CERPEN

Saturday, January 30, 2016

Cerpen Billal_Air Mata Gaza


Cerpen ini tergabung dalam Antologi Cerpen "Air Mata Gaza" tahun 2014


Tujuh Pelangi di Langit Gaza
Oleh : Hijrah BillaLogica
Bom baru saja meledak di suatu tempat di negeri ini. Berdentum seperti membelah bumi, dan getarannya sangat hebat mengguncang tubuh-tubuh kami yang selalu disergap ketakutan. Orang-orang  di rumah sakit ini spontan berteriak, “Allahu Akbar!” seraya memegang dada, memeluk anak-anak, dan melindungi yang terluka. Kami hanya bisa melafazkan takbir, tasbih, tahlil, dan tahmid. Kecemasan kami kian menjadi-jadi. Itu benar-benar menyakitkan. Membuatku teringat peristiwa di masa lalu yang tak bisa kulupakan. Hari itu adalah hari paling menderita sepanjang hidupku.
Aku masih berumur delapan tahun waktu itu. Suka sekali menggambar dengan krayon yang dibelikan ayah. Menemaninya di kebun anggur saat musim panas sambil menggambar ratusan anggur yang masih menempel pada tangkainya yang gemuk adalah hal paling menyenangkan buatku. Tiap kali rehat maka ayah akan menghampiriku dan bertanya tentang apa yang aku gambar pada hari itu.
“Bagaimana dengan hari ini anakku sayang, El Azaz? Masih tentang anggur?”
Aku mengangguk tanpa perlu berkata. Serius seperti seorang seniman yang handal. Ayahku hanya tersenyum dan membelai kepalaku. Kemudian setelah  menenggak sebotol minuman dan mengelap keringat yang mengalir di wajahnya,  ayahku kembali melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan hama yang menempel pada daun-daun anggur.
Namun, tanpa diduga, bahkan ketika orang-orang sedang sibuk bekerja, tragedi itu pun terjadi. Tiba-tiba saja terdengar sesuatu yang dahsyat menghantam bumi dan menimbulkan cahaya besar dan berasap. Disusul geraman kendaraan lapis baja dan derap ratusan langkah kaki.
“Itu Israel! Mereka kembali menyerang kita, cepat lari dan sembunyi!” teriak ayahku kepada semua teman-temannya yang juga petani anggur seraya berlari ke arahku dan dengan sigap langsung menggendongku dengan erat lalu berlari menjauh.
“Tidak apa, Nak. Jangan menangis. Tidak usah takut, Ayah di sini dan Allah selalu bersama kita,” kata ayahku.
Ketika ayah dan aku-dalam gendongannya-berlari ke bukit untuk bersembunyi, beberapa serdadu Israel mengejar kami sembari terus menghamburkan peluru mereka. Hingga akhirnya sebuah peluru berhasil mengenai sebelah kaki ayah. Membuat ayah menjerit. Akan tetapi, ayahku tetap kuat,  sampai satu peluru panas berhasil mendarat lagi di kaki satunya. Membuat kami benar-benar tersungkur ke tanah dan aku menangis. Ayah mengerang kesakitan sambil bertakbir. Dalam kesakitannya ayah lantas menatapku dengan sangat lekat sambil meraba pipiku yang basah oleh air mata.
“Azaz sayang. Sekarang larilah sekencang-kencangnya. Pergi ke tempat paling aman untuk bersembunyi. Lakukan dengan semangat, seperti kita bermain petak umpet di rumah. Ayah janji akan menemukanmu nanti.”
Semula aku bersikeras tak mau meninggalkan ayah. Karena aku tahu, aku dan ayah tidak sedang bermain petak umpet. Melainkan berusaha menghindar dari orang-orang jahat yang memburu nyawa kami. Tapi ayah semakin memaksa dalam janjinya. Ia memohon padaku. Maka dengan segenap rasa cintaku pada ayah, aku berlari kencang bersama air mata yang berurai tanpa menoleh sekalipun. Yang kudengar hanya suara senapan yang begitu bergairah menembak. Apakah mereka menembaki ayahku? Entahlah. Sebab setelah peristiwa itu aku tak pernah bertemu dengan ayahku lagi.
Dan sekarang, aku sedang berdiri di antara keramaian ini. Diantara tangis, orang-orang terluka dan para relawan yang begitu peduli pada keadaan kami. Aku tidak ingin menangis. Karena aku sudah terbiasa dengan luka dan kebencian yang bertahun-tahun aku rasakan. Sementara para relawan berlarian ke luar rumah sakit untuk bergegas menuju lokasi di mana bom meledak, aku justru fokus pada seorang bocah perempuan kecil yang sedang duduk di atas ranjang di depanku. Meski terluka tetapi ia sibuk menggambar dengan krayon warna-warni yang bertebaran di sekelilingnya.
Dengan rasa penasaran kudekati anak itu. Melewati beberapa perawat yang lalu-lalang dan tersenyum padanya. Lebih dekat aku memerhatikan kondisinya. Akan tetapi, tatapanku justru jatuh pada apa yang sedang ia gambar. Sebuah pemandangan kota yang damai dihiasi palem yang tumbuh berjajar rapi di sepanjang tepi jalan, ditambah lagi ia menggambar tujuh lengkung pelangi yang berjajar di atas kota itu. Membuatku kian penasaran menerjemah gambarnya.
“Apa itu Gaza?” tanyaku padanya. Gadis kecil itu mengangguk. Ia terus saja serius  menggambar seperti seorang seniman handal dengan tangannya yang diperban.
“Kenapa pelanginya banyak sekali di musim panas?” tanyaku lagi mengerutkan dahi. Gadis kecil yang tak kutahu namanya itu berhenti menggambar. Memandangku sejenak lalu beralih kepada gambarnya lagi dan menjawab pertanyaanku.
“Kata ibuku, pelangi itu sangat indah. Melengkung di langit untuk membuat orang-orang bahagia. Ia selalu mengajariku menggambar pelangi. Tapi sayangnya sejak dulu aku tak pernah melihat pelangi di langit kota ini.” Ia menjadi sangat sedih. Kubelai rambutnya seperti dulu ayahku membelai rambutku. Rasanya benar-benar perih.
“Jangan bersedih. Allah selalu bersama kita,”  kataku mendamaikannya. Namun aku masih penasaran dengan jumlah pelangi yang ia gambar itu. “Tapi, bolehkah aku tahu, kenapa kau menggambar tujuh pelangi di atasnya?” Gadis kecil itu lantas memandangku lagi. Matanya yang bening menyiratkan sebuah harapan.
“Pelangi ini bukan cuma untukku. Tetapi untuk kita semua. Pelangi untuk semua ayah, semua ibu, semua anak-anak, semua keluarga, semua hewan dan tumbuhan, tanah dan air, dan untuk Palestina.” Dengan semangat ia menjelaskan kepadaku.
Sungguh, ketika mendengar jawaban dari si gadis kecil dadaku bergemuruh. Tak kusangka ia berimajinasi seindah itu. Tujuh pelangi di langit Gaza. Subhannallah. Allah akan mendengar impian seorang anak kecil yang terluka. Lantas kupandangi si gadis kecil terluka lekat-lekat. Dengan dada yang berdebar lebih kencang, aku melangkah pergi meninggalkan si gadis kecil dengan sepatah kata perpisahan. Menuju pintu ke luar. Sembari berjalan menuju orang-orang ramai di depan rumah sakit, kutarik sorban yang melingkar di leherku lalu kupasang di kepala. Menyisakan dua mataku saja. Dalam hati aku berkata, “Aku akan menjadi pelangi untuk negeriku.”
***
Lirik, 25 Juli 2014

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate