihan dikurangi dengan
kesabaran ditambah kebahagiaan dan ditambah lagi dengan senyuman yang
tulus hasilnya adalah keikhlasan yang penuh berkah. Ya begitulah menurut otakku
yang sederhana. Sesakit apapun itu, Allah samasekali tidak pernah melukai.
Jikalaupun itu sudah terlampau batas merisaukan hatiku, aku lebih memilih
menyendiri, membaca Al-Qur’an sembari memandangi gambar Ka’bah yang suci di
dinding kamar. Entahlah, tiap kali membaca Qur’an sambil memandangi Ka’bah dua
dimensi, aku merasa merindukan sesuatu yang berseru-seru di dalamnya. Dan itu
sangat membuat hatiku tenang dan kembali dapat menjaga amarah. Ya Allah,
perkenankanlah hamba berdiri di sisi kesucianMu itu, lirihku dalam hati.
Hingga
pada hari-hari sesudahnya, minggu berganti dan lembaran kalender terus dibalik
ke arah belakang dan kedua anakku beranjak lebih besar. Aku semakin mendapati
keyakinan akan cinta yang Agung. Ya, cinta kepada Allah dan Rasul, cinta kepada
keluargaku kecilku, cinta pada orangtua, dan cinta pada orang-orang terkasih
yang telah memberiku tempat dalam kehidupan mereka. Aku sangat bersyukur.
Sampai pada suatu siang yang cerah di bulan Dzulhijjah, selepas kami mengunjungi
rumah seorang ustaz tempat istriku bekerja sebagai tukang cuci di sana, yang
baru saja pulang dari menunaikan ibadah haji, istriku menuangkan secangkir air
zam zam pemberian ustaz dan menyuguhkannya padaku seraya berkata, “Insha Allah,
Ayah mudah-mudahan bisa pergi ke tanah suci juga seperti impian Ayah selama
ini. Amin.”
Aku
tersentak menatap senyuman Leha, istriku yang sangat setia. Air mataku pun
terjatuh dalam senyuman, ikut mengaminkannya. Aku percaya, Allah selalu memberi
kesempatan pada tiap-tiap yang bersabar dan bertahan dalam menghadapi cobaan.
Meskipun aku ataupun kau adalah orang-orang yang pernah terjebak dalam
kesesatan.
***
Lirik,
18 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment