CERPEN

Monday, January 11, 2016

CERPEN Hijrah BillaLogica_Lelaki Kaus Kaki



Lelaki Kaus Kaki
Oleh : Hijrah BillaLogica

“Cinta adalah kaus kaki yang hangat. Kau tidak tahu  ia setia melindungi kakimu dari segenap kecemasan.”
            Kutulis demikian dalam buku catatan pengakuan hidupku, di lembar ke tujuh.
            Namaku Ardian. Aku adalah lelaki kaus kaki, dan sangat mencintainya. Ya. Semenjak didiagnosis dokter mengidap Hipoglikemia atau suatu keadaan dimana kadar  gula darah rendah pada masa kecil, sekitar tahun 2002 saat masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Pertama, aku dianjurkan dan selalu mengenakan kaus kaki ketika tidur pada malam hari meski suhu serasa membakar dinding rumah yang terbuat dari papan. Agak terkesan manja memang, tapi itulah kenyataannya.
            Aku sangat kesulitan tidur apabila tidak mengenakan kaus kaki, merasa tidak sempurna ketika rebah di atas kasur. Seakan ada sesuatu yang fatal jika aku melupakannya. Sebab  kaus kaki sudah seperti kekasih buatku. Tanpanya aku tidak bisa menikmati bagaimana percintaan sembunyi-sembunyi.
Apakah ini sangat aneh? Aku hanya terpekur memandangi kaus kaki yang telah dengan kecintaannya menyelimuti kaki kurusku yang penuh bekas luka. Ini adalah sisi yang lain dari hidupku, dan Tuhan tahu bagaimana aku benar-benar jatuh cinta pada kaus kaki.
Dan tepat pada ulang tahunku yang ke 25 waktu itu, aku dihadiahi banyak kaus kaki. Berbagai warna. Perasaanku sangat bahagia namun juga merasa aneh. Lelaki beranjak dewasa mendapat kejutan kaus kaki? Ah, biar sajalah, yang terpenting doa mereka tulus untukku.
***
            Kemarin………..
“Bang, hari ini aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” kata perempuan berjilbab merah muda yang duduk di hadapanku yang sedang asyik membaca buku fiksi sambil memainkan gantungan kunci berbentuk kaus kaki dari wool.
“Bang……..” katanya lagi, sembari meraba jemariku yang menekan halaman buku.
“Eh, iya. Ada apa, Ra? Duh, maaf. Mau bilang apa tadi?”
Ia mendengus lalu melemparkan pandangan ke luar jendela. Kurasa Rara merajuk karena terkesan diabaikan. Sesekali melihat ke arah buku, aku jadi salah tingkah dan merasa bersalah.
“Kamu mau bilang apa?” tanyaku dengan suara lembut dan tersenyum. “Ayo, bicara saja, tak usah sungkan.”
Rara merengut tapi tetap cantik. Namun tiba-tiba ia membalas pandanganku dengan tajam sambil berkata, “Bukankah aku sudah bicara saja sejak tadi, Bang? Tapi kamu tidak mendengar bahkan sangat mengabaikan.” Lalu ia kembali merengut dan diam sambil memandang ke arah luar lagi.
“Oh, maafkan Abang, Rara. Bukan bermaksud mengabaikanmu. Abang hanya terlalu asyik membaca dan…………..”
“Memainkan gantungan kunci kaus kakimu!” tukas Rara, membuatku tersentak. “Kamu lebih peduli pada kaus kaki-kaus kakimu ketimbang padaku, Bang.”
“Apa hubungannya?” tanyaku mengerutkan dahi tak memercayai ucapan Rara yang emosional
“Ya. Begitulah dirimu, Bang. Hirau pada siapa-siapa yang ada di sekitarmu,” lanjut Rara. “Kecintaan berlebihan pada sesuatu yang tak bergerak dapat menghantarkanmu pada sebuah jebakan.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Rara. Kuhela napas dan kuraih tangannya yang menolak. Kupegang di atas meja agar ia mau memandang wajahku. Ini pertama kalinya ia sangat marah padaku karena sebuah alasan yang baginya menjengkelkan sementara menurutku sepele. Karena kaus kaki. Ya, karena itu. Masuk akalkah kecemburuan terhadap kaus kaki? Silakan berasumsi sendiri.
“Dengarkan Abang, Ra……………………” Aku lantas mulai bercerita sambil memandangnya lekat-lekat dan ia mulai lunak meski masih enggan.
***
Aku sedang berdiri di depan lemari pakaian. Di sana tertempel foto Rara dan juga gambar kaus kaki kesukaanku. Aku memerhatikan keduanya bergantian. Benarlah ternyata. Aku memang jahat.  Pantas saja Rara marah. Kusandingkan ia sejajar dengan kaus kaki. Meski rasanya itu bukanlah kesalahan fatal bila keduanya aku cintai secara bersamaan.
Kemudian aku duduk di ujung ranjang. Terpekur. Masih memandang gambar keduanya dan kaus kaki biru muda yang kukenakan malam ini. Aku sedang dilanda galau atas pilihan rumit yang diajukan Rara. Dia memintaku berpikir: antara memilihnya dan meninggalkan rasa cinta pada kaus kaki atau terus mesra pada benda tak wajar. Ya, menurutku itu sangat rumit. Karena aku mencintai keduanya meski orang-orang beranggapan gila akan kaus kaki. ( Hey, kau mungkin tidak paham arti cinta )
Dalam penerawanganku menatap langit-langit rumah, aku tidak mendapatkan apapun di sana. Hanya jaring laba-laba yang baru saja dirakit oleh seekor laba-laba betina berkibar ditiup angin yang berhembus melalui celah ventilasi. Itu saja dan aku kembali diam dalam sebuah khayalan.
“Mungkin aku perlu merayunya, ‘aku ingin selalu menjadi kaus kaki hatimu, sayang’,” desisku sambil senyum-senyum sendiri.
Namaku Ardian. Aku adalah lelaki kaus kaki dan sangat mencintainya. Aku sedang galau pada pilihan. Rara atau Kaus Kaki?
***

Lirik, 29 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment

CERPEN M.Z. BILLAL_Senja dalam Saku Kemeja

Bolehkah aku terus berandai? Gumamku dalam hati kepada senja yang membias oranye di balik bukit, menjadi latar belakang yang sangat i...

Translate