Lelaki Kaus Kaki
Oleh
: Hijrah BillaLogica
“Cinta
adalah kaus kaki yang hangat. Kau tidak tahu
ia setia melindungi kakimu dari segenap kecemasan.”
Kutulis demikian dalam buku catatan
pengakuan hidupku, di lembar ke tujuh.
Namaku Ardian. Aku adalah lelaki
kaus kaki, dan sangat mencintainya. Ya. Semenjak didiagnosis dokter mengidap
Hipoglikemia atau suatu keadaan dimana kadar
gula darah rendah pada masa kecil, sekitar tahun 2002 saat masih duduk
di bangku kelas satu Sekolah Menengah Pertama, aku dianjurkan dan selalu
mengenakan kaus kaki ketika tidur pada malam hari meski suhu serasa membakar
dinding rumah yang terbuat dari papan. Agak terkesan manja memang, tapi itulah
kenyataannya.
Aku sangat kesulitan tidur apabila
tidak mengenakan kaus kaki, merasa tidak sempurna ketika rebah di atas kasur.
Seakan ada sesuatu yang fatal jika aku melupakannya. Sebab kaus kaki sudah seperti kekasih buatku.
Tanpanya aku tidak bisa menikmati bagaimana percintaan sembunyi-sembunyi.
Apakah
ini sangat aneh? Aku hanya terpekur memandangi kaus kaki yang telah dengan
kecintaannya menyelimuti kaki kurusku yang penuh bekas luka. Ini adalah sisi
yang lain dari hidupku, dan Tuhan tahu bagaimana aku benar-benar jatuh cinta
pada kaus kaki.
Dan
tepat pada ulang tahunku yang ke 25 waktu itu, aku dihadiahi banyak kaus kaki.
Berbagai warna. Perasaanku sangat bahagia namun juga merasa aneh. Lelaki
beranjak dewasa mendapat kejutan kaus kaki? Ah, biar sajalah, yang terpenting
doa mereka tulus untukku.
***
Kemarin………..
“Bang,
hari ini aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” kata perempuan berjilbab merah
muda yang duduk di hadapanku yang sedang asyik membaca buku fiksi sambil
memainkan gantungan kunci berbentuk kaus kaki dari wool.
“Bang……..”
katanya lagi, sembari meraba jemariku yang menekan halaman buku.
“Eh,
iya. Ada apa, Ra? Duh, maaf. Mau bilang apa tadi?”
Ia
mendengus lalu melemparkan pandangan ke luar jendela. Kurasa Rara merajuk
karena terkesan diabaikan. Sesekali melihat ke arah buku, aku jadi salah
tingkah dan merasa bersalah.
“Kamu
mau bilang apa?” tanyaku dengan suara lembut dan tersenyum. “Ayo, bicara saja,
tak usah sungkan.”
Rara
merengut tapi tetap cantik. Namun tiba-tiba ia membalas pandanganku dengan
tajam sambil berkata, “Bukankah aku sudah bicara saja sejak tadi, Bang? Tapi
kamu tidak mendengar bahkan sangat mengabaikan.” Lalu ia kembali merengut dan
diam sambil memandang ke arah luar lagi.
“Oh,
maafkan Abang, Rara. Bukan bermaksud mengabaikanmu. Abang hanya terlalu asyik
membaca dan…………..”
“Memainkan
gantungan kunci kaus kakimu!” tukas Rara, membuatku tersentak. “Kamu lebih
peduli pada kaus kaki-kaus kakimu ketimbang padaku, Bang.”
“Apa
hubungannya?” tanyaku mengerutkan dahi tak memercayai ucapan Rara yang
emosional
“Ya.
Begitulah dirimu, Bang. Hirau pada siapa-siapa yang ada di sekitarmu,” lanjut
Rara. “Kecintaan berlebihan pada sesuatu yang tak bergerak dapat
menghantarkanmu pada sebuah jebakan.”
Aku
tidak mengerti apa yang dikatakan Rara. Kuhela napas dan kuraih tangannya yang
menolak. Kupegang di atas meja agar ia mau memandang wajahku. Ini pertama
kalinya ia sangat marah padaku karena sebuah alasan yang baginya menjengkelkan
sementara menurutku sepele. Karena kaus kaki. Ya, karena itu. Masuk akalkah
kecemburuan terhadap kaus kaki? Silakan berasumsi sendiri.
“Dengarkan
Abang, Ra……………………” Aku lantas mulai bercerita sambil memandangnya lekat-lekat
dan ia mulai lunak meski masih enggan.
***
Aku
sedang berdiri di depan lemari pakaian. Di sana tertempel foto Rara dan juga
gambar kaus kaki kesukaanku. Aku memerhatikan keduanya bergantian. Benarlah
ternyata. Aku memang jahat. Pantas saja
Rara marah. Kusandingkan ia sejajar dengan kaus kaki. Meski rasanya itu
bukanlah kesalahan fatal bila keduanya aku cintai secara bersamaan.
Kemudian
aku duduk di ujung ranjang. Terpekur. Masih memandang gambar keduanya dan kaus
kaki biru muda yang kukenakan malam ini. Aku sedang dilanda galau atas pilihan
rumit yang diajukan Rara. Dia memintaku berpikir: antara memilihnya dan
meninggalkan rasa cinta pada kaus kaki atau terus mesra pada benda tak wajar.
Ya, menurutku itu sangat rumit. Karena aku mencintai keduanya meski orang-orang
beranggapan gila akan kaus kaki. ( Hey, kau mungkin tidak paham arti cinta )
Dalam
penerawanganku menatap langit-langit rumah, aku tidak mendapatkan apapun di
sana. Hanya jaring laba-laba yang baru saja dirakit oleh seekor laba-laba
betina berkibar ditiup angin yang berhembus melalui celah ventilasi. Itu saja
dan aku kembali diam dalam sebuah khayalan.
“Mungkin
aku perlu merayunya, ‘aku ingin selalu menjadi kaus kaki hatimu, sayang’,”
desisku sambil senyum-senyum sendiri.
Namaku
Ardian. Aku adalah lelaki kaus kaki dan sangat mencintainya. Aku sedang galau
pada pilihan. Rara atau Kaus Kaki?
***
Lirik,
29 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment