Cerpen ini tergabung dalam Antologi Cerpen "Air Mata Gaza" tahun 2014
Tujuh Pelangi di Langit Gaza
Oleh
: Hijrah BillaLogica
Bom
baru saja meledak di suatu tempat di negeri ini. Berdentum seperti membelah
bumi, dan getarannya sangat hebat mengguncang tubuh-tubuh kami yang selalu
disergap ketakutan. Orang-orang di rumah
sakit ini spontan berteriak, “Allahu Akbar!” seraya memegang dada, memeluk
anak-anak, dan melindungi yang terluka. Kami hanya bisa melafazkan takbir,
tasbih, tahlil, dan tahmid. Kecemasan kami kian menjadi-jadi. Itu benar-benar
menyakitkan. Membuatku teringat peristiwa di masa lalu yang tak bisa kulupakan.
Hari itu adalah hari paling menderita sepanjang hidupku.
Aku
masih berumur delapan tahun waktu itu. Suka sekali menggambar dengan krayon
yang dibelikan ayah. Menemaninya di kebun anggur saat musim panas sambil
menggambar ratusan anggur yang masih menempel pada tangkainya yang gemuk adalah
hal paling menyenangkan buatku. Tiap kali rehat maka ayah akan menghampiriku
dan bertanya tentang apa yang aku gambar pada hari itu.
“Bagaimana
dengan hari ini anakku sayang, El Azaz? Masih tentang anggur?”
Aku
mengangguk tanpa perlu berkata. Serius seperti seorang seniman yang handal.
Ayahku hanya tersenyum dan membelai kepalaku. Kemudian setelah menenggak sebotol minuman dan mengelap
keringat yang mengalir di wajahnya,
ayahku kembali melanjutkan pekerjaannya. Membersihkan hama yang menempel
pada daun-daun anggur.
Namun,
tanpa diduga, bahkan ketika orang-orang sedang sibuk bekerja, tragedi itu pun
terjadi. Tiba-tiba saja terdengar sesuatu yang dahsyat menghantam bumi dan
menimbulkan cahaya besar dan berasap. Disusul geraman kendaraan lapis baja dan
derap ratusan langkah kaki.
“Itu
Israel! Mereka kembali menyerang kita, cepat lari dan sembunyi!” teriak ayahku
kepada semua teman-temannya yang juga petani anggur seraya berlari ke arahku
dan dengan sigap langsung menggendongku dengan erat lalu berlari menjauh.
“Tidak
apa, Nak. Jangan menangis. Tidak usah takut, Ayah di sini dan Allah selalu
bersama kita,” kata ayahku.
Ketika
ayah dan aku-dalam gendongannya-berlari ke bukit untuk bersembunyi, beberapa
serdadu Israel mengejar kami sembari terus menghamburkan peluru mereka. Hingga
akhirnya sebuah peluru berhasil mengenai sebelah kaki ayah. Membuat ayah
menjerit. Akan tetapi, ayahku tetap kuat, sampai satu peluru panas berhasil mendarat lagi
di kaki satunya. Membuat kami benar-benar tersungkur ke tanah dan aku menangis.
Ayah mengerang kesakitan sambil bertakbir. Dalam kesakitannya ayah lantas
menatapku dengan sangat lekat sambil meraba pipiku yang basah oleh air mata.
“Azaz
sayang. Sekarang larilah sekencang-kencangnya. Pergi ke tempat paling aman
untuk bersembunyi. Lakukan dengan semangat, seperti kita bermain petak umpet di
rumah. Ayah janji akan menemukanmu nanti.”
Semula
aku bersikeras tak mau meninggalkan ayah. Karena aku tahu, aku dan ayah tidak
sedang bermain petak umpet. Melainkan berusaha menghindar dari orang-orang
jahat yang memburu nyawa kami. Tapi ayah semakin memaksa dalam janjinya. Ia memohon
padaku. Maka dengan segenap rasa cintaku pada ayah, aku berlari kencang bersama
air mata yang berurai tanpa menoleh sekalipun. Yang kudengar hanya suara
senapan yang begitu bergairah menembak. Apakah mereka menembaki ayahku?
Entahlah. Sebab setelah peristiwa itu aku tak pernah bertemu dengan ayahku
lagi.
Dan
sekarang, aku sedang berdiri di antara keramaian ini. Diantara tangis,
orang-orang terluka dan para relawan yang begitu peduli pada keadaan kami. Aku
tidak ingin menangis. Karena aku sudah terbiasa dengan luka dan kebencian yang
bertahun-tahun aku rasakan. Sementara para relawan berlarian ke luar rumah
sakit untuk bergegas menuju lokasi di mana bom meledak, aku justru fokus pada
seorang bocah perempuan kecil yang sedang duduk di atas ranjang di depanku.
Meski terluka tetapi ia sibuk menggambar dengan krayon warna-warni yang
bertebaran di sekelilingnya.
Dengan
rasa penasaran kudekati anak itu. Melewati beberapa perawat yang lalu-lalang
dan tersenyum padanya. Lebih dekat aku memerhatikan kondisinya. Akan tetapi,
tatapanku justru jatuh pada apa yang sedang ia gambar. Sebuah pemandangan kota
yang damai dihiasi palem yang tumbuh berjajar rapi di sepanjang tepi jalan, ditambah
lagi ia menggambar tujuh lengkung pelangi yang berjajar di atas kota itu.
Membuatku kian penasaran menerjemah gambarnya.
“Apa
itu Gaza?” tanyaku padanya. Gadis kecil itu mengangguk. Ia terus saja
serius menggambar seperti seorang
seniman handal dengan tangannya yang diperban.
“Kenapa
pelanginya banyak sekali di musim panas?” tanyaku lagi mengerutkan dahi. Gadis
kecil yang tak kutahu namanya itu berhenti menggambar. Memandangku sejenak lalu
beralih kepada gambarnya lagi dan menjawab pertanyaanku.
“Kata
ibuku, pelangi itu sangat indah. Melengkung di langit untuk membuat orang-orang
bahagia. Ia selalu mengajariku menggambar pelangi. Tapi sayangnya sejak dulu aku
tak pernah melihat pelangi di langit kota ini.” Ia menjadi sangat sedih.
Kubelai rambutnya seperti dulu ayahku membelai rambutku. Rasanya benar-benar
perih.
“Jangan
bersedih. Allah selalu bersama kita,”
kataku mendamaikannya. Namun aku masih penasaran dengan jumlah pelangi
yang ia gambar itu. “Tapi, bolehkah aku tahu, kenapa kau menggambar tujuh
pelangi di atasnya?” Gadis kecil itu lantas memandangku lagi. Matanya yang
bening menyiratkan sebuah harapan.
“Pelangi
ini bukan cuma untukku. Tetapi untuk kita semua. Pelangi untuk semua ayah, semua
ibu, semua anak-anak, semua keluarga, semua hewan dan tumbuhan, tanah dan air,
dan untuk Palestina.” Dengan semangat ia menjelaskan kepadaku.
Sungguh,
ketika mendengar jawaban dari si gadis kecil dadaku bergemuruh. Tak kusangka ia
berimajinasi seindah itu. Tujuh pelangi di langit Gaza. Subhannallah. Allah
akan mendengar impian seorang anak kecil yang terluka. Lantas kupandangi si gadis
kecil terluka lekat-lekat. Dengan dada yang berdebar lebih kencang, aku
melangkah pergi meninggalkan si gadis kecil dengan sepatah kata perpisahan.
Menuju pintu ke luar. Sembari berjalan menuju orang-orang ramai di depan rumah
sakit, kutarik sorban yang melingkar di leherku lalu kupasang di kepala.
Menyisakan dua mataku saja. Dalam hati aku berkata, “Aku akan menjadi pelangi
untuk negeriku.”
***
Lirik,
25 Juli 2014
No comments:
Post a Comment